Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Riset dan Pengembangan Obat Asli Indonesia Perlu Evidence Based Medicine

EBM merupakan suatu pendekatan medik berdasar pada bukti ilmiah terkini untuk memenuhi kepentingan pelayanan kesehatan pasien.

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Riset dan Pengembangan Obat Asli Indonesia Perlu Evidence Based Medicine
TRIBUNNEWS/FITRI WULANDARI
Staf Ahli Bidang Infrastruktur Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) Ali Ghufron Mukti. 

Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari

TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Pengembangan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) berupa fitofarmaka saat ini masih terus dilakukan melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati (biodiversitas) untuk bahan bakunya.

Staf Ahli Bidang Infrastruktur Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) Ali Ghufron Mukti mengatakan dalam upaya pengembangannya, dibutuhkan adanya Evidence Based Medicine (EBM).

EBM merupakan suatu pendekatan medik berdasar pada bukti ilmiah terkini untuk memenuhi kepentingan pelayanan kesehatan pasien.

"Itu memang penelitiannya itu evidence based, itu memang harus bagus ya. Jadi obat harus berbasis evidence, bahwa uji klinis itu harus ada bukti," ujar Ghufron, di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/11/2020).

Baca juga: 6 Obat Tradisional untuk Menghilangkan Benjolan di Payudara, Yuk Catat!

Selain harus memiliki bukti kuat terkait manfaat dan pengalaman klinis, pengembangan OMAI ini tentunya memerlukan inovasi dan tahapan uji klinis.

Setelah melalui proses itu, OMAI berupa fitofarmaka atau obat berbasis tumbuhan atau herbal ini nantinya bisa diproduksi massal untuk dipasarkan.

Baca juga: Ironis! Biodiversivitas Indonesia Melimpah, Tapi 95 Persen Bahan Baku Obat Masih Impor

Berita Rekomendasi

"Tetapi setelah jadi inovasi, dan inovasi seperti tadi (dilakukan tahapan) uji klinis, pemasarannya juga harus bagus," kata Ghufron.

Namun masalahnya adalah peminat OMAI ini masih minim karena fasilitas kesehatan pun masih jarang yang menggunakan fitofarmaka.

Padahal sudah ada perusahaan farmasi yang mulai memproduksi OMAI.

Pemerintah terus mengupayakan Kemandirian terhadap seluruh sektor penopang perekonomian, termasuk di industri farmasi.

Melalui pemanfaatan biodiversitas yang melimpah, pemerintah mendorong untuk substitusi impor bahan baku obat. Saat ini bahan baku obat yang diimpor masih berada pada angka nyaris 95 persen.

Penggunaan bahan baku kimia dinilai lazim digunakan dalam industri farmasi dunia, namun Indonesia tengah berupaya untuk menggunakan bahan baku herbal yang berasal dari tumbuhan lokal untuk mengembangkan Obat Modern Asli Indonesia.

Meskipun masyarakat telah mengenal produk ramuan herbal seperti jamu, namun peminat untuk OMAI berupa fitofarmaka ini tampaknya masih minim.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam mengatakan bahwa produksi obat kimia akan tetap ada, namun upaya untuk mengalihkan pengembangan obat berbasis tumbuhan saat ini sedang dilakukan.

Pernyataan tersebut disampaikannya dalam diskusi nasional bertajuk 'Pengembangan OMAI untuk Kemandirian Obat Nasional' yang digelar secara virtual, Jumat (7/11/2020).

"Memang sulit kalau segalanya mengandalkan yang berbasis kimia, makanya pemerintah sudah tepat untuk mencoba beralih ke yang berbasis alam, meskipun (obat) berbasis kimia ini tetap kita dorong," ujar Khayam.

Untuk melakukan substitusi impor, pemerintah memang menekankan pembuatan produk yang memiliki Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi.

Termasuk dalam pengembangan OMAI ini, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Farmasi.

Ia menyadari begitu banyak tumbuhan yang bisa dijadikan bahan baku obat. Namun masih ada tahapan yang saat ini masih belum rampung.

Kerja sama berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta dalam hal ini pelaku industri sangat diperlukan untuk mendorong suksesnya pengembangan OMAI ini.

"Karena kita tahu bahwa kita punya banyak sekali bahan baku herbal yang sebenarnya juga penelitiannya sudah dilakukan, tapi masih ada tahapan-tahapan yang belum tuntas," kata Khayam.

Karena saat ini pelaku industri farmasi pun masih menghadapi banyak kendala, satu diantaranya terkait uji klinis.

"Ini yang kita inginkan sampai ke tahapan kelayakan ekonomi hingga uji klinisnya," jelas Khayam.

Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Raymond R Tjandrawinata mengaku bahwa pihaknya telah mencari cara untuk mengatasi impor bahan baku obat.

"Kami berpikir bagaimana ketahanan bangsa ini menggunakan bahan baku yang berasal dari biodiversitas alam Indonesia," ujar Raymond.

Karena itu, sejak beberapa tahun lalu Dexa Medica pun secara mandiri mendirikan laboratorium sendiri serta melakukan berbagai riset untuk menemukan bahan baku lokal yang cocok untuk produk mereka.

"Nah untuk itulah, sejak tahun 2005 kami sudah mendirikan suatu laboratorium dan juga aneka riset yang kami lakukan di Dexa medical untuk mencari bahan baku dari dalam negeri biodiversitas alam yaang bisa digunakan sebagai obat asli alam Indonesia," kata Raymond.

Pihaknya mencoba mencari tanaman yang dianggap memiliki keunggulan pada tiap daerah dan menggunakan pharmacology molecular untuk menghasilkan OMAI berupa fitofarmaka.

Raymond berharap seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia mau beralih menggunakan OMAI meskipun saat ini OMAI masih menjadi obat pelengkap dari obat-obatan kimia.

"Kami menggunakan pharmacology molecular dan akhirnya kami mendapatkan obat-obat OMAI berupa fitofarmaka yang sudah kami produksi. Nah ini semoga digunakan di semua klinik fasilitas kesehatan di Indonesia," pungkas Raymond.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas