Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Superskor

Efektivitas Conte atau Sihir Ibra?

IMAJINASI ternyata bisa terkapar di kaki efektivitas kolektif. Kesimpulan ini melesat pascapertandingan di Parc Olympique Lyonnais, empat hari lalu.

zoom-in Efektivitas Conte atau Sihir Ibra?
uefa.com
Zlatan Ibrahimovic 

IMAJINASI ternyata bisa terkapar di kaki efektivitas kolektif. Kesimpulan ini melesat pascapertandingan di Parc Olympique Lyonnais, empat hari lalu.

Italia yang masuk lapangan tanpa dirigen sejati, bermain dengan cara lain. Atau sebenarnya bukan cara lain. Hanya cara lama,catenaccio, yang dimodifikasi sedemikian rupa dengan sangat brilian oleh Antonio Conte.

Tidak ada keindahan, memang. Tak ada aksi individu yang mengundang decak kagum. Biasa-biasa saja. Dingin dan datar, nyaris tanpa fantasi. Akan tetapi, Italia, secara menakjubkan, mampu membentuk tembok-tembok yang sangat solid.

Tembok-tembok yang tak mudah runtuh meski digempur habis-habisan sepanjang 90 menit. Dan para pemain yang ditempatkan di tiap-tiap pos, dari depan sampai belakang, paham benar apa yang harus mereka perbuat, terutama sekali dalam hal menjaga ritme dan mengatur tempo.

Dengan kata lain, Italia benar-benar bermain sebagai tim. Sebelas untuk satu, satu untuk sebelas. Tanpa bintang yang benar-benar menonjol, terkecuali Gianluigi Buffon yang sudah melegenda, Gli Azzuri --julukan tim nasional Italia-- justru menjelma kekuatan menakutkan. Dan mereka menekuk Belgia yang lebih difavoritkan.

Belgia dengan bintang-bintangnya yang sedang bersinar terang, namun akhirnya harus keluar lapangan dengan kepala tertunduk, menanggungkan malu dan kekecewaan yang begitu dalam.

Bagaimana tak malu dan kecewa. Belgia memenuhi semua syarat untuk menang. Materi mereka nyaris seluruhnya berkualitas premium.

Berita Rekomendasi

Termasuk tiga gelandang yang ditempatkan sebagai "most wanted" di bursa musim mendatang: Eden Hazard, Kevin de Bruyne, dan Radja Nainggolan. Di bawah mistar ada Thibaut Curtois, sedangkan di depan terdapat Romelu Lukaku yang musim 2015-2016 masuk jajaran tukang gedor paling subur di Liga Inggris.

Skuat Belgia pun bukan lagi skuat muda. Di Brasil tahun 2014, mereka barangkali memang masih culun. Masih grasak-grusuk.

Namun sepanjang dua tahun ini mereka tetap bersama, di bawah besutan pelatih yang sama, seyogianya keculunan dan kegrasak-grusukan tadi sudah bisa dilenyapkan, paling tidak ditekan. Berganti kedewasaan dan kematangan.

Faktanya kita sama-sama tahu, mereka remuk dihajar Italia yang justru datang dengan skuat yang lebih sederhana dibanding skuat mereka di Brasil. Italia juga jeblok di Brasil.

Bahkan pencapaian mereka jauh lebih buruk ketimbang Belgia. Italia gagal lolos dari babak grup. Hanya menempati peringkat tiga setelah kalah dari Costa Rica dan Uruguay. Sedangkan Belgia lolos ke perempatfinal.

Tapi Conte, yang selepas Euro 2016 akan melepas jabatan pelatih tim nasional dan pergi ke Inggris untuk menukangi Chelsea, melakukan kerja perbaikan yang lebih baik dibandingkan Marc Wilmots.

Atas pencapaian di Brasil, Wilmots dianggap berhasil. Posisinya aman. Sedangkan Conte menggantikan Cesare Prandelli yang dipecat FIGC.

Dan ia menggunakan waktu satu tahu penuh sekadar untuk mengutak-atik skuat dan mencoba puluhan pemain. Sampai akhirnya, pada 31 Mei 2016, menetapkan skuat yang berisikan sebagian besar pemain "kurang terkenal". Pilihan yang memunculkan perdebatan riuh di Italia.

Kemenangan atas Belgia sedikit mengurangi keriuhan. Namun belum sepenuhnya. Taktik revolusioner Conte, yakni menempatkan sekaligus dua gelandang box to box yang bermain melebar (satu konsep yang tak lazim), Marco Parolo dan Emanuele Giaccherini, dinilai berisiko tinggi.

Belgia yang "demam panggung" mungkin tidak siap dengan strategi ini dan gagal mengantisipasi. Namun menghadapi Swedia, situasinya akan berbeda.

Tidak seperti Belgia yang banyak menahan dan menguasai bola,Swedia juga acap kali kalah dalam perkara possesion. Mengandalkan efektivitas juga. Jika ada kesempatan, gelandang-gelandang, atau bahkan bek-bek Sewdia, lebih suka mengirim bola ke depan untuk diselesaikan oleh ujung tombak mereka, Zlatan Ibrahimovich.

"Tim ini (Swedia) dari tahun ke tahun sebenarnya tak pernah terlalu cemerlang. Tak banyak pemain hebat. Tidak melahirkan banyak bintang. Tapi beberapa tahun ini mereka punya senjata yang benar-benar mematikan," kata Buffon pada Football Italia.

Buffon memang punya sekian pengalaman buruk menghadapi Ibra --sapaan Zlatan Ibrahimovic. Baik di level klub maupun tim nasional. Tahun 2004, juga di babak grup ajang Euro, Ibra membuyarkan harapan Italia untuk meraih kemenangan. Bukan sekadar gol. Bukan gol biasa. Tetapi gol yang sekaligus mempermalukan.

Berawal dari tendangan sudut yang menciptakan kemelut di kotak penalti Italia pada menit 85, Ibra yang dikepung pemain Italia, membalikkan badan dan menghujamkan bola dengan tumitnya. Buffon yang mencoba menyergap hanya menerpa angin. Inilah satu di antara gol yang membuat Ibrahimovich mendapatkan julukannya yang masyhur, Ibracadabra.

Julukan yang merujuk pada mantra sihir. Dunia keajaiban. Dan Zlatan Ibrahimovich memang seringkali menunjukkan keajaiban itu. Zlatan adalah sepakbola itu sendiri, kata Jose Mourinho, pelatih yang pernah menanganinya di Inter Milan. Dia bisa saja sepanjang 80 menit hanya berlari-lari di lapangan, tidak menyentuh bola, namun sentuhan pertamanya dapat berbuah gol.

Di Swedia, sejak tahun 2013, ada kata baru dalam kamus, yakniZlatanera. Kata yang diambil dari nama Zlatan Ibrahimovich. Artinya adalah dominasi, bagaimana melewati tiap-tiap halang-rintang dengan perjuangan yang hebat.

Kontra Republik Irlandia, sihir Ibra memang belum keluar. Permainan keras dan cepat Irlandia menyulitkan Swedia keluar dari tekanan dan gagal berkembang. Martin O'Neill, pelatih Irlandia, menugaskan dua pemainnya secara bergantian menjaga Ibrahimovich. Bukan mengawalnya man to man, melainkan memutus alur bola untuknya.

Namun kegagalan di laga pertama itu tak lantas membuat kubuItalia lengah. Giorgio Chiellini menyebut skor 1-1 Swedia kontra Republik Irlandia tidak bisa dijadikan rapor untuk mengukur Zlatan Ibrahimovich.

"Dia tipikal pemain yang mampu mengubah jalannya pertandingan. Kuncinya adalah konsentrasi. Lengah sedikit akan jadi petaka. Irlandia mampu melakukannya, begitu juga kami," katanya.

Antonio Conte pun berpikiran serupa. Pada sesi latihan tim nasional Italia, kemarin, ia memberikan latihan khusus pada pemain-pemain lini belakang. Seorang pemain dijadikan target penjagaan. Tidak disebutkan siapa pemain itu. Namun sepertinya dia diandaikan sebagai Zlatan Ibrahimovich.

Twitter: @aguskhaidir

Sumber: Tribun Medan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Klub
D
M
S
K
GM
GK
-/+
P
1
Liverpool
12
10
1
1
24
8
16
31
2
Man. City
12
7
2
3
22
17
5
23
3
Chelsea
12
6
4
2
23
14
9
22
4
Arsenal
12
6
4
2
21
12
9
22
5
Brighton
12
6
4
2
21
16
5
22
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas