Singky Soewadji dan Prestise Berkuda Jatim
Akan banyaknya atlet-atlet veteran berkuda yang akan 'come-back'
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Salah satu anekdot yang kini cukup ramai diperbincangkan di kalangan berkuda adalah, akan banyaknya atlet-atlet veteran yang akan 'come-back' pada pentas berkuda PON XIX-2016 mendatang di Jawa Barat.
'Rider-rider' senior seperti James Momongan, Nico Pelealu, serta Singky Soewadji dan Eeng Harijanto disebut-sebut atau diisyaratkan akan turut menyeramarakan persaingan perebutan 10 set medali yang diperebutkan di nomor tunggang serasi (dressage) dan lompat rintangan (show jumping) perorangan dan beregu.
Nomor tunggang serasi dan lompat rintangan jelas sudah pasti akan diperlombakan pada kontes berkuda PON XIX-2016 itu. Disiplin pacuan masih sangat mungkin diperdebatkan, karena memang belum pernah ikut diperlombakan di PON. Kendati demikian, mengingat potensi besar yang dimiliki Jabar pada pacuan ini, sangat mungkin nomor ini pun akan diperjuangkan.
Tekad tuan rumah pastinya akan didukung oleh daerah-daerah yang selama ini dikenal sebagai lumbung pacuan, seperti Jateng, Kalsel, Sumbar, Sulut, dan juga DKI Jaya. Apalagi, nomor pacuan juga mengalokasikan medali yang sama banyaknya dengan equestrian, yakni 10 set medali.
PON XIX memang masih tiga tahun lagi, akan tetapi sangat wajar jika persiapan untuk menjadi yang terbaik di pentas olahraga terbesar Tanah Air tersebut harus dilakukan jauh-jauh hari.
Apalagi untuk berkuda, cabang olahraga dengan 'spesifikasi' unik dan tergolong tidak murah. Berkuda menjadi satu-satunya cabor yang menyandingkan dua elemen berbeda, yakni manusia dan binatang (kuda), yang sama-sama tidak murah.
Dengan memperhitungkan karakteristik dari kuda, maka untuk PON XIX mendatang kuda-kuda yang potensial untuk dipersaingkan tentunya adalah kuda-kuda dengan kategori usia yang memadai.
Oleh karena itu pula daerah-daerah potensial berkuda seperti DKI Jaya, Jabar, Kalsel, atau bahkan Jateng, sudah cukup lama melakukan persiapan menuju PON XIX untuk atlet sekaligus kudanya.
Sebagai tuan rumah, Jabar tertu saja tak mau 'kecolongan' dan jauh-jauh hari sudah mengikat 'rider-rider' handal dari perkumpulan yang berada di lingkungannya, seperti Bandung Equestrian Center (BEC) dan Aragon stable yang sama-sama berlokasi di Lembang.
Walau demikian, beberapa penunggang kuda terbaik dari dua klub itu disebut-sebut sudah terikat pula dengan daerah lain, seperti Ferry Sudarmadi dengan Kalsel.
"Saya saja sekarang ini mempersiapkan sekaligus atlet untuk kontingen Jabar dan Kalsel," ujar 'rider' kawakan James Momongan. Atlet veteran legendaris lainnya, seperti Nico Pelealu, sudah lama mempersiapkan atlet-atlet equestrian untuk kontingen DKI Jaya.
"Kami sudah dikontrak," kata Nico.
Atlet-atlet senior berkuda lainnya seperti Rahmat Nasir, sangat mungkin sudah diikat pula. Dari kalangan yunior, 'rider' potensial seperti kakak-beradik Galih Sudaryono dan Anjasmara, disebut-sebut sudah diikat oleh Jateng. 'Riderr'rider' senior dan potensial dari klub Pegasus, Sukabumi, sebagian besar sudah terikat pada Jabar dan DKI Jaya.
Mungkin karena sudah terjadinya 'penyebaran' seperti diatas itulah, maka Jatim harus lebih ekstra keras dalam upayanya membentuk tim berkuda yang bisa diandalkan di persaingan PON XIX mendatang.
Mungkin pula wajar jika otoritas olahraga Jatim menyerahkan tanggung-jawab prestasi olaheraga berkuda mereka di PON 2016 tersebut pada Singky Soewadji, mengingat reputasinya di masa lalu. Akan tetapi, dengan mencermati apa yang sudah lebih dulu dilakukan daerah lain, tugas dan tanggung-jawab seorang Singky Soewadji sungguh tidak ringan.
Untuk bisa berbicara dalam perebutan 10 set medali di equestrian, misalnya, paling tidak Singky harus merekrut sebanyak 12 atlet tunggang serasi dan lompat rintangan, yang mesti dipersiapkan di nomor perorangan dan beregu. Coba bayangkan, perkiraan dana yang dibutuhkan. Atlet harus dikontrak sejak dini, menerima bayaran bulanan.
Dan untuk kudanya? Itu lain lagi. Dana yang dialokasikan untuk kuda tentunya lain lagi, karena kuda itu sendiri dibeli dengan harga tidak murah. Seekor kuda dari turunan yang baik harganya bisa mencapai di atas Rp 500 juta rupiah. Belum lagi kuda impor, bisa diatas Rp 1 miliar.
Memang bisa saja untuk kuda, diperlakukan sewa. Namun, harga sewa kuda dengan durasi waktu tiga tahun hingga kelangsungan PON XIX itu sendiri tentunya akan tetap tinggi. Perbedaan antara membeli dan menyewa bisa saja tidak terpaut jauh.
"Karena itu memang tidak mudah untuk merekrut atlet berkuda," kata Singky yang dihubungi pada kesempatan terpisah. Walau demikian, ia mengaku tidak lantas patah semangat. Ia menempatkan kepercayaan yang diberikan pimpinan KONI Jatim sebagai sebuah kehormatan.
"Saya dipercaya untuk turut berjuang meningkatkan prestise olahraga Jatim, dan itu harus saya perjuangkan secara maksimal," katanya.
Singky juga percaya jika pimpinan KONI Jatim bisa memahami beratnya tanggung-jawab yang diembannya.