Laporan Reporter WARTAKOTALIVE.COMRafsanzani Simanjorang

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak banyak anak-anak muda yang mengenal dirinya saat ini, khususnya pecinta sepak bola Indonesia. Maklum saja, era dirinya di lapangan hijau telah usai.

Kini, panggung unjuk gigi ada di generasinya.

Meski begitu, dirinya selalu memerhatikan bagaimana generasinya mengemban tugas membela panji merah putih.

Dia adalah Herman Pulalo, bek kiri Timnas Indonesia era 1996-an.

Lahir di Jayapura, 1 April 1975, Herman Pulalo mengenang perjuangan berat masuk ke timnas Indonesia. 

"Indonesia dulu punya Liga Dunhill dan Kansas. Namun, pemainnya masih aroma era galatama. Kami harus saling bunuh dan saling jegal demi menjadi pilihan di line up pemain," ungkapnya.

Memakai jersey Timnas Indonesia adalah puncak kebanggaan sebagai pemain. 

Tak mau disalahartikan, Herman menyebut, memakai jersey timnas artinya bermain di lapangan, dan bukan penghangat bangku cadangan.

"Posisi bek kiri misalnya, selain saya, ada pula Aji Santoso, di bek kanan ada Anang Ma'ruf. Kami saat latihan saja sudah saling mengalahkan. Saling menjegal satu sama lain. Ibarat kata bunuh-bunuhan. Demi masuk ke tim inti," tambahnya.

Meski terkesan saling menyingkirkan, Herman menjelaskan, di luar lapangan setiap pemain adalah keluarga.

Tidak ada dendam. Hanya sebuah kata "iri" sebagai pemicu semangat untuk saling menjegal demi masuk line up di pertandingan berikutnya. 

"Saya pun begitu. Jika satu pertandingan saya tidak masuk tim inti, saya bertekad akan mengalahkan pesaing saya di pertandingan kedua. Kami sangat kompetitif," ujarnya.

Kata kompetitif itu pula lah yang diharapkannya ada di skuad timnas Indonesia saat ini.

Masuk timnas bukan untuk menjadi cadangan, tetapi berlomba masuk daftar pemain (line up) yang diturunkan.

Ada pun saat ini, Herman Pulalo mengabdikan dirinya melatih anak-anak usia dini di Tangerang. Dirinya juga tercatat melatih salah satu tim peserta Liga 3 Indonesia.