Benarkah Saat Ini Sedang Terjadi Kepunahan Massal Keenam di Bumi?
Peristiwa kepunahan massal Keanekaragaman hayati sepanjang sejarah di Bumi telah terjadi lima kali.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM -- Peristiwa kepunahan massal Keanekaragaman hayati sepanjang sejarah di Bumi telah terjadi lima kali.
Kepunahan tersebut terjadi salah satunya karena fenomena alam yang ekstrem di planet ini.
Kini para ahli memperingatkan saat ini sedang terjadi Kepunahan Massal Keenam di Bumi.
Bahkan, kali ini sepenuhnya penyebab kepunahan massal di Bumi yang sedang berlangsung ini, disebabkan oleh aktivitas manusia.
Baca juga: 7 Jenis Bunga Ini Sudah Sangat Langka dan Ada yang Punah, 2 di Antaranya Ada di Indonesia
Penilaian komprehensif dari bukti peristiwa kepunahan yang sedang berlangsung ini dipublikasikan dalam jurnal Biological Review.
"Tingkat kepunahan spesies yang meningkat secara drastis dan penurunan kelimpahan dari banyak populasi hewan dan tumbuhan didokumentasikan dengan baik.
Namun beberapa menyangkal kalau fenomena ini merupakan kepunahan massal," ungkap Robert Cowie, penulis utama studi, seperti dikutip dari Phys, Senin (17/1/2022).
Cowie bersama rekannya memperkirakan bahwa sejak tahun 1500, Bumi bisa saja telah mengalami kepunahan massal dengan kehilangan antara 7,5 hingga 13 persen dari dua juta spesies yang diketahui di Bumi atau sekitar 150.000 hingga 260.000 spesies.
"Jumlah itu termasuk di dalamnya adalah invertebrata. Jadi kita memang menyaksikan awal Kepunahan Massal Keenam dalam sejarah Bumi," kata Cowie.
Baca juga: Lindungi Bekantan, AGM Dukung Pelestarian Flora dan Fauna Terancam Punah
Namun menurutnya situasinya tak sama di semua tempat.
Meski spesies laut menghadapi ancaman yang signifikan, tak ada bukti bahwa krisis tersebut mempengaruhi lautan pada tingkat yang sama seperti di daratan.
Di darat, kepunahan massal spesies di pulau seperti yang ada di Kepulauan Hawaii, jauh lebih terpengaruh daripada spesies kontinental.
Kendati demikian, tingkat kepunahan massal pada tumbuhan tampaknya lebih rendah dibandingkan hewan darat.
Sayangnya, studi baru juga menyebut bahwa beberapa orang juga menyangkal kepunahan massal keenam telah dimulai.
Selain itu, yang lain menerima kondisi hilangnya keragaman hayati sebagai lintasi evolusi baru dan alami.
Bahkan, beberapa menganggap bahwa keanekaragaman hayati harus dimanipulasi semata-mata untuk kepentingan umat manusia.
Baca juga: Mengenal Perkembangbiakan Tumbuhan dan Hewan untuk Menghindari Kepunahan
"Kita adalah satu-satunya spesies yang memiliki pilihan untuk sadar mengenai masa depan kita dan keanekaragaman hayati Bumi," papar Cowie.
Inisiatif konservasi dilakukan namun itu tak dapat menargetkan semua spesies dan tak dapat membalikkan tren kepunahan spesies secara keseluruhan.
Tetapi upaya konservasi ini tetap harus dilanjutkan sebelum keanekaragaman hayati menjadi punah.
"Menyangkal krisis, menerimanya tanpa bereaksi atau bahkan menjadi pemicunya akan membuka jalan bagi Bumi menuju Kepunahan Massal Keenam," tambah Cowie.
500 Spesies di Ambang Kepunahan
Sementara itu sebuah analisis dari studi baru menunjukkan kepunahan massal satwa liar di Bumi berlangsung semakin cepat. Ilmuwan memperingatkan ini kemungkinan menjadi sinyal titik kritis bagi runtuhnya peradaban.
Melansir Koompas.com dari The Guardian, Selasa (2/6/2020), lebih dari 500 spesies hewan darat ditemukan berada di ambang kepunahan dan kemungkinan akan hilang dalam 20 tahun mendatang.
Sebagai perbandingan, jumlah spesies yang sama telah hilang selama sepanjang abad terakhir. Hilangnya spesies tersebut tanpa adanya perusakan alam oleh manusia. Bahkan, menurut ilmuwan, tingkat kepunahan ini akan memakan waktu selama ribuan tahun.
Hewan vertebrata di darat di ambang kepunahan dengan kurang dari 1.000 orang tersisa, termasuk di antaranya badak Sumatera, rusa Clarion, kura-kura raksasa Espanola dan katak harleguin.
Data historis yang tersedia untuk 77 spesies dan para ilmuwan menemukan spesies ini telah kehilangan 94 persen populasi mereka.
Para peneliti juga memperingatkan efek domino dari hilangnya satu spesies lain.
Mereka mengatakan kepunahan menimbulkan masalah pada lingkungan dan itu tidak dapat dipulihkan.
Di sisi lain, kata para ilmuwan, umat manusia bergantung pada keanekaragaman hayati untuk kesehatan dan kesejahteraan.
Pandemi virus corona yang kini mewabah di seluruh dunia adalah contoh ekstrem dari bahaya merusak alam.
Populasi manusia yang meningkat, perusakan habitat, perdagangan satwa liar, polusi dan krisis iklim harus segera ditangani.
"Ketika umat manusia memusnahkan mahluk lain, ia menggerogoti anggota badannya, menghancurkan bagian kerja dari sistem pendukung kehidupan kita sendiri," kata Prof Paul Ehrlich, dari Universitas Stanford di AS, dan salah satu tim peneliti.
Kepunahan tidak biasa sepanjang sejarah
Bumi Ehrlich mengatakan konservasi spesies yang terancam punah harus diangkat sebagai keadaan darurat global oleh pemerintah dan lembaga, yang sama pentingnya dengan sama dengan gangguan iklim terkait.
"Apa yang kita lakukan untuk menghadapi krisis kepunahan saat ini dalam dua dekade mendatang akan menentukan nasib jutaan spesies," kata ahli ekologi Gerardo Ceballos dari National Autonomous University of Mexico, dilansir dari Science Alert.
Dalam penelitian ini, Ceballos mengungkapkan perbedaan besar tingkat kepunahan spesies.
Lima tahun lalu Ceballos melakukan penelitian dengan menggunakan perkiraan konservatif untuk menunjukkan latar belakang tingkat kepunahan yang biasa dan latar belakang kematian yang terjadi saat ini.
Rata-rata tingkat kepunahan spesies kelompok hewan vertebrata atau dua kepunahan mamalia per 10.000 spesies terjadi setiap 100 tahun.
Secara drastis tingkat kepunahan lebih sedikit ari korban kepunahan saat ini, yang mencapai 100 kali lebih tinggi selama abad terakhir.
Hasil analisis penelitian ini, kata tim Ceballos, secara efektif menunjukkan fenomena kepunahan massal sedang berlangsung saat ini.
bukti tidak terbantahkan menunjukkan tingkat kepunahan baru-baru ini, belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Fenomena ini sangat tidak biasa dalam sejarah Bumi.
"Kami dapat menyimpulkan, bahwa kepunahan spesies satwa liar meningkat, mereka menunjukkan kepunahan massal sedang berlangsung. Yang keenam dari jenisnya dalam 4,5 miliar tahun sejarah Bumi," jelas tim peneliti dalam makalah yang diterbitkan tahun 2015 lalu.
Kepunahan vertebrata semakin cepat Sekarang, Ceballos dan timnya kembali dengan studi lain dan wawasan baru mereka tidak lagi optimis.
Kali ini, para peneliti mengatakan tingkat kepunahan di masa depan mungkin telah diremehkan sampai saat ini.
Tingkat kepunahan vertebrata yang cepat yang kita saksikan diperkirakan akan meningkat tajam di masa depan.
Dalam studi tersebut, tim menggunakan data dari Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN dan Birdlife Internasional untuk memeriksa populasi hewan vertebrata yang dianggap berada di ambang kepunahan.
Setelah kehilangan sebagian besar jangkauan geografisnya, dan sekarang terdiri dari kurang dari 1.000 hidup individu di seluruh dunia
Dalam penelitian yang telah dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), mereka memeriksa data 29.400 spesies vertebrata darat.
Para peneliti mengidentifikasikan 515 spesies dengan populasi di bawah 1.000 ekor dan sekitar setengahnya hanya tersisa kurang dari 250 ekor.
Sebagian besar mamalia, burung, reptil dan amfibi ditemukan berada di daerah tropis dan subtropis. Para ilmuwan menemukan bahwa 388 spesies vertebrata darat memiliki populasi di bawah 5.000 ekor.
Sebagian besar, sekitar 84 persen hidup di wilayah yang sama dengan spesies dengan populasi di bawah 1.000 ekor, menciptakan kondisi untuk efek domino.
Georgina Mace, dari University College London, mengatakan analisis baru ini menekankan kembali beberapa fakta mengejutkan tentang sejauh mana populasi vertebrata telah berkurang di seluruh dunia oleh aktivitas manusia.
Para peneliti mengatakan temuan mereka dapat membantu upaya konservasi dengan menyoroti spesies dan wilayah yang membutuhkan perhatian paling mendesak.
"Penelitian (kepunahan massal satwa liar di Bumi) ini memberikan bukti lain bahwa krisis keanekaragaman hayati semakin cepat," kata Profesor Andy Purvis, di Museum Sejarah Alam di London. (Kompas.com/Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas/Kontributor Sains, Monika Novena)