Matinya Seorang Filsuf Sepak Bola 'Posmo'
Tatkala Barcelona berupaya mengulang ekspedisi penaklukkan seperti musim lalu, berita duka justru menyeruak: sang maha guru, Johan Cruyff, wafat.
Kontan banyak pihak yang misuh-misuh. Sebab, keberadaan Cruyff diyakini menjadi jaminan mutu agar Belanda bisa tinggi-tinggi mengangkat tropi juara dunia. Apalagi, saat itu, timnas Negeri Oranye tengah berada pada puncak performa dengan gaya "Total Football".
Cruyff memiliki sejumput alasan kuat untuk tak pergi ke Argentina kala itu.
Alasan yang utama, dia secara politis menentang kebijakan otoritarian junta militer sayap kanan pimpinan Jenderal Jorge Videla yang tengah berkuasa di Argentina, dan menyebabkan banyak rakyat menemui ajal karena melakukan perlawanan.
"Bagaimana bisa kau bermain sepak bola di tempat yang hanya terpaut seribu meter dari pusat penyiksaan?" tegas Cruyff saat itu.
Belakangan, ketika diwawancarai setelah 30 tahun Piala Dunia 1978, Cruyff juga mengakui keluarganya menjadi korban percobaan penculikan sekelompok orang bersenjata sebelum kompetisi tersebut dimulai.
Sang Dionisius
Dalam buku berjudul "The Birth of Tragedy from the Spirit of Music", filsuf Jerman yang banyak dianggap sebagai pembuka jalan pemikiran postmodern, Friedrich Nietzsche, menuliskan kutipan dialog Yunani klasik antara Raja Midas dan Dionisius: "nasib terbaik adalah tidak dilahirkan; yang kedua dilahirkan tapi mati muda; dan tersial adalah yang berumur tua."
Dionisius, dalam tradisi tragedi Yunani arkhaik, merupakan simbolisasi dari manusia modern yang penuh kemalangan, tapi memiliki rasio untuk mengubah takdir para dewa.
Cruyff, tampaknya, bisa dikatakan, sebagai pewaris sah Dionisius. Ia tak mau mati muda sehingga tidak bisa mewariskan apa pun ke dunia sepak bola.
Dirinya, memilih menjalani hidup penuh kegetiran seperti ketika dirinya dicemooh kalangan anti-total footbal; dibebastugaskan Barcelona; hingga kisah perseteruannya dengan Sandro Rossell, mantan Presiden Barcelona.
Namun, dirinya juga sekuat tenaga membuat beragam terobosan pada sepak bola yang sudah menjadi ajeg, marketable, dan membuang jauh-jauh nilai estetik.
Cruyff, memilih untuk menantang bait-bait kepastian dalam sepak bola modern yang sebenarnya sudah memasuki senjakalanya. Bahkan, ia tetap merokok dan meminum bir meski terindikasi terkena kanker paru-paru.
Pendek kata, ia memilih untuk tak tunduk pada "rezim kepastian", meskipun konsekuensinya adalah mati tua.
Selamat jalan Cruyff.