Inilah Tindakan Pertama Belajar dari Kasus Choirul Huda
Kiper Persela Lamongan, Choirul Huda, meninggal pada Minggu (15/10/2017) sore di rumah sakit di Lamongan.
Editor: Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kiper Persela Lamongan, Choirul Huda, meninggal pada Minggu (15/10/2017) sore di rumah sakit di Lamongan.
Pemicunya adalah benturan Huda dengan rekan setimnya, Ramon Rodrigues, dalam laga Liga 1 kontra Semen Padang di Stadion Surajaya.
Pada menit ke-44, Huda coba mengamankan gawang dari ancaman Marcel Sacramento, tetapi dadanya malah mengenai kaki dari Rodrigues.
Huda sempat bergerak, kemudian tidak sadarkan diri. Tim medis langsung melarikan sang penjaga gawang ke rumah sakit dengan ambulans.
Baca: Di Balik Alasan Choirul Huda Hanya Membela Persela Lamongan
Baca: Terkejutnya Kristian Adelmund Mendengar Meninggalnya Kiper Choirul Huda
Baca: Begini Ketua Umum PSSI Memuji Penjaga Gawang Choirul Huda
Baca: Choirul Huda Menularkan Sepak Bola ke Anak Sulungnya, Ini Bedanya
Sebelum dilarikan ke rumah sakit, sosok berusia 38 tahun itu sempat mendapatkan pertolongan dengan alat bantu oksigen.
Kasus meninggalnya Choirul Huda menjadi sorotan Alfan Nur Asyhar.
Dokter tim nasional U-16 Indonesia pun menjelaskan tindakan pertama yang perlu dilakukan bila menghadapi kasus serupa.
Berikut uraian Alfan kepada BolaSport.com:
Nah ini yang jadi pekerjaan rumah federasi (PSSI) beserta jajaran komite medisnya untuk memantapkan apakah SOP di tingkat bawah sudah sesuai atau belum?
Pelatihan kasus emergency for sports injury mutlak harus diperlukan dan diajarkan untuk semua tingkatan mulai pemain, ofisial, dan tim medis.
Dikarenakan pengetahuan akan tindakan yang tepat dan cepat merupakan goal seorang atlet akan bisa hidup/cacat/bahkan meninggal dunia.
Saya mengamati kalau publik sekarang baru menyoroti kinerja tim medis. Namun, semua tidak bisa ditimpakan ke tim medis.
Permasalahnnya kompleks dari manajemen federasi sampai ke knowledge dan skill tim medis beserta fasilitas kesehatan yg tersedia.
Syukur sudah ada tim medis yang bekerja daripada tidak ada sama sekali. Nah, ini yg harus cek dan ricek.
Saya rasa perhatian untuk medis sangatlah penting dari federasi tidak hanya pada sistem kepelatihannya saja, karena peran medis juga vital dalam peningkatan prestasi atlet.
Mengeluarkan budget yang besar untuk medis saya rasa bukanlah kerugian.
Kalau pengalaman saya melihat dan membandingkan peralatan medis tim negara Jepang, Korea, dan bahkan Eropa lainnya sudahlah sangat standar.
Kebetulan saya sendiri pernah mengikuti medicine football yg diselenggarakan oleh AFC/FIFA beberapa tahun lalu.
Beberapa tahun lalu sempat ada pelatihan tentang sports injury utk tim medis liga. Tapi Setelahnya kok tidak ada lagi. Ini yang harus kita pertanyakan lagi ke federasi. Kegiatan seperti itu sangatlah penting dan bermanfaat.
Ilmu pengetahuan tentang sports injury mutlak ditambahkan dan diajarkan ke tenaga medis yg bertugas.
Terkadang yang bertugas sebagai tim medis bukanlah seorang dokter, kadang fisioterapi, masseur, dan tenaga paramedis.
Beberapa yang saya amati belum memenuhi standard medis. Ini yang harus federasi bantu utk pemenuhannya.
Mulai dari obat-obatan, alat emergency musculosceletal, emergency cardiorespiration, AED (defibrilator jantung), alat cek suhu udara dan kelembaban. Soal SDM perlu di upgrade ilmunya juga.
Terjadinya kolaps atau pun susah napas di lapangan memang harus diselesaikan manajemennya di dalam lapangan sampai atlet bisa napas spontan sehingga dibawa ambulans dalam keadaan stabil.
Memang ada beberapa perbedaan antara cervical injury (cedera leher) dengan head injury ataupun thoracal injury (dada)
Karena perbedaan itulah bisa mengakibatkan fatal, hal ini juga harus dikuasai tim medis.
Kalau Fernando Torres (Atletico Madrid), pemain dalam lapangan sudah paham apa yang harus dikerjakan sambil menunggu tim medis masuk lapangan.
Sementara kita belum tahu akan hal itu.
Berita ini sudah tayang di BolaSport.com dengan judul: Belajar dari Choirul Huda, Ini Tindakan Pertama yang Harus Dilakukan