Ruang Gerak Satlak Prima Sangat Terbatas kata Ahmad Soetjipto
Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima), Ahmad Soetjipto mengaku ruang gerak Satlak Prima sangat terbatas sehingga
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima), Ahmad Soetjipto mengaku ruang gerak Satlak Prima sangat terbatas sehingga tidak maksimal dalam menjalankan program peningkatan prestasi atlet yang dipersiapkan tampil pada ajang multi event.
Makanya, dia mengusulkan agar Satlak Prima menjadi Satuan Kerja (Satker) agar masalah keterlambatan honor, pasokan peralatan, akomodasi terlambat yang menjadi penyebab kegagalan Kontingen Indonesia pada SEA Games XXIX/2017 bisa teratasi.
"Ibaratkan saya ditunjuk sebagai komandan perang tetapi logistik dipegang orang lain. Jadi, apa yang saya bisa perbuat. Makanya, saya mengusulkan Satlak Prima menjadi Satker agar seluruh program peningkatan prestasi atlet melalui High Performance Programme bisa diimplementasikan secara maksimal dalam menyambut Asian Games 2018," ungkap Ahmad Soetjipto dalam acara Evaluasi SEA Games XXIX/2017 menuju Asian Games Jakarta-Palembang 2018 di Gedung Dewan Pers Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Usulan Satker itu, kata Ahmad Soetjipto, mencontoh Panitia penyelenggara Asian Games 2018 (Inasgoc) yang telah dibentuk.
"Inasgoc adalah satker yang dipimpin oleh Pak Erick Thohir. Dia bukan pegawai negeri sipil (PNS), tapi bisa mengelola anggaran, bisa memilih pejabat pembuat komitmen (PPK), dan lainnya. Alangkah baiknya jika Satlak Prima sebagai Satker agar bisa kendalikan logistik," tutur Sutjipto di Jakarta, Selasa (5/9/2017).
Menurut Ahmad Soetjipto, Satlak Prima selama ini hanya lah sebagai penyedia program latihan atau Provider untuk para atlet. Dan, Satlak Prima bisa menerjunkan atlet ke banyak laga uji coba untuk mengukur kemampuan atlet sebagai cara untuk memetakan kekuatan dan kelemahan lawan.
Namun, untuk bisa mengirimkan atlet ke berbagai ajang, tetap tidak leluasa untuk menggunakan anggaran karena dipegang oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Menanggapi itu, Plt Deputi IV Kemenpora Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Yuni Poerwanti menyatakan wacana untuk menjadikan Satlak Prima sebagai Satker sudah pernah diwacanakan sebelumnya.
Bahkan, dia menyebut akan dikaji dan dibahas bersama Menpora Imam Nahrawi.
Yuni mengakui bahwa yang menjadi sorotan sekarang ini memang lah mengenai prosedur yang berbelit-belit. Karena itu, bulan depan hingga Desember, pihaknya akan mulai merapikan segala struktur yang ada.
"Begitu dana turun, kami mulai ancang-ancang. Kami harap tidak ada lagi banyak perubahan struktur atau rotasi-rotasi supaya tidak jadi masalah. Kami, Kemenpora, jujur saja malu karena sebelumnya tidak pernah ada kejadian seperti ini, sampai ada pembayaran honor terlambat, peralatan juga tidak ada," ujarnya.
Sementara itu, pengamat olahraga Fritz Simanjuntak mengatakan tidak setuju adanya usulan Satlak Prima dibubarkan.
"Saya tidak setuju jika Satlak Prima dibubarkan. Terlalu riskan menggantinya. Biarkanlah Satlak Prima berjalan dalam sampai Asian Games 2018," tegasnya.
Dia juga setuju Satlak Prima menjadi Satker.
"Saya yang termasuk mengusulkan adanya Satgas dengan konsep Satker. Makanya, saya setuju jika Satlak Prima dijadikan Satker," tegasnya.
Untuk menyelesaikan permasalahan olahraga di Indonesia. Kata Fritz, harusnya cepat disikapi oleh Menpora. Dan, dia meminta Menpora harus berani ambil diskresi untuk memenuhi kebutuhan para atlet bukan sebuah tindak pidana korupsi.
"Pengeluaran untuk olahraga adalah bukan pemborosan, tapi investasi," kata Fritz.
Dia juga menyatakan ide untuk menjadikan Satlak Prima sebagai satker juga ide yang bagus. Namun, jangan mengubah lainnya seperti sistem dan struktur pemusatan latihan nasional serta organisasi terkait karena ditakutkan bakal membuat prestasi olahraga Indonesia diam di tempat.
"Siapkan atlet tidak hanya untuk Asian Games 2018 saja, juga yang bisa menuju ke olimpiade," kata Fritz.
Dari data yang dimiliki Sutjipto, dia menjelaskan bahwa Indonesia kehilangan 17 medali emas dari SEA Games 2017 yang diselenggarakan di Malaysia pada bulan lalu.
Seharusnya 20 medali emas, namun ada tiga atlet yang ditarget medali perak, justru menjadi juara satu. Mereka, adalah Deni dan I Ketut Ariana dari cabang olahraga angkat besi serta gymnastic rhytmic atas nama Rifda Irfana.
Sutjipto mengatakan faktor penyebab hilangnya 17 medali itu sangat banyak, antara lain karena ada atlet yang tidak memandang seluruh lawan sebagai kompetitor utama, jadwal pertandingan yang diubah secara mendadak sehingga atlet yang mengambil dua nomor belum sempat beristirahat, tidak profesionalnya wasit, hingga persiapan atlet yang kurang optimal.
Tapi, Sutjipto mengatakan menurunnya perolehan medali emas Indonesia tidak separah negara lain.
"Pada 2017 Indonesia turun 19,14% dari SEA Games 2015. Thailand, dari 95 keping turun 24,21%, lalu Singapura, dari 84 keping dari 32,14%. Sayangnya, kita hanya bisa melihat yang absolutnya, dari perolehan emas dan berapa rangking di klasemen," ujarnya.