Pringsewu Miniatur Jawa Tengah
Kota tujuan saya berikutnya adalah Pringsewu.
TRIBUNNEWS.COM--Petualangan tiga bulan lebih 10 hari. Itulah salah program terbaru stasiun televisi Kompas TV. Perjalanan menyusuri pelosok Indonesia selama 100 hari nonstop yang dikemas dengan program titel 100 Hari Keliling Indonesia. Bintang film dan presenter Ramon Y Tungka selaku pemandu program bersama tim produksi Kompas TV melaporkannya catatan harian untuk pembaca Tribunnews.com. Berikut catatannya.
Saya meninggalkan Bandar Lampung saat matahari belum terlalu tinggi, kira-kira pukul 08.00 WIB. Kota tujuan saya berikutnya adalah Pringsewu.
Pringsewu adalah sebuah kota kabupaten yang terletak di sebelah barat Kota Bandar Lampung. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Tanggamus, yang disahkan menjadi kabupaten tersendiri pada 2008.
Untuk menuju Pringsewu, alternatif transportasi yang saya pilih adalah bus tiga perempat jurusan Rajabasa-Pringsewu. Perjalanan saya tempuh selama 1,5 jam dengan ongkos Rp 10 ribu saja.
Selama perjalanan saya dibuat terheran-heran oleh bahasa yang digunakan olah para penumpang bus. Hampir seluruh penumpang bus berbicara dengan Bahasa Jawa. Bahkan beberapa kali kenek bus meneriakan nama-nama daerah di Jawa Tengah untuk mengecek apakah ada penumpang yang mau turun.
Daripada mati penasaran, saya putuskan bertanya pada bapak di sebelah saya yang dari tadi sibuk menatap keluar cendela bus. Namanya Pak Narto dan jawabanya sungguh dasyat.
“Pringsewu ini kan memang KW satunya Jawa mas, Jawa Tengah khususnya,” kata Pak Narto.
Hampir seluruh kecamatan yang berada di Pringsewu, kata Pak Narto, bernama sama dengan nama-nama daerah di Jawa. Misalnya Banyumas, Ambarawa, Gading Rejo dan Sukoharjo.
Asal muasal kesamaan nama ini adalah kebijakan transmigrasi dari jawa yang sudah dimulai sejak jaman Belanda. Begitu datang ke Lampung, para transmigran ini menamakan daerah mereka sama persis dengan nama daerah asal mereka di Jawa.
“Jadi kalau mas mau keliling Jawa Tengah, ya disini saja. Kelilingi kabupaten Pringsewu, sama saja to,” kata Pak Narto sambil tertawa.
Akhirnya rasa penasaran saya terjawab sudah. Siapa sangka perjalanan saya meninggalkan Jakarta ke arah barat justru mempertemukan saya dengan Jawa Tengah, yang notabene berada di timur Jakarta .
Besarnya jumlah transmigran asal Jawa membuat bahasa sehari-hari di Pringsewu pun bahasa Jawa dengan berbagai cengkok. Ada yang terdengar seperti gaya bahasa orang Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Arus transmigrasi di masa lampau ke daerah ini juga menyebabkan Pringsewu menjadi kabupaten berpenduduk terpadat di Provinsi Lampung.
Pak Narto turun di Tambak Rejo, beberapa sekitar satu kilometer sebelum gerbang masuk kota Pringsewu. Saya sendiri, turun di depan Gala Square, yang kata Pak Narto masuk daerah Gading Rejo. Di Pringsewu saya akan bertemu dengan orang-orang yang kuat.
Merujuk saran beberapa kawan, saya memilih tidak melakukan perjalanan malam selama menyusuri Pulau Sumatera. Maka saya meneruskan perjalanan saya dari Pringsewu ke Kota Agung, Kabupaten Tanggamus pada keesokan harinya.
Tidaklah susah menemukan transportasi umum menuju Kota Agung pada pagi hari. Saya menunggu bus di lokasi yang sama saat saya turun kemarin. Sekitar 15 menit saya sudah dapat bus yang mengarah ke Kota Agung. Nama busnya Lampung Jaya dan ongkos yang harus saya bayar cukup Rp 20 ribu saja.
Sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan hamparan sawah yang hijau dan deretan rumah panggung dari kayu. Jalan tidak terlalu berkelok-kelok, namun karena ukuran jalan yang tidak terlalu lebar sesekali bus harus melambatkan lajunya saat berpapasan dengan kendaraan lain.
Memasuki Kota Agung, pemandangan berganti. Aroma keramaian mulai terasa. Jalan raya menjadi lebih lebar dan dibikin dua jalur dengan pembatas taman kecil kecil ditengahnya. Ada satu hal yang langsung menarik perhatian saya, lambing kota yang berupa sepasang ikan lumba-lumba.
Lagi-lagi saya menggunakan jurus lama, yaitu merecoki kawan duduk saya dengan pertanyaan. Kali ini posisi sebelah saya terisi oleh seorang perempuan. Namanya Nita, warga Kota Agung yang baru saja menjenguk saudaranya di Bandar Lampung.
Menurut Nita lumba-lumba digunakan sebagai lambang kota karena memang ada lumba-lumba dalam jumlah besar yang sering melintas di Teluk Kiluan, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Teluk Kiluan berjarak 60 kilometer dari Kota Agung. Kurang lebih 3 jam perjalanan darat.
Cukup jauh memang, belum lagi ditambah dengan jarak tempuh laut menuju lokasi kemunculan lumba-lumba.
Saya turun terlebih dahulu dibanding Nita, maka berakhir sudah kisah pendek tentang lumba-lumba di bus antar kota ini. Masih ada sekitar satu jam perjalanan lagi yang harus saya tempuh sebelum saya benar-benar mencapai tujuan saya hari ini.
Melompat keluar dari dalam bus, tujuan sela saya adalah Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Di sini saya sudah janjian dengan kawan dari balai untuk numpang mobil patrol mereka ke lokasi taman nasional.
Perjalanan kali ini jauh lebih menarik. Sepanjang jalan saya merasakan udara sejuk cenderung dingin. Bukan, bukan karena AC mobil patroli yang sangat bagus, tapi karena saya berada di bak belakang mobil patroli. Kesejukan kuat yang saya rasakan berasal dari angin dan kondisi udara dari Kota Agung menuju taman nasional yang memang dingin.
Ditambah lagi dengan laju mobil yang cukup kencang. Sejujurnya saya agak heran dengan mobil ini, kecepatan dan kekuatannya sungguh berbanding terbalik dengan penampakannya. Mobil patrol ini bisa dibilang cukup tua, beberapa karat nampak disana sini begitu juga dengan cat yang sudah mulai memudah bahkan terkelupas. Jadi ingat pepatah lama, “jangan menilai isi buku hanya dari sampulnya”.
Perjalanan ke taman nasional ternyata berbonus pemandangan yang luar biasa. Hamparan sawah, perbukitan hijau, deretan rumah panggung kayu sederhana, beberapa sungai besar dengan air jernih dan lebatnya hutan belantara.
Menjelang sore saya tiba di salah satu pondok milik taman nasional. Malam ini saya akan menginap disini. Dan berhubung perut sudah sangat lapar, hal pertama yang saya lakukan dengan beberapa teman adalah memasak. Disini kami harus memasak sendiri, maka bisa dibayangkan nasib lidah kami saat mencicipi hasilnya nanti. Bisa jadi menari kegirangan atau malah mengkerut menahan derita.
Suasana malam di taman nasional sangat menyenangkan. Walaupun gerimis tiada habis, namun secangkir kopi dan paduan suara binatang membuat kami merasa hangat dan nyaman.