We Are Rival But Not Enemy!
We are rival but not enemy. Real Madrid dan Barca memang rival sejati, pun sejatinya mereka bukanlah musuh.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Toh, dalam beberapa kesempatan, perpindahan itu menjadi masalah besar. Terutama bagi mereka yang pernah menjadi pujaan di klub asalnya. Josep Samitier, Michael Laudrup, Luis Enrique, dan Luis Figo adalah di antaranya. Kalangan suporter fanatik tak bisa menerima hal itu begitu saja. Bagi mereka, kepindahan ke seteru abadi tak ubahnya pengkhianatan mahabesar.
Kontroversi terbesar tentu saja ketika Figo meninggalkan Camp Nou ke Santiago Bernabeu pada Juli 2000 dengan harga 37,5 juta pounds yang membuat dia menjadi pemain termahal dunia pada saat itu. Saat kembali menginjakkan kaki di Camp Nou pada 21 Oktober 2000, dia mendapat sambutan sinis dari para fans El Barca yang patah hati. Di beberapa sudut stadion terbentang spanduk-spanduk berisi hujatan, cibiran, dan hinaan.
Insiden dua musim kemudian bahkan lebih dahsyat. Figo sempat dilempari pelbagai barang saat hendak mengambil tendangan penjuru. Bahkan, ada yang dengan tega melemparkan kepala babi ke arah dia pada saat itu. Louis van Gaal, pelatih Barcelona saat itu, menilai ulah para suporter tak lepas dari provokasi Figo.
”Dia melangkah dengan sangat pelan ke pojok lapangan, memunguti botol dengan pelan, lalu kembali ke pojok. Itu dilakukan dengan sengaja,” ucap Van Gaal. Sementara Presiden Joan Gaspart berujar, ”Bukannya meremehkan insiden tersebut, tapi provokasi Figo memang berlebihan. Saya tak bisa menerima orang datang ke rumah saya lalu melakukan provokasi!”
Menanggapi insiden tak mengenakkan itu, Figo tak terlalu ambil pusing. ”Aku tak menyimpan dendam. Aku sangat memahami hal itu karena mereka menilai apa yang saya lakukan sebagai kejahatan. Lain dari itu, mereka pun termakan oleh berita yang ditulis media massa,” ungkap dia.
Kepindahan Figo sendiri, menurut Phil Ball dalam bukunya, Morbo: The Story of Spanish Football, tak terlepas dari rasa kecewa. “Bukan rahasia, putusan kontroversial Figo tak terlepas dari rasa tidak suka terhadap Gaspart dan metode yang diterapkan Louis van Gaal,” terang dia.
Alasan itu, menurut Ball, serupa dengan yang terjadi pada kasus kepindahan para bintang El Barca lainnya macam Samitier, Laudrup, dan Schuster. Bahkan, dari segi pengkhianatan, Samitier yang asli Barcelona bisa disebut lebih parah ketimbang Figo. Dia secara terbuka mengungkapkan kekagumannya terhadap Jenderal Franco dan sangat bersahabat dengan Santiago Bernabeu.
Tingkat pengkhianatan Samitier boleh dibilang setara dengan Luis Enrique yang pindah dari Madrid ke Barcelona pada awal musim 1996-97 ketika kontraknya habis. Para Cules sempat kurang bisa menerima pemain kelahiran Gijon itu. Tapi, Enrique mampu merebut hati dengan menunjukkan kecintaan bak seorang Catalan sejati.
Untuk membuktikan hatinya tidak lagi berisi Los Blancos, dia selalu mencium logo El Barca setiap kali mencetak gol dalam laga El Clasico. Lain dari itu, dia selalu mengatakan kepada pers tentang kehidupannya yang sangat baik di Barcelona.
Sudah barang tentu, sikap Enrique menimbulkan antipati di kalangan Madridistas. Mereka selalu menyiuli setiap kali Enrique menguasai bola. Meski tak seekstrem Figo yang dilempari kepala babi, Enrique tak henti mendapatkan koor Hijo de puta atau son of a whore dari para pendukung Madrid.
Totalitas pengkhianatan Enrique terjadi pada 2002 dengan tak memenuhi undangan peringatan seabad Madrid. Menurut Marca, Enrique adalah satu-satunya tamu yang mangkir. Itu membuat dia menjadi pengkhianat terbesar di mata para Madridistas. (asep)