FIFA: Singkirkan Politik dari Sepakbola
Wakil Presiden FIFA, Pangeran Ali bin al-Hussein berharap agar PSSI bisa segera menyelesaikan berbagai konflik sepak bola Indonesia.
Editor: Gusti Sawabi
TRIBUNNEWS.COM, ZURICH - Wakil Presiden FIFA, Pangeran Ali bin al-Hussein berharap agar PSSI bisa segera menyelesaikan berbagai konflik sepak bola Indonesia. Menurut pria asal Yordania itu, sepak bola seharusnya dijauhkan dari politik agar proses keberlangsungan olahraga tersebut bisa berjalan dengan baik.
Hal itu diungkapkan Prince Ali menanggapi keputusan FIFA yang memperpanjang deadline kepada PSSI untuk menyelesaikan sejumlah masalah sepak bola Indonesia hingga 30 Maret 2013. Kini, penyelesaian konflik itu telah dilimpahkan kepada Konferensi Sepakbola Asia (AFC).
"FIFA memutuskan untuk memberikan PSSI perpanjangan (deadline) dan kami harap ada hasil terbaik demi kepentingan sepak bola Indonesia," tulis Prince Ali dalam akun Twitter-nya.
"Sangat penting bagi kita untuk menyingkirkan politik dari permainan (sepak bola)," tegasnya kemudian.
PSSI dan KPSI hingga saat ini masih terus berseteru sehingga sepak bola Indonesia semakin tidak jelas arahnya. Sejumlah pihak menilai, perseteruan itu bukan karena murni urusan sepak bola, namun karena ada unsur permainan politik dari beberapa pengusaha besar Indonesia.
Pemerintah pun telah membentuk tim task force untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Namun, kehadiran tim yang diketuai Rita Subowo dan beranggotakan Agum Gumelar, Tono Suratman, Djoko Pekik, dan Yuli Mumpuni itu pun kerap mendapat kritik karena dinilai kurnag tegas.
Pemerintah dinilai bisa menggunakan wewenangnya yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Keolahragaan Naional No 3 Tahun 2005 untuk menyelesaikan dualisme kompetisi maupun organisasi sepak bola Indonesia. Salah satu caranya adalah membubarkan salah satu organisasi dan kemudian menyatukan klub-klub dalam satu wadah yang diakui FIFA.
Namun, salah satu anggota task force, Djoko Pekik, menyatakan pemerintah tidka bisa begitu saha membubarkan KPSI yang selama ini dianggap sebagai organisasi tidak resmi. Pasalnya, pemerintah, kata dia, menilai organisasi pimpinan La Nyalla Matalitt tersebut mendapat dukungan dari sebagian besar pemilik suara (voters) yang sah di Kongres Solo.