Ban Kapten Pelangi di Piala AFF, Awal Kampanye LGBT Lewat Sepakbola & Penolakan Timnas Indonesia
Akhir-akhir ini sepak bola eropa dan asia begitu aktif menyuarakan dan mendukung gerakan LGBT melalui berbagai gimmick.
Penulis: deivor ismanto
Editor: Dwi Setiawan
Dengan adanya RUU tersebut, Thailand berpotensi menjadi negara di Asia Tenggara yang pertama kali melegalkan pasangan sesama jenis bisa hidup bersama.
Dilansir dari berbagai sumber, adanya RUU tersebut tidak menyebutkan pelegalan adanya pernikahan sesama jenis.
Namun, RUU Kemitraan Sipil ini memberikan hak yang lebih besar kepada kaum LGBT untuk bisa hidup bersama.
Hal ini adalah langkah yang cukup besar bagi negara yang tergabung di wilayah timur, ditambah lagi Thailand adalah negara yang terbilang konservatif.
Isi dari RUU tersebut antara lain adalah pasangan sesama jenis diperbolehkan untuk mengadopsi anak, mengklaim hak waris, dan bersama mengelola aset.
Jadi, tidak heran jika Timnas Thailand akan menjadi tim yang paling sering kita saksikan memakai ban kapten pelangi di setiap pertandingannya pada gelaran Piala AFF tahun ini.
Lalu yang menjadi pertanyaan, mengapa gerakan LGBT begitu marak disuarakan melalui sepak bola?
Ya, akhir-akhir ini sepak bola eropa begitu aktif menyuarakan dan mendukung gerakan LGBT melalui berbagai gimmick.
Dari bendera corner, tampilan papan iklan, hingga ban kapten pelangi begitu sering kita lihat saat menyaksikan sepak bola eropa.
Khususnya Liga Inggris, kompetisi yang diakui sebagai Liga paling kompetitif di Dunia tersebut adalah sangat rajin untuk mengkampanyekan LGBT.
Di mulai dari tahun 2017 Liga Inggris mulai mengkampenyakan LGBT di setiap pertandingan, saat itu liga Inggris bekerja sama dengan organisasi dengan nama Stonewall.
Stonewall adalah organisasi yang aktif menyuarakan tentang hak-hak LGBT di penjuru dunia.
Mereka menginginkan adanya kesetaraan dan pengakuan terhadap para kaum LGBT yang seringkali dihina dan dipandang sebelah mata.
Dan Inggris yang menjadi salah satu negara eropa yang mengakui keberadaan LGBT, menjadi wadah bagi Stonewall untuk 'numpang' bersuara.