Cerita Seorang Korban Selamat di Penembakan Masjid di New Zealand: Aku Tidak Bisa Selamatkan Temanku
Cerita Seorang Korban Selamat di Penembakan Masjid di Christchurch New Zealand: Aku Tidak Bisa Selamatkan Temanku
Penulis: Tiara Shelavie
Jemaah yang duduk saat mereka berdoa, menjadi target pertama si penembak.
"Mereka semua ditembak," ucap Syed Ahmed, pada situs berita Stuff.
Si penembak meneriaki sesuatu, tapi Syed Ahmed tidak bisa mendengarnya karena suara teriakan jemaah lain saat ia merangkak ke dalam gudang untuk menyelamatkan diri.
Syed Mazharuddin menyaksikan dua teman di sampingnya tertembak.
Satu langsung meninggal dunia sementara satu temannya luka parah.
Syed Mazharuddin berkata ia keluar ruangan untuk mencari bantuan, tapi kemudian polisi datang dan mencegahnya masuk kembali.
"Mereka tidak mengizinkanku masuk kembali jadi aku tidak bisa menyelamatkan temanku.
Ia pendarahan parah, butuh waktu hampir setengah jam dan bahkan lebih dari setengah jam untuk ambulance datang sehingga aku pikir ia tak akan selamat," ucapnya pada New Zealand Herald.
Usaha dilakukan untuk menghentikan aksi penembak itu.
Seorang pria yang biasanya merawat masjid, menerkam pria bersenjata itu dan berhasil mendapatkan senjatanya, ungkap Mazharuddin menambahkan.
Tapi meskipun dia mengejar, pria bersenjata itu pergi.
Polisi kemudian mengungkapkan bahwa seorang pria 20-an akhir telah ditangkap dan didakwa pembunuhan.
Dua pria lain dan seorang wanita juga ditahan, seorang dibebaskan kemudian.
Belum ada nama yang diumumkan ke publik.
Christchurch, kota terbesar di Pulau Selatan dengan populasi 400.000, terkunci pada hari Jumat kemarin.
Lebih dari 200 anggota keluarga menunggu berita tentang orang yang mereka cintai di rumah sakit Christchurch.
Dengan banyak dari yang terluka yang membutuhkan beberapa operasi, 12 ruang operasi sedang digunakan.
Di tempat penembakan, warga Selandia Baru mulai meletakkan bunga dan surat sebagai tanda belasungkawa.
"New Zealand is with you," ungkap seorang wanita yang meletakkan bunga lili.
Walikota Christchurch, Lianne Dalziel, menyerukan ketenangan pada warga dan solidaritas.
"Saya tidak pernah percaya bahwa hal seperti ini akan pernah terjadi di kota Christchurch, tetapi sebenarnya saya tidak akan pernah percaya bahwa ini terjadi di Selandia Baru," ucapnya melalui akun Facebook.
Dalam manifesto online 74 halaman, terduga pelaku memilih Selandia Baru karena lokasinya, untuk menunjukkan bahwa bahkan bagian paling terpencil di dunia saja tidak terbebas dari "imigrasi besar-besaran."
Perdana menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, menandai pembantaian itu sebagai "salah satu hari paling gelap di Selandia Baru."
Ia menambahkan "Anda mungkin telah memilih kami, tetapi kami benar-benar menolak dan mengutuk Anda."
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)