Perjuangan Bondan Winarno Melawan Penyakitnya
Kepergian Bondan Winarno yang sangat mendadak mengejutkan seluruh pihak, khususnya pihak keluarga.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM - Kepergian Bondan Winarno yang sangat mendadak mengejutkan seluruh pihak, khususnya pihak keluarga.
Bukan hanya selalu terlihat segar, pria yang dikenal luas dengan jargonnya 'maknyuus' itu diketahui juga menyembuyikan rahasia besarnya kepada pihak keluarga.
Namun, jelang ajal menjemputnya, rahasia yang telah dipendam lebih dari 12 tahun lamanya, tepatnya pada tahun 2005 silam itu tidak kuasa ditahannya.
Lewat grup facebook Jalan Sutra, Bondan pun bercerita.
Perjalanan panjang pria kelahiran Surabaya, 29 April 1950 itu mengejar kesehatan dimulai dari kepulangannya dari Singapura pada tahun 2005.
Dalam penerbangan, dirinya merasakan ujung-ujung jari tangan kanannya kebas seperti kesemutan.
Dirinya yang tiba di Bandara International Soekarno-Hatta kemudian berkonsultasi dengan Dr Sindhiarta Mulya.
Dalam sambungan telepon, sang dokter menganjurkan kepadanya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit terdekat, sebab diagnosa sementara, dirinya mengalami kelainan jantung.
Prosedur MRI (Magnetic Resonance Imaging) di Rumah Sakit Premier Bintaro sejalan dengan diagnosa Dr Sindhiarta Mulya, dirinya mengalami penyumbatan arteri Jantung dan harus menjalani kateterisasi secepatnya.
Namun, diagnosa oleh ahli neurologi di Rumah Sakit Premier Bintaro justru berbeda dengan hasil pemeriksaan MRI, disebutkan gejalah yang dialaminya bukanlah penyakit jantung.
"Saya mencari second opinion di RSPI. Kesimpulan sama: cardiologist bilang harus kateterisasi segera. Neurologist RSPI juga bilang: bukan masalah jantung. Dalam kebimbangan, saya tidak menjalani kateterisasi. Saya hanya minum Plavix (pil pengencer darah) untuk menghindari penyumbatan arteri," tulisnya dalam Jalur Sutra.
Akan tetapi, setahun setelah mengkonsumis Plavix, gejala kembali dirasakannya ketika dirinya minum anggur dan makan steaks masakan Adi Taroe di rumah Yohan Handoyo, Bogor, Jawa Barat.
Dirinya mengaku nyaris pingsan dan dilarikan le Rumah Sakit Azra, ketika itu dokter jaga mendiagnosa tekanan darah terlalu rendah karena darah terlalu encer.
"Sejak saat itu saya ke HSC (HSC Medical Center) di KL (Kuala Lumpur) untuk annual check up. Di sana dikonfirmasi dengan MSCT bahwa saya memang tidak mengidap penyakit jantung," tulisnya lagi.
Hampir satu dekade berselang ketika melakukan medical check up di HSC Medical Center, Kuala Lumpur, tepatnya bulan April 2015, ditemukan dilatasi atau penggembungan tahap awal pada aorta jantungnya.
Penyakit tersebut dikenal dengan istilah medis, aorta aneurysm. Menurut Dr Soo, dirinya harus memeriksakan diri setiap tahun, sehingga apabila membesar perlu tindakan operasi.
"Katanya: saya spt membawa bom waktu yang setiap saat bisa pecah dan mematikan saya. Dr. Soo juga mengaku bahwa dia bukan ahlinya di bidang aneurysm. Bila perlu pembedahan, dia harus mengundang dokter bedah dari Jepang. Biaya diperkirakan Rp 600-700juta," tulisnya.
Setahun berselang, tepatnya April 2016, janji operasi dipenuhi. tetapi, Dr Soo yang hendak menangani operasi jantungnya justru mengalami sakit dan menjalani operasi.
Sementara, dokter pengganti yang ditemuinya menurutnya tidak memuaskannya, khususnya soal Aneurisma atau dilatasi pada dinding aorta jantungnya.
Setahun berlalu hingga April 2017, dirinya kembali hendak berkonsultasi dengan Dr Soo. tetapi seperti mengulang kejadian setahun lalu, Dr Soo kembali mendadak sakit.
"Saya lgsg jalan2 ke tempat adik saya di Penang. Di sana saya mengalami semacam pencerahan. "Kenapa saya pasrahkan masalah kesehatan saya kpd orang yg bukan ahlinya?" Dr. Soo adalah salah satu ahli kateter di Asia, tapi bukan ahli aneurysm. Saya segera berkomunikasi dgn Dr. Sindhi yg lgsg saja membanjiri saya dgn berbagai info bagus dan penting. Saya putuskan untuk mengikuti saran Dr. Sindhi," tulisnya.
Tanpa membawa hasil, dirinya kemudian kembali pulang ke Jakarta. Tepat pada bulan Juli 2017, dirinya kemudian berkonsultasi seharian bersama Dr Sindhi di Tangerang, Banten. tanpa sadar, dirinya kemudian diajak Dr Sindhi ke Rumah Sakit Siloam Karawaci untuk bertemu dengan Dr Iwan Dakota, ahli vaskuler. Tidak hanya akan diperiksa langsung oleh adik Kapolri Tito Karnavian, dirinya terkejut dengan penyambutan Dirut Rumah Sakit Siloam Karawaci yang diketahui merupakan sahabat Dr Sindhi.
Dalam pemeriksaan sederhana dengan menggunakan stetoskop oleh Dr Iwan serta lampiran hasil medical record terakhir di Rumah Sakit HSC Medical Center Kuala Lumpur, Dr Iwan menemukan katup aorta jantungnya bocor. Karena itu, dirinya kemudian diminta untuk segera Rumah Sakit Nasional (PJN) Harapan Kita untuk menjalani pemeriksaan echo.
"Dalam pemeriksaan echo di Harkit (Rumah Sakit Nasional Harapan Kita), 65% confirmed bahwa katup aorta saya bocor. Saya kemudian menjalani TEE (endoscopy) utk mendapatkan 90% konfirmasi. Demikianlah, dlm waktu singkat tim dokter Harkit menemukan kelainan lain yg perlu segera ditangani," tulisnya.
Pembedahan segera dilakukan, Dr Iwan menyerahkan nasibnya kepada tim bedahnya, Dr Dicky Alighiery Hartono, seorang ahli bedah vaskular lulusan Korea Selatan.
Pembedahan paling berat, rumit, dan sulit itu diungkapkannya berlangsung lima hingga enam jam. 'Mumpung Pak Bondan sdg fit, kita lakukan segera, ya?' imbuhnya menirukan ajakan Dr Dicky Alighiery Hartono utnuk melakukan pembedahan.
Operasi pertama sukses dilakukan, tepat pada tanggal 27 september 2017, dirinya kembali menjalani dua operasi sekaligus, yakni penggantian katup aorta dan penggantian aorta yang nengalami dilatasi. Operasi tersebut disebutkannya berlangsung selama lima jam dan dinyatakan berhasil.
"Saya siuman di ICU sore hari dan dirawat selama 24 jam di ICU. Dari ICU saya dipindah ke Intermediary Ward.
Normalnya, bila operasi berhasil, 24 jam sesudah di Intermediary Ward, maka akan dipindahkan ke kamar perawatan biasa.
"Dalam operasi besat seperti yang saya alami, ada 2 hantu komplikasi: 1. perdarahan, 2. aritmia (denyut jantung tidak beraturan). Saya terbebas dari perdarahan. Tapi, Sabtu dini hari saya kejang2 dlm tidur saya. Ternyata saya mengalami komplikasi aritmia. Saya dipasangi TPM (Temporary PaceMaker) sambil dimonitor penyebabnya (biasanya krn peradangan)," ungkapnya.
Bersamaan, aritmia yang dialaminya ditangani oleh Dr Dicky Hanafy. Namun, progress dari Temporary PaceMaker setelah 72 jam tidak menunjukkan hasil, TPM lainnya kembali dipasang di pangkal paha.
"Terus terang, saya ketakutan," imbuhnya.
"Miracle happens. Selasa malam, ketika perawat sdg mempersiapkan saya utk didorong ke kamar operasi, tiba2 denyut nadi saya berirama kembali. Operasi dibatalkan. Saya lega setengah mati.
Demikianlah, kejadian demi kejadian telah saya alami. Untuk sementara saya belum dapat dijenguk di Intermediary Ward.Tapi, bila keadaan membaik, Jumat ini saya akan dipindah ke kamar perawatan. Tempatnya terlalu kecil utk Anda menjenguk," tulisnya sebelum mengakhiri suratnya dengan doa.
Tetapi, segala upaya dan pengorbanan yang dilakukan Bondan kini telah berakhir.
Tuhan memanggilnya di usia 67 tahun ketika menjalani perawatan di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta Barat pada Rabu (29/11/2017) pagi. (dwi rizki/Warta Kota)