TRIBUNNEWS.COM - Smarphone Android terbaru rancangan Google, yakni Pixel dan Pixel XL, ramai menjadi perbincangan setelah resmi dikenalkan pada Rabu (5/10/2016) lalu.

Android buatan Google tersebut digadang-gadang memiliki rating kamera tertinggi saat ini dan memiliki fitur eksklusif yang tak dimiliki smartphone Android lain.

Namun, siapa mengira, ternyata di balik Pixel dan Pixel XL, ada campur tangan vendor smartphone Taiwan, HTC.

HTC yang sempat berada di jajaran produsen ponsel ranking atas itu dikutip dari Bloomberg, Kamis (10/6/2016), menjadi perusahaan rekanan yang merakit Pixel dan Pixel XL.

Pixel dan Pixel XL memiliki skema kerja sama yang berbeda dengan Nexus. Keduanya memang sama-sama dirakit oleh vendor pihak ketiga.

Namun khusus untuk lini Pixel, seluruh konsep, desain, dan proses engineering-nya dilakukan oleh Google sendiri.

HTC hanya menyediakan jalur perakitannya saja kepada Google untuk melahirkan smartphone Android tersebut.

Langkah tersebut, menurut kepala divisi hardware Google, Rick Osterloh, sama dengan langkah Apple Inc. dalam memproduksi peranti iPhone.

Pabrikan Cupertino itu merancang lini iPhone di markasnya dan menyerahkan perakitannya ke pabrikan Foxconn di Taiwan.

Lantas, mengapa Google memilih HTC?

"HTC adalah salah satu perusahaan dengan latar belakang pengalaman yang melimpah di dunia manufaktur," kata Osterloh.

“Google mengerjakan desain dan banyak proses engineering lainnya, kini Google juga sebagai penjual smartphone itu, berbeda sekali dengan (strategi) Nexus," ujar Osterloh.

HTC yang didirikan sejak 1997 memang dikenal memiliki sejarah panjang sebagai pabrikan manufaktur peranti-peranti smartphone merek dunia, seperti Microsoft dengan Windows Phone.

HTC juga menjadi salah satu vendor pertama yang menelurkan smartphone Android pada 2008 lalu.

Namun belakangan, HTC kalah bersaing dengan vendor-vendor seperti Apple, Samsung, dan Xiaomi.

Penjualan smartphone HTC pada 2015 lalu turun hingga 70 persen dibanding pada tahun 2011.

Pangsa pasarnya di pasar smartphone dunia juga turun menurut data IDC, dari 9,2 persen di 2011 menjadi hanya 1,3 persen di 2015. (Reska K. Nistanto/kompas.com)