Kemenangan Timnas Indonesia, 94 Menit Pengalihan Isu Nasional
Di sebagian besar negara Eropa, sepakbola merupakan industri, bisnis yang menghasilkan aliran uang yang deras, beratus-ratus juta dalam bentuk dolar
DI Brasil sepakbola adalah agama. Di Italia, sepakbola bisa menjadi kata lain dari politik. Di sebagian besar negara Eropa, sepakbola merupakan industri, bisnis yang menghasilkan aliran uang yang deras, beratus-ratus juta dalam bentuk dolar, euro, atau poundsterling, per tahun.
Di Indonesia, negeri yang beberapa bulan terakhir tersandera oleh perasaan tercekam oleh pergesekan genting yang melibatkan politik, agama, dan bisnis, sepakbola baru saja mendapatkan maknanya yang baru: kebahagiaan.
Bagaimana tidak membahagiakan. Sepanjang 90 menit itu, plus empat menit waktu tambahan dari wasit, Indonesia betul-betul kembali menjadi Indonesia. Jika kecenderungan ini bisa diwakilkan lewat lalu lintas keriuhan di lini masa media-media sosial, maka dari sana bisa dilihat betapa adu risak antara kubu-kubu yang terbentuk sejak Pemilu 2014, menurun drastis.
Tatkala tim nasional tertinggal 0-1 dari Thailand lewat sundulan Teerasil Dangda, media sosial didominasi oleh kekesalan. Kenapa Benny Wahyudi dan Zulham Zamrun tidak cepat menutup daerah jaga mereka sehingga pemain Thailand bisa mengirimkan bola silang yang dengan jitu disambar Dangda.
AFP PHOTO/BAY ISMOYO PEMAIN Thailand Teerasil Dangda menyundul bola yang menjebol gawang Indonesia pada laga putaran pertama AFF Suzuki Cup 2016 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12).
Kenapa Hansamu Yama dan Fachruddin tidak awas dan cermat mengawal Dangda. Bagaimana mungkin penyerang sekelas Dangda dibiarkan sebebas itu di kotak penalti. Kenapa kiper Kurnia Meiga Hermansyah cuma terpaku di bawah mistar gawang, tidak berupaya keluar meninju atau memetik bola di udara.
Ada yang menempatkan diri sebagai motivator. Memberi wejangan berupa semangat. Waktu masih panjang jangan cepat menyerah. Juga tentu saja, ada yang mengemukakan pandangan-pandangan menyangkut strategi. Mereka menuliskan kemungkinan-kemungkinan dan potensi-potensi jika Alfred Riedl mengubah pola dari setengah bertahan menjadi lebih menyerang.
Begitulah keriuhan media sosial didominasi sepakbola. Memang, masih ada yang menerbitkan ceceran-cecaran terkaitpaut Ahok dan dugaan penistaan yang dilakukannya. Masih ada yang melemparkan wacana lanjutan boikot Sari Roti, kenyinyiran perihal Iran, Syiah, dan Jokowi, bahkan kebangkitan PKI lewat berbagai bentuk kecurigaan, termasuk kaus-kaus sport bersimbol logo mendiang negara Uni Soviet yang diperdagangkan di situs jual-beli online.
Akan tetapi, semua celoteh ini teredam. Tidak banyak mendapatkan tanggapan. Dianggap angin lalu saja kecuali oleh orang-orang yang memang punya minat berlebih atas perkara-perkara semacam itu.
Terlebih-lebih setelah tendangan Risky Pora menggetarkan jala gawang Thailand. Lewat serangan balik cepat di menit 65, Pora mendapat ruang tembak di sisi kanan kotak penalti Thailand. Bola yang melesat membentur badan Tristan Do, lalu berbelok arah dan gagal dijangkau kiper Kawin Thamsatchanan yang sudah terlanjur mati langkah.
SUPER BALL/FERI SETIAWAN SUPORTER Timnas Indonesia membentangkan bendera merah putih ukuran raksasa saat menonton pertandingan putaran pertama final AFF Suzuki Cup 2016 kontra Thailand di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12).
Kehebohan menjadi. Senang bercampur takjub. Terutama karena gol ini sendiri sebenarnya adalah kejutan. Pada 45 menit pertama, Indonesia memainkan pola bertahan yang sungguh mengkhawatirkan. Tidak bertahan total. Bukan dari jenis cattenacio apalagi sebangsa parkir bus ala Jose Mourinho.
Pilihan yang pada dasarnya tepat. Menghadapi Thailand yang ofensif dan berbekal pemain-pemain cepat dengan kualitas teknik mumpuni, Indonesia harus bermain lebih sabar. Menantang ofensif dengan ofensif, bagi Indonesia, adalah tindakan bunuh diri.
Namun dalam praktik, pilihan ini memang jadi menghadirkan cemas lantaran kekurangtenangan pemain-pemain Indonesia, terutama di lini tengah, ditambah seringnya kesalahan-kesalahan elementer dilakukan. Serangan yang cuma sesekali mudah dipatahkan karena umpan yang lemah dan tak akurat. Serangan-serangan itu bahkan acap patah sebelum masuk ke area pertahanan Thailand.
Fakta lain, itulah shoot on goal, tendangan mengarah ke gawang, pertama dari Indonesia. Artinya, Indonesia bisa melesakkan gol dari kesempatan dan peluang pertama.
Sampai di sini, benih-benih kebahagiaan mulai tumbuh. Indonesia baru lepas dari pengasingan FIFA selama 18 bulan dan begitu lepas berhasil melewati adangan Filipina, Singapura, dan Vietnam. Dan Thailand diyakini berada di level berbeda. Level yang lebih ciamik. Tolok ukurnya, di ajang kualifikasi Piala Dunia 2018, Thailand lolos ke fase ketiga, bergabung bersama sembilan negara lain untuk bersaing lolos ke Rusia.
Reputasi ini benar-benar ditunjukkan Thailand sepanjang gelaran AFF Suzuki Cup 2016. Rekor 100 persen. Lima laga lima kemenangan. Di semifinal, Myanmar, satu kekuatan baru Asia Tenggara yang mencoba mengusik hagemoni mereka, disikat enam gol tanpa balas.
Maka dari itu, bagi Indonesia, final ini ibarat laga yang tak berbeban. Sebab kalah pun barangkali akan dipandang sebagai kewajaran belaka. Dengan kata lain, terlepas dari semangat dan fanatisme kebangsaan yang menggebu, suporter Indonesia pada dasarnya sudah sangat siap apabila di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12) malam kemarin, pemain-pemain Thailand melangkah ke luar lapangan sebagai pemenang.
Tapi ternyata Risky Pora bisa menyamakan skor. Lima menit berselang malah berbalik unggul. Nyaris mirip proses gol yang dicetaknya kontra Vietnam, Hansamu Yama menanduk bola umpan tendangan pojok Risky Pora. Dan kebahagiaan itu pun melesat-lesat.
Sisa laga melahirkan anomali lini masa media sosial Indonesia. Seperti di Brasil, sisa laga membuat agama-agama yang selama berbulan-bulan diletakkan di medan debat dan risak, kembali ke tempatnya yang sahih. Yang ada hanya sepakbola, dan Indonesia, dan gegap gempita kemenangan. Dan tidak sedikit yang ikut menangis melihat Risky Pora dan Hansamu menangis.
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN PEMAIN Indonesia melakukan sujud syukur di lapangan usai mengandaskan Thailand di putaran pertama final AFF Suzuki Cup 2016 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12).
Sebenarnya tangis ini agak janggal. Pasalnya masih ada 90 menit kedua di Bangkok. Sabtu, 17 Desember, Indonesia akan bentrok lagi dengan Thailand di Stadion Rajamangala. Jelas 90 menit yang lebih berat dan tentunya akan dirasa lebih panjang.
Tapi sudahlah, tak terlalu penting mempersoalkan tangis. Biarlah tangis Risky Pora dan tangis Hansamu, dan tangis pemain-pemain Indonesia lainnya, menjadi bagian dari kebahagiaan yang mulai menjadi barang langka di negeri terkasih ini.
Perkara laga di Rajamangala, entah kita akan tetap menyerang atau perlu parkir kereta api, dipikirkan nanti saja. (t agus khaidir)