Bendera Merah yang Berkibar di Anfield
Tentu saja ini sekadar ejekan. Sekadar anekdot, yang sangat boleh untuk diketepikan lantaran dua perkara.
DI media sosial beredar sejumlah ejekan, yang mesti disampaikan lewat sudut pandang dan kalimat berbeda-beda, pada intinya ingin bilang begini: Liga Inggris akan mementaskan partai klasik yang turun kelas.
Parameternya bisa ditebak. Apalagi kalau bukan Liga Champions Eropa. Liverpool kontra Manchester United adalah pertandingan yang sudah menjadi klasik di Inggris, dan musim ini, keduanya tak mementaskan laga di kejuaraan prestisius tersebut.
Tentu saja ini sekadar ejekan. Sekadar anekdot, yang sangat boleh untuk diketepikan lantaran dua perkara. Pertama, bahwa ejekan dan anekdot kebanyakan datang dari suporter-suporter klub yang "bermusuhan" dengan Liverpool maupun Manchester United. Baik yang memang benar-benar merupakan bebuyutan maupun yang cuma merasa diri "musuh".
Kedua, tidak bertanding di kejuaran kasta pertama tidaklah serta merta dapat jadi kesimpulan bahwa Liverpool dan Manchester United adalah klub yang "sudah turun kelas", terlebih-lebih menyebutnya "semenjana". Sama sekali tidak.
Laga yang digelar di Anfield, Selasa (18/10) dinahari (WIB), tetap laga klasik. Tetap laga antara dua klub merah dan akan menentukan siapa merah yang paling merah.
Dan sudah tentu pula laga ini bukan hanya panggung untuk Jurgen Klopp dan Jose Mourinho, dua pelatih yang termasuk paling kenamaan di jajaran elite Eropa. Dua pelatih yang sama-sama didatangkan untuk melakukan perbaikan radikal dan mengembalikan klub ke masa-masa kejayaan.
Liverpool terakhir kali meraih gelar juara Liga Inggris pada musim 1989/1990. Sebelum era Premier League bergulir. Sudah lama sekali. Sedangkan Manchester United tak kunjung stabil pascaditinggal Sir Alex Ferguson. Dua pelatih yang menduduki kursinya di tepi lapangan Stadion Old Trafford, David Moyes dan Louis van Gaal, berakhir sebagai pesakitan.
Sejauh ini, Klopp lebih baik dari Mourinho. Setidaknya dari sisi statistik. Di musim keduanya, Klopp berhasil meracik komposisi yang sangat seimbang: kuat dalam bertahan dan tajam saat menyerang. Hingga pekan ketujuh, Liverpool bertengger di posisi empat. Melesakkan 18 gol dan kebobolan 10 gol, mengemas poin 16. Manchester United tertinggal tiga poin. Baru mencetak 13 gol dan kebobolan delapan gol.
Di antara mereka sendiri terbentang rekor yang buruk bagi Mourinho. Ia empat kali kalah dan hanya menang satu kali. Namun memang, sekali lagi, laga ini bukan hanya panggung untuk mereka.
"Jika itu yang terjadi, maka akan jadi sangat mudah. Bukan, ini bukan tentang kami. Ini tentang dua kesebelasan yang besar. Tentang Liverpool, tentang (Manchester) United. Tentang bagaimana masing-masing kami berjuang untuk tiga poin dan berusaha lebih dekat ke tangga juara," kata Klopp pada liverpoolecho.
Mourinho berpendapat serupa. "Saya tidak ada masalah dengan dia (Jurgen Klopp). Ini soal pertandingan liga dan saya kira kami akan menjalani pertandingan yang sulit. Saya kira mereka juga akan menghadapi kesulitan yang sama. Situasi yang terulang tiap kali dua klub besar bertemu," ujarnya dalam wawancara dengan Mirror.
"Selalu ada yang luar biasa dalam laga Manchester United melawan Liverpool. Tensi tinggi dan gol-gol. Mungkin akan butuh sedikit keberuntungan. Tapi hanya yang paling siap yang akan menang," kata Mourinho menambahkan.
Lantas pertanyaannya, siapa yang paling siap? Tahun pertamanya di Anfield menjadi tahun persiapan bagi Klopp. Tahun di mana dia melakukan dekonstruksi besar-besaran. Klopp membangun banyak sistem baru. Satu di antara perubahan yang paling nyata adalah perubahan taktikal.
Tiga posisi pemain penting digeser. Jordan Henderson ditarik lebih jauh ke belakang, memainkan peran deep-lying playmaker, persis Steven Gerrard. Posisi awal Henderson diberikan kepada Adam Lallana, dengan tambahan peran. Lallana menjadi gelandang sentral.
Dua perubahan ini mengakibatkan perubahan yang revolusioner pada James Milner. Barangkali tidak ada yang pernah membayangkan, termasuk suporter Liverpool sendiri, bahwa Milner, sosok yang sudah terlanjur identik dengan posisi gelandang tengah (yang bertenaga) akan bermain sebagai bek sayap kiri.
Perubahan-perubahan ini membuat Liverpool lebih cepat dan dinamis. Data statistik opta menunjukkan Liverpool sebagai klub yang (pemain-pemainnya) paling banyak berlari. Rata-rata (kalkulasi seluruh pemain) 814,8 km per pertandingan. Sebaliknya, Manchester United justru tercatat sebagai yang paling sedikit.
"Sepakbola modern adalah kemenangan. Satu klub bisa bermain indah sekaligus menang, itu yang paling baik. Kami sedang menuju ke sana. Saya tidak peduli pada orang-orang yang memandang sinis. Mereka para Einstein. Orang-orang jenius yang memandang dan bisa mengambil kesimpulan hanya dari satu pertandingan. Tapi saya tidak peduli pada apapun yang mereka katakan. Biar saja karena itu memang pekerjaannya. Saat ini, yang paling dibutuhkan (Manchester) United adalah kemenangan," kata Mourinho pada Sachin Nakrani dari Guardian.
Di bawah besutan Louis van Gaal, Manchester United mendewakan permainan posisi. Bola berpindah dari kaki ke kaki. Sentuhan demi sentuhan, yang seringkali indah. Namun persoalannya, keindahan tak selaras dengan daya gebrak.
Mourinho pernah "berguru" pada Van Gaal. Tapi filosofi sepakbola Mourinho, makin ke sini, makin pragmatis. Tujuan utamanya hanya gol. Maka pemain- pemainnya jarang sekali berlama-lama dengan bola. Tiap kali mendapatkannya, bola langsung dilesatkan ke depan. Makin sedikit sentuhan semakin bagus. Di Real Madrid, Cristiano Ronaldo pernah mencetak gol yang dibangun dari lini pertahanan oleh lima orang lewat sembilan sentuhan dalam tempo 12 detik.
Kecepatan dan efektivitas serangan seperti ini memang belum bisa diterapkan Mourinho di Manchester United. Dia tidak punya cukup amunisi yang memungkinkan itu terjadi sekaligus. Tidak dalam kecepatan yang dahsyat. Tapi dia punya modal lain untuk membuat Manchester United bermain lebih efektif, rapi sekaligus tajam tanpa perlu berlama-lama betul dengan bola. Dia punya Paul Pogba dan Zlatan Ibrahimovich. Dia juga punya Juan Mata, pemain yang di luar dugaan banyak orang ternyata jadi bagian penting skuat Red Devils --julukan Manchester United.
Namun Mourinho bukan tanpa masalah. Dan masalahnya berulang. Masalah yang juga dihadapinya di Real Madrid dan Chelsea. Masalah yang membuatnya terbuang. Di Madrid Mourinho membangkudangkan Iker Casilas. Sedangkan di Chelsea dia menepikan John Terry. Pemain-pemain senior yang dihormati pemain lain dan punya pengaruh besar di manajemen. Sekarang, kebijakan serupa harus diterima Wayne Rooney.
Sampai sejauh ini Rooney tidak bereaksi keras. Dia anteng saja duduk di bangku cadangan. Kepada koran-koran dan tabloid Inggris yang memang doyan menyantap isu-isu model begini, Rooney bilang bahwa dia menerima keputusan Mourinho sepanjang hal itu untuk kebaikan Manchester United. Pernyataan yang bijak. Dan terbukti, tanpa Rooney di lapangan, permainan jadi jauh lebih tajam.
Tapi pertanyaannya. sampai kapan Rooney akan bersikap manis? Mungkin tak lama. Dan apabila dia meledak, alamat gawat. Bisa-bisa Mourinho akan kembali kena depak.
twitter: @aguskhaidir