Royce Badminton Academy Siap Cetak Susi Susanti dan Taufik Hidayat Lainnya
Indonesia sudah lama menjadi salah satu kekuatan utama Bulutangkis dunia, namun sudah beberapa tahun belakangan ini, kejayaan pebulutangkis tunggal
Penulis: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia sudah lama menjadi salah satu kekuatan utama Bulutangkis dunia, namun sudah beberapa tahun belakangan ini, kejayaan pebulutangkis tunggal Indonesia memudar.
Indonesia belum menghasilkan pemain tunggal putri peringkat satu kelas dunia sejak Susi Susanti di tahun 1990an ataupun pemain tunggal putra peringkat satu dunia sejak Taufik Hidayat di tahun 2000an.
Mengingat badminton adalah salah satu olahraga yang dapat mengharumkan nama bangsa, turunnya peringkat ini tidak boleh diterima.
Atas dasar kepedulian dan keprihatinan yang timbul karena kondisi bulutangkis Indonesia yang terpuruk saat ini, Roy Karamoy dan Harry Tumengkol telah mendirikan Royce Badminton Academy yang memiliki visi untuk mencipta juara dunia Badminton secara konsisten, serta misi untuk memberikan pengembangan dan pelatihan badminton yang sistematis, efektif dan benar.
“Royce Badminton berniat untuk memberikan solusi dan ingin membuktikan bahwa Indonesia dapat kembali berjaya sebagai kekuatan bulutangkis sejati yang menghasilkan atlet juara dunia secara konsisten, melalui sistem pelatihan jangka panjang yang didasarkan program pembentukan fundamental yang kuat dengan cara yang benar, sistematis, dan efektif,” ungkap Roy Karamoy.
Untuk mewujudkan visi ini, Royce Badminton telah mengembangkan modul pelatihan bulutangkis dengan prinsip lima pilar yaitu, 1) Penguatan fisik (physical fitness) dan 2) Pelatihan teknis, kemudian didukung dengan 3) Taktik dan strategi yang tepat, serta pelatihan untuk 4) Kesiapan mental dan 5) Gaya hidup yang seimbang.
Semua diawali dengan perhatian yang dipusatkan untuk penguatan fundamental bagi para atlet muda melalui kebugaran fisik.
Physical fitness dan footwork adalah pondasi utama yang harus dibangun dengan benar dan kuat hingga atlet dapat melakukan semua tuntutan teknik, taktik, strategi dan mental untuk menjadi atlet kelas dunia.
Saat ini menjadi rahasia umum para pemain bulutangkis dari negara lain bahwa cara termudah untuk mengalahkan pemain Indonesia adalah dengan menantang ketahanan fisik mereka.
Mereka tahu bahwa atlet dari Indonesia rata-rata fisiknya kurang fit untuk bersaing di pentas dunia.
Menurut Roy, dia tau apa yang salah dengan pengembangan badminton di Indonesia, dan yang lebih penting lagi, bagaimana untuk memperbaikinya.
Ada empat faktor utama yang menyebabkan keadaan aib ini terjadi pada bulutangkis Indonesia: 1) Karena kurang sadar dengan pengetahuan proses pengembangan atlet yang benar dan efektif. 2) Kebiasaan manipulasi umur, 3) Pemberlakuan sistem insentif yang kontraproduktif bagi para atlet muda, dan 4) Sistem pelatihan yang terbalik dan tanpa fundamental fisik yang kuat dan benar.
Pengembangan Atlet Yang Tidak Benar
Sistem pengembangan hingga sistem pelatihan saat ini kontra-produktif dan lahir karena kurang sadar dengan pengetahuan proses pembinaan atlet yang benar dan efektif. Sistem pengembangan saat ini terlalu menghargai citra sukses instan karena merupakan sumber penghasilan bagi klub dan pelatih yang berhasil memproduksi juara-juara kecil.
Sistem pembinaan atlet sejak usia dini bertujuan untuk kejar poin dan menghasilkan juara instan. Sementara, sistem pelatihan atlet tanpa pemberian fundamental yang benar dan memiliki arahan yang salah.
Pemalsuan Usia
Roy berpendapat bahwa praktik pemalsuan usia pemain marak terjadi di Indonesia. Ia memperkirakan lebih dari 80% atlet dari klub bulutangkis di Indonesia memiliki identitas usia yang palsu.
Manipulasi usia pemain dapat bervariasi dengan mengambil selisih pengurangan dua hingga delapan tahun.
Artinya, banyak atlet muda yang sebenarnya berusia 19 tahun, namun mengaku dirinya hanya 15 tahun dengan menggunakan identitas pendukung yang palsu.
Biasanya pengurangan umur, serta penggantian nama, terjadi saat atlet berpindah klub. Adalah suatu yang biasa untuk atlet berpindah klub lebih dari sekali, dan perubahan umur rata-rata akan ikut berubah menurun sekitar 1 s/d 4 tahun.
Peraih medali emas olimpiade dan legenda bulutangkis Indonesia, Susi Susanti, dalam artikel yang dimuat di Lokadata (29/12/2016) menyindir: "Masih ada praktik pencurian umur lho. Jadi umur si pemain dibuat lebih muda agar bisa juara di kejuaraan kelompok umur di bawahnya. Aduh. Ya otomatis kesempatan masuk Pelatnasnya lebih besar. Penyimpangan ini tidak bagus buat pembinaan. Banyak banget praktik itu. Mencurinya pun tidak tanggung-tanggung. Bisa tiga tahun sampai empat tahun. Bagaimana mau menang anak usia 10 tahun melawan 14 tahun. Masa anak 10 tahun sudah berkumis. Sebetulnya orang tua harus pikir panjang. Tujuannya itu juara dunia bukan juara kelompok umur saja. Percuma kalau mencuri karena akan terseleksi sendiri oleh alam”.
Insentif Yang Salah
Ada dua faktor utama yang mendorong seorang atlet bulutangkis untuk memalsukan usianya: Pertama, penerapan sistem poin.
Semakin banyak poin yang didapat berarti semakin banyak kesempatan untuk masuk ke program pelatihan nasional (Pelatnas) dan diseleksi masuk tim nasional.
Hal ini memberikan tekanan yang luar biasa pada atlet, pelatih, klub, dan orang tua untuk mengebut memenangkan turnamen dan meraih poin sebanyak mungkin.
Jalan pintas untuk mencapai ini adalah dengan pemalsuan usia sehingga mereka dapat bersaing dengan atlet yang berada dalam kelompok usia yang lebih muda, dengan latar belakang yang masih lemah dan belum berkembang.
Seharusnya yang menjadi fokus utama bagi atlet muda adalah penguatan fundamental fisik dan jurus.
Kedua adalah kondisi dimana begitu seorang atlet mulai memenangkan turnamen dan mengumpulkan poin, mereka akan menjadi target rekrutmen yang menarik bagi klub-klub bulutangkis.
Klub seperti ini sering membajak dan memperdagangkan para atlet berbakat ini dengan harga yang menarik bagi orang tua mereka.
Pada keadaan seperti ini, baik secara sadar atau tidak, klub-klub dan para orang tua atlet muda ini telah mengubah status olahragawan ini menjadi sekedar sebuah barang komoditas saja. Fokus jangka panjang untuk menjadi juara dunia sudah bukan menjadi yang utama.
Piramida Terbalik
“Para pelatih dan klub-klub tingkat lokal dan nasional pada saat ini menerapkan dasar fondasi program pelatihan yang salah, jadi seperti piramida terbalik”, menurut pendapat Roy. Anak-anak dilatih tentang teknik dan strategi terlalu dini. Ini bukan suatu keterampilan yang harus dimiliki atau dikuasai oleh anak yang berusia 9 hingga 14 tahun. Ini bukan dasar-dasar utama yang harus dipelajari pada dasar piramida program pelatihan atau yang patut dijadikan bekal oleh seorang atlet muda yang ingin mencapai predikat professional apalagi internasional,” papar Roy Karamoy.
Kurangnya bentuk pelatihan fundamental yang tepat pada tahap awal perkembangan seorang atlet muda, akan membentuk atlet dengan tingkat kebugaran fisik yang lemah dan tidak memiliki ketahanan stamina.
Ada konsekuensi lain yang sangat genting, yaitu tingginya angka cedera dan kemunduran yang dialami oleh para atlet di Pelatnas.
Menurut Roy, Pelatnas bukanlah tempat untuk melatih dan meningkatkan fitness para atlet; namun pada saat hal ini disadari, kondisinya sudah terlambat dapat memperbaiki tingkat ketahanan dan ketangkasan atlet tersebut.
Sistem ini kontraproduktif bagi perkembangan bulutangkis remaja dan destruktif bagi perkembangan bulutangkis Indonesia pada umumnya.
Para atlet muda bulutangkis di Indonesia seharusnya dinilai dari tingkat fitness mereka dan keterampilan dasar seperti footwork dan movement, bukan dari berapa banyak poin yang telah mereka kumpulkan.