Greysia Polii – Apriyani Rahayu Bukan yang Diharapkan Tapi Dibutuhkan Indonesia
Perjalanan penuh liku Greysia Polii/Apriyani Rahayu dalam meraih medali emas di cabor bulutangkis Olimpiade 2021.
Penulis: Muhammad Husain Sanusi
Editor: Dwi Setiawan
Catatan Wartawan Tribunnews.com: Muhammad Husain Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Permainan Bulutangkis di gelanggang prestisius Olimpiade Tokyo 2020 menunjukkan rigoritas kuasanya.
Manusia tak bisa memastikan kemenangan. Jelas, bahwa bukan awal, melainkan akhirlah yang menentukan.
Dalam sebuh permainan olahraga apapun sudah sering terjadi, siapa yang memberikan segalanya pada awal, jarang ia akan memperoleh ganjaran pada akhirnya.
Manusia sering mengira awal adalah segalanya. Bulutangkis di Olimpiade Tokyo mengatakan sebaliknya: akhirlah yang menentukan segalanya.
Maka, ketika bulu angsa sudah beterbangan di atas udara, permainan ini menyerupai apa yang sering terjadi di dunia, di mana terjadi peristiwa yang diramalkan filsuf Ernst Bloch
“Genesis atau penciptaan yang sesungguhnya bukan pada awal, tapi pada akhir.”
Baca juga: Raih Emas Olimpiade, Menparekraf Mau Ajak Greysia/Apriyani Keliling Destinasi Super Prioritas
Baca juga: Jokowi: Medali Emas Olimpiade Greysia Polii/Apriyani Rahayu Kado Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia
Dalam dunia macam itu, mau tidak mau manusia harus berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, efisiensi, kalkulasi, atau rasionalitas.
Ya, terhadap dunia modern yang benci terhadap irasionalitas dan nasib, Final bulutangkis Ganda Putri Olimpiade Tokyo 2020 mengharuskan manusia mengakui kuasa keberuntungan melawan rasionalitas manusia.
Dinamika dunia ini tampaknya dirasakan benar oleh atlet-atlet unggulan bulutangkis Jepang, Korea Selatan, termasuk pasangan Ganda Putri China, Chen Qing Chen/Jia Yi Fan dalam final ganda putri bulutangkis Olimpiade Tokyo 2020, Senin (2/8/2021).
Ganda putri China bersinar terang bagai bintang adalah awal yang kemudian menjadi bencana. Hampir semua meramalkan mereka akan keluar sebagai juara dan meraih medali emas Olimpiade.
Chen Qing Chen/Jia Yi Fan memasuki lapangan dengan segala kemegahan yang menyelubungi khas negara adidaya China.
Keduanya terlihat sangat manis, lincah, feeling killer pun sayup-sayup mulai merasuki pikiran suporter Indonesia.
Penonton serasa menyaksikan dewi-dewi China yang turun dari langit. Dua Dewi China itu juga terlihat sangat pemberani dan siap bertarung dengan segala ajian dan kesaktian yang mereka miliki.
Namun ajian dan kesaktian itu ternyata tak terbukti, Jatuhnya Chen Qing Chen/Jia Yi Fan justru karena mereka sedang berada di titik atas sehingga kehilangan daya untuk refleksi dan menata ulang formasi yang menjadi darah dari pasangan ganda putri China ini.
Sementara Ganda putri Indonesia Greysia Polii/Apriyani Rahayu (Greyap) sama sekali tak diunggulkan bahkan sejak sebelum Olimpiade. Di Tanah Air, tidak banyak yang melirik keduanya akan meraih emas.
Pamor Greyap seolah pudar dengan gemerlapnya atlet-atlet bulutangkis Indonesia lainnya yang nangkring di posisi rangking atas dunia.
Namun, Musashino Sports Plaza, Tokyo, menjadi saksi teknik tinggi laksana pemain akrobatik mampu diperagakan Greyap.
Keduanya memasuki medan laga dengan berbagai kesederhanaan, rendah hati dan cenderung ingin menguasai diri sendiri dibanding menguasai lawan.
Itu terlihat dari senyuman yang sering ditebar keduanya sebagai pertanda tidak tegang dan sangat menikmati permainan babak menegangkan ini.
Maka sebuah tangisan kemudian membuncah dari Greyap bahkan merembet ke seluruh pelosok Tanah Air ketika pasangan manis ganda Putri Indonesia berhasil mengakhiri permainan dengan kemenangan dua gim sekaligus.
Greyap sukses mengobrak-abrik formasi serangan dan bertahan yang diperagakan dua dewi China tersebut. China Takluk 21-19, 21-15.
Keseruan pertarungan empat putri langit ini kemudian tidak lagi menjadi panggung perebutan gelar dan kehormatan ketika pasangan ganda putri China mendatangi Greyap, menyalami dan memeluk keduanya.
Seketika kita menyaksikan final ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 tidak lagi menjadi panggung persaingan keras tapi menjadi panggung yang mempertontonkan kearifan dan kebesaran jiwa.
Bulutangkis adalah permainan yang mengasah karakter dan kerendahan hati. Kerendahan hati ini adalah buah yang dipetik terutama oleh Greysia Polii yang terpaut usia 10 tahun dari Apriani
Selama bertahun-tahun ditempa di lapangan bulutangkis, Greysia Polii memahami bahwa bulutangkis bukan sekedar permainan belaka, melainkan panggung filsafat yang menempa kematangan seorang atlet.
Lapangan bulutangkis adalah field untuk mengasah kepekaan sebagai manusia di panggung kehidupan. Kerendahan hati di sini adalah “kunci” dari semuanya.
Khususnya dalam hal mengatur ritme permainan kapan mereka harus nge-gas pool dan kapan harus nge-rem.
Jadi, bukan soal pukulan smes sebanyak-banyaknya, yang membuat seorang atlet bulutangkis jadi legenda.
Tapi bagaimana justru otot bergerak, sambil intuisi dan naluri serta otak, membuat seluruh lini lapangan menjadi “panggung” keindahan.
Greyap tiba-tiba bermetamorfosis menjadi “seniman”. Penonton dan lapangan kemudian menjadi momen upacara bersama, di mana sarkasme kalah menang, takluk di bawah “daulat” upacara bersama.
Dan Greysia Polii-Apriyani Rahayu adalah dewi filsuf yang saling mengasah dirinya, mentransformasikan segala yang terjadi di lapangan demi memperkaya filsafat kearifan yang bersemayam dalam diri.
Sikap inilah yang sebenarnya dibutuhkan oleh para alet bulutangkis dunia yang berada di posisi unggulan rangking atas dunia.
Thanks Greyap melanjutkan tradisi emas dari Land of Badminton Legend. (*)