''Tolong Jangan Sadarkan, Kami Sedang Mabuk Cinta''
Seorang lelaki bernama Aki Jonsson, pergi tidur dengan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Sabtu, 27 Juni 2016, menjadi malam yang intim
Seorang lelaki bernama Aki Jonsson, pergi tidur dengan perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Sabtu, 27 Juni 2016, menjadi malam yang istimewa. Tiga jam sebelumnya, dia duduk di depan televisi dengan santai belaka, nyaris tanpa harapan. Islandia akan menghadapi Inggris, harapan macam apa yang layak dikedepankan?
PERTANDINGAN berlangsung dan Islandia mempecundangi Inggris. Satu gol masing- masing dari Ragnar Sigurdsson dan Kolbeinn Sigporsson, sudah cukup untuk membuat gol perdana Wayne Rooney di Euro 2016 jadi tak lagi berarti. Pun sepanjang laga, Islandia sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah kurcaci yang sedang melawan raksasa.
“Saya sudah hidup 78 tahun dan melewati banyak sekali peristiwa. Tapi malam ini saya merasa jadi orang yang berbeda. Islandia mengirim Inggris pulang. Bahkan dalam mimpi saya tidak berani membayangkan. Ini sangat luar biasa. Saya beruntung masih hidup untuk menyaksikannya,” kata Jonsson dalam kisah yang dituliskan anaknya, Jon Gunnar Akason, untuk The Guardian.
Pascakekalahan Inggris atas Islandia membuncahkan “huru-hara” di Inggris. Para pemain yang bergaji tinggi itu dihujat. Diam-diam, banyak yang mulai membenarkan ucapan Gareth Bale. Jelang laga Inggris kontra Wales, Bale bilang bahwa dibandingkan mereka, semangat dan nasionalisme pemain-pemain Inggris tidaklah terlalu besar.
Tidak sedikit yang menyalahkan FA. Menurut para penuding ini, FA kerap salah menunjuk pelatih untuk menangani tim nasional. Ada banyak pelatih. Ada banyak yang cerdas dan mumpuni dan muda, pilihan malah jatuh pada Roy Hodgson.
Namun tak sepetik pun dari “huru-hara” ini yang berkaitpaut dengan Islandia. Tidak ada hujatan. Sebaliknya, yang mencuat justru kekaguman. Media-media Inggris membuka ruang yang besar untuk menampung cerita-cerita kemeriahan dari Islandia. Tak terkecuali The Guardian, media konservatif yang selama ini dikenal lebih “anggun” dan “tak berisik”.
Dari Guardian pula, yakni lewat satu artikel yang memuat sejumlah “ungkapan kebahagiaan”, diketahui bahwa sekarang harapan itu menguat. Meski masih tetap berbalut mimpi, setidaknya, ada kengototan yang menyertainya.
“It’s turning into a nationwide romance, we’re in love,” tulis warga lain bernama Alex Alexandersson. Seluruh negeri sedang jatuh cinta. Dan disebut Alex lagi, “siapapun sekarang mendadak jadi menyukai sepakbola. Pacar saya tidak pernah menyukai sepakbola sebelumnya. Tapi sekarang dia hapal nama-nama seluruh pemain, hanya dengan melihat wajahnya.”
Cinta yang mendadak, seperti mimpi indah, sering tak berumur panjang. Keduanya sama-sama mencuatkan kebahagiaan semu. Namun bagi rakyat Islandia, yang jumlahnya cuma 300 ribuan, hakekat ini tak berlaku.
Sejak lama mereka sudah membangun kebahagiaan sendiri. Kebahagiaan dalam pengertian berbeda dari pengertian umum, yang berangkat dari kebanggaan yang barangkali juga tidak lazim. Kebahagiaan dan kebanggaan menjadi seorang Islandia, seperti dipapar Jonas Hallgrimsson, seorang penyair, dalam A Toast to Iceland, satu puisi pendek yang jadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di negeri ini.
Our land of lakes forever fair/below blue mountain summits,
of swans, of salmon leaping where
the silver water plummets, of glaciers swelling broad and bare
above earth’s fiery sinews –the Lord pour out his largess there
as long as earth continues!
“Setelah Inggris sekarang Perancis. Dari satu raksasa ke raksasa yang lain. Mau apa lagi, memang sudah seperti itulah garis nasib. Dan kami menerimanya dengan berbahagia. Kami sedang jatuh cinta. Tak apa, jangan sadarkan kami atas mabuk yang sangat nikmat ini. Bagi kami ini sangat-sangat penting, sekarang. Sejauh ini kami sangat solid dan mudah-mudahan tetap begitu, dan setelahnya biarlah mengalir saja. Apapun bisa terjadi,” kata Gudni Johannesson, Presiden Islandia, dalam wawancara dengan CNN yang dikutip Washington Post.
Johannesson, 48 tahun, yang baru terpilih sebagai presiden lima hari lalu (ia menjadi presiden termuda dalam sejarah Islandia), atau hanya berselang sehari sebelum Islandia menghancurkan Inggris di Nice, mengatakan dirinya akan datang ke Stade de France, Saint-Denis, untuk menonton laga kontra Perancis, dinihari nanti.
Tapi tak seperti lumrahnya para kepala negara saat menonton pertandingan sepakbola, Johannesson tidak akan berada di tribun VVIP. Dia memilih untuk tidak duduk bersisian dengan Francois Hollande dan Manuel Valls, Presiden dan Perdana Menteri Perancis.
“Untuk apa saya duduk di sana dan menonton pertandingan sambil minum sampanye. Saya bisa melakukan itu kapan saja dan di mana saja. Masih banyak waktu. Tidak, tidak, saya akan datang dengan kostum tim nasional kami. Dan sepanjang pertandingan, saya akan berdiri di tengah-tengah rakyat saya. Kami akan sama-sama berteriak untuk para pahlawan bangsa. Saya sudah sampaikan kepada Tuan Presiden (Francois Hollande) dan beliau memahami keputusan ini,” ujarnya.
Begitulah, kebahagiaan sekarang memang merebak ke seluruh penjuru Islandia, negeri es yang nyaris sepanjang tahun dikepung kebekuan. Siapapun merasakan hal yang sama. Dari presiden hingga warga biasa. Namun meski mengaku mabuk dan tenggelam dalam ketidaksadaran yang menghangatkan, mereka sebenarnya tetap memahami realitas. Tuhan menurunkan mukjizat. Tuhan merestui keajaiban. Tapi keduanya tidak hadir sesering tiupan angin.
Dibandingkan Inggris, jelas-jelas Perancis lebih memiliki daya pukul. Kuat dan kokoh di semua lini, dari bawah mistar hingga lini serang. Friksi yang sempat mengapung terkait Karim Benzema dan Hatem Ben Arfa sudah mulai dilupa seiring performa fantastis Antoine Greizman.
Perancis juga sedang dilambungkan oleh semangat deja vu –sesuatu: hal, perkara, peristiwa, yang sebelumnya sudah pernah terjadi dan (seolah-olah) kini terulang. Tahun 1998, juga saat bertindak sebagai tuan rumah, Perancis meraih gelar juara Piala Dunia. Jadi, deja vu ini pada dasarnya harapan juga. Pertanyaannya, mungkinkah terwujud?
“Kami sudah sampai di perempatfinal, tinggal dua langkah lagi. Ada Islandia, lalu kemudian Jerman atau Italia. Bukan jalan yang mulus, tentunya. Islandia sama sekali tidak bisa dipandang remeh. Kesebelasan yang bisa sampai ke perempatfinal kejuaraan sebesar Euro adalah kesebelasan yang hebat,” kata bek Perancis, Patrice Evra.
Ada nada diplomatis di sana. Barangkali juga kewaspadaan. Tapi pastinya, bukan merendah. Sama sekali tidak. Evra mungkin menempatkan Inggris sebagai cerminan. Sebobrok-bobroknya dan sekacau-kacaunya, Inggris tetaplah tim besar. Sekadar nama saja biasanya sudah mustajab, merupakan modal yang membuat lawan gemetar.
Islandia mampu mengacuhkan kecenderungan ini. Mereka masuk lapangan dengan gagah dan menganggap tiga singa raksasa selevel belaka, dan hasilnya –kita sama- sama tahu– sangat menakjubkan. Dan memang tak ada alasan untuk tidak memperlakukan Perancis dengan cara yang sama.
@T_Agus_Khaidir