Detik-detik Longsor di Wonosobo Terekam Kamera, Sebabkan 2 Orang Luka-luka dan Kerugian Rp 300 Juta
Bencana longsor terjadi di Dusun Jetis RT 02/01, Desa Pacarmulyo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Jumat (14/12/2018).
Penulis: Daryono
Editor: Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Bencana longsor terjadi di Dusun Jetis RT 02/01, Desa Pacarmulyo, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Jumat (14/12/2018).
Dikutip Tribunnews.com dari laman resmi Badan Geologi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), www.vsi.esdm.go.id, longsor tersebut menyebabkan dua orang luka-luka, satu rumah rusak dan kerugian material yang ditaksir Rp 300 juta.
Badan Geologi PVMBG menyampaikan lonsgor di Wonosobo itu disebabkan oleh hujan deras yang turun sebelum dan saat kejadian gerakan tanah.
Lonsor juga dipicu oleh kondisi lereng yang terjal dan tanpa penahan.
Baca: Detik-detik Longsor yang Landa Dusun Jetis Leksono Wonosobo, Ketua RT Sempat Tergulung Lumpur
(Selengkapnya laporan Badan Geologi PVMG dapat anda lihat di tautan ini)
Adapun longsor di Wonosobo itu juga terekam kamera ponsel.
Video rekaman detik-detik terjadinya longsor di Wonosobo itu diunggah oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugoroho, Sabtu (15/12/2018).
Sutopo menyatakan longsor di Desa Pacarmulyo itu disebabkan oleh curah hujan deras dan berada di bawah saluran irigasi yang tidak terawat.
Debit air yang tinggi menyebabkan tanah tidak mampu menahan debit air yang masuk di dalam tanah dan memicu longsor.
Berikut rekaman video yang diposting oleh Sutopo:
Wonosobo Diguncang Gempa Senin Malam, Mengingatkan Kembali tentang Gempa Dahsyat 1924 Silam
Gempa dangkal berkekuatan 2,7 magnitudo mengguncang wilayah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Senin (10/12/2018) malam pukul 20:05:40 WIB.
Analisis BMKG, gempa bumi terjadi dengan koordinat episenter pada 7.42 LS dan 109.87 BT atau tepatnya berlokasi di darat pada jarak 7 km arah Barat Daya Kabupaten Wonosobo pada kedalaman 11 km.
Hikmah, warga Desa Pungangan Kecamatan Mojotengah Wonosobo kaget merasakannya.
Getaran cukup terasa meski tidak kuat.
Warga Pungangan pun berhamburan keluar rumah untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
"Ya biasa kalau ada lindu (gempa), warga keluar rumah. Sudah lama gak ada lindu di sini," jelas Hikmah kepada Tribunjateng.com.
Baca: Korban Longsor Satu Keluarga di Toba Samosir: Anak Korban Histeris Peluk 6 Peti Jenazah Keluarganya
Peristiwa ini mungkin saja mengejutkan bagi sebagian orang.
Wajar, daerah asri yang dikelilingi beberapa gunung api ini jarang sekali tercatat mengalami bencana alam gempa bumi.
Cerita soal Wonosobo selama ini lebih banyak dibumbui hal-hal manis tentang keindahan alamnya yang menakjubkan, di antaranya Dieng yang berjuluk negeri di atas awan.
Kawasan yang sebagian masuk wilayah administrasi Kabupaten Banjarnegara itu selalu menjadi jujugan wisatawan dalam hingga luar negeri hingga sekarang.
Siapa sangka, di balik kecantikannya yang memikat, Wonosobo memiliki jejak masa lalu yang kelam.
Kota yang jauh dari samudera ini pernah luluh lantak karena gempa.
Meskipun berskala kecil, peristiwa gempa bumi semalam membuka kembali memori tentang gempa dahsyat yang pernah terjadi di wilayah ini, seratusan tahun silam.
Memori yang telah lama terkubur.
Tahun 1924, masyarakat Wonosobo digegerkan oleh gempa dahsyat yang datang tanpa permisi.
Saat industri percetakan dan media massa masih jarang, kejadian memilukan ini bahkan berhasil menjadi top news media massa berbahasa asing di era Hindia Belanda.
Tak jauh beda dengan zaman kini, tak semua peristiwa bencana alam di suatu negara kala itu menjadi topik pembicaraan di kancah internasional.
Tetapi gempa Wonosobo mencatatkan sejarahnya sendiri dalam catatan sejarah gempa dunia.
Ini membuktikan, gempa Wonosobo pernah menjadi perhatian dunia kala itu karena kengerian dampak yang ditimbulkan.
Majalah lama berbahasa Belanda “Indie” yang terbit tanggal 7 Januari tahun 1925 menuliskan laporan mengenai gempa di Wonosobo dengan gambaran yang mengerikan.
Terbitan itu menggambarkan penderitaan dan kepanikan masyarakat yang dilanda bencana dahsyat.
Bencana itu menyisakan luapan air mata serta trauma yang membekas lama.
Banyak warga meninggal dengan cara tragis.
Mereka yang selamat harus menanggung duka berkepanjangan, serta trauma yang akan membekas lama.
Tempat tinggal dan harta benda di dalamnya hancur hingga perekonomian lumpuh.
Jurang kemiskinan yang dalam karena penjajahan, bertambah curam akibat gempa yang meluluhlantakkan kehidupan.
“Wilayah Wonosobo di Hindia Belanda dikejutkan oleh teriakan melengking kesakitan dari masyarakat yang semula hidup bahagia berubah menjadi kemalangan, kesusahan dan kemiskinan."
"Dalam beberapa hari dan beberapa malam semua yang mereka miliki dan sayangi hilang sehingga kesedihan dan keputusasaan telah mencengkeram hati mereka."
"Di daerah padat penduduk, cengkeraman bencana alam tanpa henti. Rumah hancur, ternak mati dan melarikan diri hingga lubang-lubang akibat bencana menelan manusia, hewan, dan desa. Kampung atau jurang runtuh secara ajaib dikepung oleh gempa bumi dalam hitungan detik , sementara banjir melanda. Pemandangan daerah yang padat bangunan rusak."
"Ya , saat kita menulis ini, sudah dihitung lebih dari 1.000 orang mati,“ demikian laporan itu yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Seorang politisi Hindia Belanda Mr Wijnkoops dalam rapat interpelasi Pemerintah Hindia Belanda pertemuan ke-39 tanggal 17 Desember 1924 menyampaikan empatinya terhadap musibah tersebut.
Baca: Seorang Korban Longsor di Jalan Lintas Padang-Solok Meninggal, 4 Lainnya Dirawat
Ia yang begitu mengagumi keindahan alam pegunungan Wonosobo terkejut dengan bencana alam yang merenggut kecantikan daerah itu.
"Saya ingin berbicara tentang bencana yang terjadi di Wonosobo yang saat ini menjadi bahan pembicaraan, dengan gempa bumi yang mengerikan kawasan yang indah di bagian dari Jawa Tengah ini telah hancur. Saya mengucapkan bela sungkawa dan berusaha memberikan suatu yang lebih untuk daerah yang indah tersebut. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi disana.”
Angka korban jiwa yang tertulis dalam laporan itu tentunya sudah mampu menggambarkan kedahsyatan gempa kala itu.
Sebab, di tahun tersebut, pemukiman dan jumlah penduduk tentu masih jarang, tidak sepadat sekarang.
Tempat tinggal warga yang masih banyak berbahan kayu rusak hingga rubuh.
Kedahsyatan gempa kala itu juga tampak dari bangunan-bangunan Belanda di pusat kota, termasuk gedung-gedung perkantoran.
Padahal, arsitektur Belanda dikenal memiliki konstruksi yang kuat dibanding bangunan pada zaman sekarang.
Tetapi pada hari nahas itu, sejumlah bangunan kolonial di pusat kota nyatanya tak mampu menahan guncangan hingga runtuh.
Hotel Dieng, yang kini berubah nama menjadi Hotel Kresna, di pusat kota pun hancur karena gempa.
Begitu pula beberapa bangunan lain di kota yang juga mengalami kerusakan sangat parah.
"Tidak semua gempa tercatat dalam sejarah dunia. Nah, dua gempa di Wonosobo ini tercatat dalam sejarah gempa dunia," kata Bimo Sasongko, Pustakawan Perpustakaan Kabupaten Wonosobo
Rentetan gempa itu dimulai pada Minggu 9 November 1924.
Terdapat 5 guncangan kala itu, 3 di antaranya terasa begitu kuat sehingga penduduk bergegas meninggalkan rumah.
Selang beberapa hari kemudian, Rabu 12 November 1924, dua guncangan kuat terasa di sore hari yang menyebabkan kerusakan serius.
Gempa berlangsung 10 menit dengan guncangan keras dan bergelombang dari arah utara disertai gemuruh .
Derita para korban belum berakhir.
Gempa kembali mengguncang cukup kuat pada Minggu, 16 November 1924.
Pusat gempa di 4 KM BL dari pusat Kota Wonosobo telah menyebabkan fragmentasi dan pergeseran lapisan tanah.
Beberapa daerah yang disebut terkena dampak terparah adalah kampung Kali Tiloe, Pagetan, Salam, dan Larang yang terseret runtuhnya tanah.
Dampak gempa mencapai daerah Wonoroto dari utara ke selatan dari pusat gempa. Banyak kampung mengalami kerusakan sangat parah (Indie, hlm 331).
(Tribunnews.com/Daryono/TribunJateng/khoirul muzaki)