Wawancara Eksklusif dengan Susy Susanti Soal KPAI
PBSI membutuhkan pihak lain untuk membantu meningkatkan prestasi Indonesia di cabang olahraga bulu tangkis.
Penulis: Abdul Majid
Editor: Toni Bramantoro
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Pusat Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PP PBSI) Susy Susanti sedang pusing tujuh keliling hadapi polemik pembinaan Bulutangkis.
PBSI membutuhkan pihak lain untuk membantu meningkatkan prestasi Indonesia di cabang olahraga bulu tangkis. Djarum, misalnya. Perusahaan ini memiliki Persatuan Bulu Tangkis Djarum yang melahirkan banyak pebulutangkis yang mampu mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.
Namun demikian, belakangan ini sempat muncul polemik antara Komisi Perlindungan Anak Indonesia dengan PB Djarum. KPAI memprotes penyematan logo Djarum di kaus anak-anak peserta audisi umum beasiswa bulu tangkis yang diadakan PB Djarum setiap tahun. KPAI bahkan menyebut Djarum melakukan eksploitasi kepada anak-anak karena menyematkan logo perusahaan mereka, sebuah perusahaan yang identik dengan rokok.
Sikap KPAI memicu pro dan kontra. Di satu sisi ada pihak yang menganggap KPAI tepat karena sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di sisi lain ada pihak yang menganggap KPAI mematahkan harapan anak-anak Indonesia untuk menjadi pebulutangkis berpretasi.
Sebagai mantan pebulutangkis dan kepala bidang pembinaan dan prestasi PP PBSI, Susy Susanti menyayangkan polemik tersebut. Menurut peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992 itu dampak dari polemik itu tidak akan terasa sekarang, tapi bisa terasa di masa depan.
Wartawan Tribun Network Abdul Majid mendapatkan kesempatan mewawancarai Susy Susanti secara eksklusif di Pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta Timur, Jumat (13/9). Berikut ini petikan wawancaranya.
Bicara soal audisi, PB Djarum sempat Mengatakan tak ingin mengadakan audisi lagi terkait tunduhan KPAI. Bagaimana menurut Anda?
Ya pastinya pembinaan akan mandek. Memang ada klub-klub lainnya, tapi tidak seintens dan kepeduliannya juga tidak sebesar PB Djarum. Dampaknya memang tidak sekarang, sekarang yang ada di sini masih bisa, tapi ke depannya bisa jadi sejarah. Apakah itu yang dimau?
Menurut Anda seperti apa jalan keluar dari polemik ini?
Kita dari PBSI, kalau itu benar terjadi, tolonglah untuk mengganti cari solusinya. Jangan asal cut saja. KPAI cari solusi, cari sponsor buat PBSI, gitu saja. Jangan cuma protes saja tapi tidak ada solusi, apa KPAI nanti cariin BUMN dari mana saja untuk mensuport PBSI, kita senang-senang saja.
Jadi kalau saya, ada masalah seperti ini cepat cari solusinya, jangan cuma hantam promo, bilang eksploitasi, tidak boleh ini, tidak boleh itu, tapi tidak ada solusi. Kalau siap dengan solusinya ya tidak apa-apa, tapi kalau tidak ada solusinya, tolong dipikirkan matang-matang.
Kemudian apa harapan Anda mengingat PB Djarum masih konsolidasi internal untuk menghelat audisi di tahun depan dan berikutnya?
Ya harus tetap diadakan karena prestasi badminton kan pretasi yang paling konsisten dengan segala ada, terus sekarang harus diubah. Kan saya selalu bilang di balik ini semua solusinya apa ? Jangan ngomong undang-undang terus, tapi cari solusinya. Kalau PB Djarum benar cabut dan ada penggantinya tidak apa-apa, tapi kalau tidak ada, ya sudahlah bubar. Pak Habibie pernah bilang setiap Indonesia dalam keadaan rusuh, keadaan jelek namanya, badminton selalu yang menyelamatkan nama Indonesia
Bagaimana sikap Anda pribadi saat mendengar polemik ini?
Saat polemik ini muncul saya bilang, "Tolonglah lihat sesuatu yang lebih luas, ini kepentingan negara, kepentingan nama baik Indonesia. Jangan hanya melihatnya separuh-separuh." Saya kencang di sini karena saya mungkin jadi saksi sejarah juga bagaimana perjalanan audisi itu seperti apa. Kalau mau tahu kan bisa lihat langsung.
Kalau mau tahu bagaimana pribadi saya, lebih jauh sekalian promosi, nanti ada film saya, di situ ada jatuh-bangunnya saya. Itu semua kisah nyata.
Kenapa Anda sangat fokus mengurus bulu tangkis Indonesia?
Kecintaan saya kepada bulu tangkis, timbal balik saya kepada apa yang telah dapatkan dari bulu tangkis. Jadi saya akan bantu bulu tangkis Indonesia.
Selama ini saya sempat menghilang karena setiap dalam melakukan tugas saya selalu maksimal. Sebelumnya saya pernah ditawari, tapi karena kesibukan saya sebagai ibu rumah tangga, saya punya tanggung jawab kepada anak, saya tidak mau meninggalkan, apalagi ada bisnis juga. Nah, sekarang anak-anak sudah besar sehingga saya mau. Tapi ketika saya terima tugas ini saya harus benar-benar fokus dan total. Bisa dilihatlah dalam segala hal saya selalu total.
Apa tantangan Anda yang sekarang sebagai Kabid Binpres?
Ya sama juga seperti jadi atlet ya, semua itu butuh perjuangan, kerja keras. Tidak ada juara yang didapat secara mudah, apalagi membina. Dari berbagai banyak karakter bagaimana pendekatannya, bagaimana menyiapkan program, budgeting, apa yang perlu kita pikirkan untuk regenerasi.
Hal apa yang sebenarnya kini tengah menjadi fokus PBSI untuk mencetak pebulutangkis berprestasi?
Ya, sebelumnya kan hanya terpaku satu-dua orang saja. Kan tidak bisa seperti itu. Nanti akan ada gap lagi. Kita melihat seperti itu. Makanya saya bilang butuh pembinaan usia dini karena untuk menyiapkan regenerasi di sini saja kita siapkan sampai tiga lapis. Memang belum ada hasilnya, tapi badminton ini seperti investasi.
Badminton tanpa pembinaan berat. Mungkin kelihatan nanti empat sampai lima tahun yang akan datang. Kita tidak bisa mengandalkan yang sudah ada saja, harus kita pikirkan yang junior-junior juga.
Kenapa sektor tunggal putra dan putri tidak ada yang bersinar pascapenampilan Anda dan Taufik Hidayat?
Ya, memang kita harus kerja keras, harus kita akui ya. Jadi memang saat ini saya akui khusus untuk tunggal putri perlu waktu, kerja keras untuk naik lagi. Selain bibit kurang, kita juga pernah kehilangan generasi dan memang dari dulu zaman saya bibit putri itu sangat sulit. Waktu di zaman saya mungkin masa keemasan putri Indonesia. Nah setelah saya, ada satu yang saya sangat menyesalkan, sebenarnya kita punya tujuh sampai delapan atlet selevel Mia Audina, tapi karena Mia paling muda dan menonjol, jadi yang lain dibuang. Makanya saya belajar dari pengalaman jangan tertumpu cuma di satu atlet. Kenapa? Karena saat, entah itu attitude-nya, situasinya atau apapun kita tidak tahu, itu bisa saja terjadi. Nah begitu hilang, bagaimana? Waktu itu Mia ke Belanda, nah untuk ganti itu saja luar biasa susahnya. Sekarang kita berharap memaksimalkan saja. Untuk sampai yang tertinggi itu berat banget. Kita harus berharap ke yang muda lagi.
Tapi untuk tunggal putra mungkin bisa lebih cepat. Jadi kalau dilihat tinggal konsistensinya saja ya, setahundua tahun. Saya lihat di Olimpiade 2020 tuh masih ada kesempatan buat tunggal putra. Kalau untuk tungal putri, bukan saya merendahkan, tapi memang masih berat. Untuk Olimpiade ini 2020 belum bisa. Mungkin Olimpiade yang akan datang. Itupun baru medali selain emas.
Selain menilik kualitas, hal apa yang sebenarnya Anda tanamkan kepada para pebulutangkis Indonesia?
Nah itu. Untuk menjadi juara tidak mudah, makanya ada pembentukan karakter karena untuk menjadi juara itu butuh ekstra. Paling tidak anak muda ini, dengan karakter yang ada, disiplin, kerja keras, itu sudah baiklah, tapi untuk menjadi juara dunia itu harus lebih ekstra lagi.
Ya, kesatu itu memang berawal dari keluarga. Kedua lingkungan, dan ketiga kemauan dari diri sendiri. Saya juga belajar untuk bisa memahami karakter setiap pemain karena penanganan untuk anak-anak kan memang berbeda-beda. Jadi saya di sini berperan sama seperti di rumah. Saya memerhatikan pemain-pemain di sini yang punya karakter berbeda. Ada yang bisa dikerasi, ada yang cuma ngomong sedikit ngerti, ada yang tarik ulur.
Tapi untuk memperbaiki karakter mereka butuh proses. Ada yang bisa cepat, ada yang tidak.. Makanya saya bilang audisi itu sangat membantu sekali karena banyak sekali dari keluarga yang kurang mampu untuk bisa mengubah keadaan, termasuk saya. Saya dulu untuk ikut kejuaran-kejuaraan sampai teman-teman mami saya urunan.