7 Puisi Cinta Karya Sapardi Djoko Damono Paling Romantis dan Menyentuh Hati
Kumpulan Puisi Cinta Karya Sapardi Djoko Damono Paling Romantis dan Menyentuh Hati dilengkapi dengan lima buku paling populer versi Gramedia
Penulis: Arif Fajar Nasucha
Editor: Ayu Miftakhul Husna
TRIBUNNEWS.COM - Meninggalnya sastrawan, Sapardi Djoko Damono meninggalkan kesedihan bagi masyarakat Indonesia.
Sapardi Djoko Damono dikabarkan menghembuskan napas terakhirnya di usia ke-80, Minggu (19/7/2020) sekira pukul 09.17 WIB.
Pria kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini kerap melahirkan puisi-puisi yang romantis dan menyentuh hati.
Yang Fana adalah Waktu menjadi satu dari beberapa puisi romantis karya Sapardi yang sangat populer.
Baca: Sastrawan Sapardi Djoko Damono Tutup Usia, Jenazahnya Dimakamkan Minggu Sore di Bogor
Bahkan puisi karyanya yang berjudul Hujan Bulan Juni diangkat ke layar lebar.
Berikut tujuh puisi cinta karya Sapardi Djoko Damono paling romantis dan menyentuh hati yang dikutip dari Gramedia.com:
1. Aku Ingin
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Puisi Aku Ingin menjadi salah satu karya Sapardi yang beralih wahana menjadi lagu, atau biasa disebut musikalisasi puisi.
2. Pada Suatu Hari Nanti
“Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.”
Puisi ini dapat menggambarkan seolah alasan Sapardi masih menulis meski diusianya yang senja.
3. Hanya
“Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu”
4. Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta
“mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
mencintai-Mu
harus menjelma aku”
5. Menjenguk Wajah di Kolam
“Jangan kauulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.
Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.
Baik, Tuan.”
6. Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi
7. Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Baca: Jenazah Sapardi Djoko Damono Dimakamkan Bada Ashar di Taman Pemakaman Giritama, Bogor
Baca: Profil Sapardi Djoko Damono, Sastrawan Kebanggaan Indonesia Kini Tutup Usia, Raih Banyak Penghargaan
Selain menciptakan puisi, ia juga telah menerbitkan sejumlah buku puisi, esai, fiksi, bahkan menerjemahkan karya sastra sejak 1969.
Berikut lima buku terbaik karya Sapardi Djoko Damono versi Gramedia.com:
1. Hujan Bulan Juni
Hujan Bulan Juni merupakan salah satu novel trilogi dari Sapardi yang paling banyak diburu.
Manis-getir kisah Sarwono dan Pingkan dituangkan begitu penuh makna.
Hujan Bulan Juni dilirik untuk diadaptasi ke layar lebar, yang dengan apik diperankan oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia.
Sebelum beralih menjadi novel, Hujan Bulan Juni terlebih dahulu terbit merupa kumpulan puisi, yang kemudian juga disisipkan ke dalam novel.
Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni telah dialihbahasakan ke dalam empat bahasa yaitu Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.
2. Yang Fana Adalah Waktu
Membahas trilogi Hujan Bulan Juni, kisah Sarwono dan Pingkan usai dalam novel ini, setelah sebelumnya dijembatani oleh Pingkan Melipat Jarak.
Saat novel ini terbit, peluncurannya diwarnai oleh pembacaan sajak dan musikalisasi puisi dari sajaknya yang dibawakan oleh Arini Kumara, Umar Muslim, dan Tatyana Soebianto.
Trilogi ini mendapatkan penghargaan dalam Anugerah Buku ASEAN 2018 di Malaysia.
Buku ini dinilai sebagai karya sastra dengan mutu tinggi oleh para panel penilai profesional.
Baca: Sastrawan Sapardi Djoko Damono Tutup Usia, Ini Profil dan Sederet Karyanya yang Terkenal
3. Duka-Mu Abadi
Pada 2017 lalu, bertepatan dengan usianya yang menginjak 77, Sapardi tidak melewatkan kesempatan untuk merayakannya dengan menerbitkan tujuh buku sekaligus.
Masing-masing satu novel dan enam kumpulan puisi.
Pingkan Melipat Jarak (novel kedua dari Trilogi Hujan Bulan Juni), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?, Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita, Kolam, Namaku Sita, Duka-Mu Abadi, dan Ayat-ayat Api.
Keenam buku kumpulan puisi ini mulanya sudah pernah terbit.
Buku ini berisi 43 puisi Sapardi pada tahun 1967-1968 dan menjadi salah satu yang paling diminati.
4. Bilang Begini, Maksudnya Begitu
Lewat buku ini Sapardi sukses menunjukkan keinginannya untuk mengajak mereka di luar sana yang belum dekat dengan sastra.
Buku ini merupa ajakan yang menyertakan contoh juga penjelasan.
Agar pembaca mengerti ‘gaya’ yang seringkali digunakan oleh para penyair dalam ber-rima.
5. Manuskrip Sajak Sapardi
Pada 2017 lalu, Manuskrip Sajak Sapardi lahir mewarnai kebutuhan literasi Indonesia.
Buku ini disebut-sebut sebagai harta karun yang berharga.
Di dalamnya terdapat corat-coret sajak Sapardi semasa muda hingga dewasa.
Buku ini dirancang serupa album kolase gambar yang dibagi dalam periode tahunan, sejak 1958 sampai 1968, juga 1970-an.
Dalam Manuskrip Sajak Sapardi kita dapat melihat sajak-sajak indah Sapardi yang spontan, mengalir apa adanya, sebelum lahir dalam bentuk buku.
(Tribunnews.com/Fajar) (Gramedia.com/Meutia Ersa Anindita)