Hari HAM Internasional - Menolak Lupa! Tragedi Trisakti yang Tewaskan 4 Mahasiswa
Hari HAM Internasional - Menolak Lupa, Tragedi Trisakti yang Tewaskan 4 Mahasiswa
Penulis: Miftah Salis
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Hari HAM Internasional diperingati setiap tanggal 10 Desember atau Senin hari ini.
Berbicara mengenai HAM di Indonesia tak lepas dari berbagai peristiwa besar kasus pelanggaran HAM seperti Tragedi Trisakti.
Tragedi Trisakti menjadi satu dari berbagai kasus yang hingga saat ini tidak menemui titik terang penyelesaian.
Dilansir dari Wikipedia, Tragedi Trisakti merupakan peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Baca: Hari HAM Internasional - Mengenang Munir, Aktivis HAM yang Kematiannya hingga Kini jadi Misteri
Baca: Hari HAM Sedunia, Imparsial Sebut Kerinduan terhadap Orde Baru Sikap Ahistoris dan Tidak Tepat
Baca: Peringati Hari Hak Asasi Manusia, Fadli Zon Soroti Penegakan HAM di Era Jokowi
Peristiwa ini menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti dan banyak mahasiswa yang terluka.
Keempat mahasiswa yang tewas tersebut adalah Elang Mulis Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto (1977-1998), Hafidin Royan (1976-1998), dan Hendriawan Sie (1975-1998).
Aksi demonstrasi dilatarbelakangi oleh ekonomi Indonesia yang mulai goyah pada awal 1998 karena pengaruh krisis finansial Asia sepanjang 1997-1999.
Aksi mahasiswa semakin menjadi ketika Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Sebelum Sidang Umum MPR, mahasiswa menggelar aksi di dalam kampus, namun setelah sidang itu digelar mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus.
Tidak hanya mahasiswa, aksi ini juga diikuti oleh dosen dan civitas akademik.
Aksi damai dimulai dengan pengumpulan seluruh civitas akademik Universitas Trisakti di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Tahyeb).
Aksi mimbar bebas diawali penurununan bendera setengah tiang diiringi lagu Indonesia Raya kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta tanda keprihatinan terhadap kondisi Indonesia.
Aksi berjalan dengan baik dan lancar.
Kemudian massa mulai memanas karena kehadiran aparat di atas mimbar bebas (jalan layang).
Massa menuntut turun ke jalan (long march) untuk menyampaikan aspirasi ke anggota MPR/DPR.
Long march terhadang di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat.
Aparat melarang long march dengan alasan dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas dan kerusakan.
Mereka lalu melakukan aksi mimbar bebas di depan bekas kantor Wali Kota Jakarta Barat.
Saat itu situasi tenang tanpa adanya ketegangan dari massa dan aparat.
Negosiasi dilakukan dengan Dandim dan Kapolres serta tim negosiasi berusaha menghubungi MPR/DPR.
Namun, sedikit demi sedikit massa kembali ke kampus.
Kesepakatan dari wakil mahasiswa dan aparat yaitu keduanya sama-sama mundur.
Massa menolak namun berhasil dibujuk oleh Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH serta ketua SMUT.
Massa dan aparat sama-sama bergerak mundur dengan tertib.
Tiba-tiba muncul seorang oknum bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (tidak tamat) berteriak.
Mashud mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa.
Massa terpancing emosi dan mengira orang tersebut adalah aparat yang menyamar.
Mashud dikejar oleh massa dan ia berlari menuju barisan aparat.
Akibatnya terjadilah ketegangan antara massa dan aparat.
Massa kembali dapat dikendalikan oleh petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala Kamtibpus Trisakti.
Kesepakatan lagi keduanya sama-sama bergerak mundur.
Saat mahasiswa bergerak mundur kembali ke kampus, beberapa mahasiswa sempat terpancing emosi karena di antara barisan aparat ada yang menertawakan dan meledek serta mengucap kata-kata kotor kepada mahasiswa.
Di saat yang bersamaan, aparat menyerang mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata.
Massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus.
Aparat melakukan penembakan membabi buta, pelemparan gas air mata, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap mahasiswi.
Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
Tidak hanya mengejar mahasiswa, penembakan juga dilakukan dari fly over Grogol.
Selain mengejar, aparat juga menangkap dan menganiaya mahasiswa dan mahasiswi kemudian membiarkan mereka tergeletak di tengah jalan.
Tembakan terus dilakukan ke arah depan gerbang Trisakti, sementara dari arah fly over aparat juga menembaki mahasiswa di dalam kampus.
Sebagian aparat yang berada di bawah menyerbu pintu gerbang dan menembak arah mahasiswa di dalam kampus.
Tembakan tersebut mengakibatkan korban meninggal dan korban luka.
Saat tembakan mulai mereda, para mahasiswa dilarikan menuju RS.
Kepanikan kembali terjadi saat beberapa aparat berpakaian gelap berada di parkiran utama dan penembak jitu berada di atas gedung yang masih dibangun.
Mahasiswa berlarian ke dalam ruang kuliah atau tempat yang dirasa aman dan segera memadamkan lampu untuk bersembunyi.
Setelah kondisi sedikit aman, para mahasiswa meminta kepastian kepada Dekan FE untuk kepulangan mereka ke rumah.
Dekan FE bernegosiasi dengan Kol.Pol.Arthur Damanik dan hasil negosiasi mahasiswa dapat pulang.
Syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang).
Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
Kebanyakan mahasiswa dilarikan ke RS Sumber Waras.
Dilansir dari Kompas yang mengutip dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016) karya Rosidi Rizkiandi, ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries menyatakan hasil visum Hery Hertanto.
Tubuh Hery Hertanto ditemukan serpihan peluru kaliber 5,56 mm yang digunakan untuk senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1.
Pengguna senjata Styer adalah satuan Brimob atau Kopassus saat itu.
Hasil yang sama dan senada juga diungkapkan dari hasil otopsi Tim Pencari Fakta ABRI serta uji balistik di Forensic Technology Inc di Montreal, Kanada.
Jenderal Pol Dibyo Widodo yang menjabat sebagai Kapolri saat itu membantah anak buahnya menggunakan peluru tajam.
Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga mengatakan polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata.
Hingga saat ini, misteri pelaku pembunuhan Tragedi Trisakti belum juga terkuak.
(Tribunnews.com/Miftah)