RUU Perlindungan Data Pribadi Dinilai Penting Menyusul Bocornya 50 Juta Data Pelanggan Facebook
Kabid Hubungan Antar Lembaga APJII Tedi Supardi Muslih menilai pentingnya keamanan data pribadi menyusul bocornya 50 juta data pelanggan Facebook.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kabid Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Tedi Supardi Muslih menilai pentingnya keamanan data pribadi menyusul bocornya 50 juta data pelanggan Facebook.
Tedi yang aktif Desk Ketahanan & Keamanan Informasi Cyber Nasional (DK2ICN) Kementerian Politik Hukum & Keamanan Republik Indonesia, mendesak Kementerian Kominfo untuk segera mengegolkan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) sebagai prioritas dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR RI.
Menurut Tedi yang tercatat sebagai inisiator berdirinya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) itu, skandal bocornya data 50 juta pengguna Facebook memang menjadi sorotan karena melanggar privasi yang notabene merupakan hak setiap manusia yang harus dihormati.
"Jangan sampai kasus mallware Wannacry terulang lagi. Pemerintah baru membentuk BSSN, setalah ada kasus Wannacry. Sekarang, setelah ada kebocoran data pengguna Facebook, kita baru melangkah mengenai pentingnya perlindangan data pribadi," tegas Tedi di Jakarta, Senin (2/4/2018).
Baca: APJII Sikapi Kebocoran Data Pengguna Facebook
Tedi menyesalkan RUU Perlindungan Data Pribadi sendiri tidak masuk dalam Prolegnas 2018.
Meski DPR dan Kemnkominfo mendorong, Kemenkumham lebih memilih RUU lainnya untuk diprioritaskan selesai pada tahun ini.
Senada, ahli digital forensik Rubi Alamsyah juga mendesak RUU Perlindungan Data Pribadi untuk dijadikan prioritas oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan dunia siber.
"Intinya menurut saya pemerintah dan warga sama-sama belum ngerti mengenai pentingnya perlindungan data pribadi," sesal Rubi.
Menurut Rubi, jika sudah ada regulasi dan undang-undang yang mengatur, masyarakat tak perlu risau dengan keamanan data pribadi mereka. Seperti halnya, saat Kemenkominfo meminta registrasi kartu SIM dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di Kartu Keluarga (KK).
Terlebih pemerintah juga sedang mengumpulkan data masyarakat, salah satunya lewat e-KTP dan registrasi kartu prabayar. Ada juga rencana membagi data tersebut untuk keperluan tertentu, seperti administrasi dan bisnis.
"NIK ini adalah nomor penting, sama seperti halnya social security number di Amerika Serikat. Kita harus memahamkan NIK itu sifatnya rahasia. Masyarakat perlu diedukasi mengenai hal itu. Tentu secara bersamaan masyarakat perlu dilindungi dengan UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga apa yang boleh dan tidak menjadi jelas," tutur Rubi.
Dengan RUU Perlindungan Data Pribadi, nomor NIK dan data pribadi lainnya yang penting itu akan semakin terlindungi, terutama kaitannya untuk pemanfaatan oleh pihak ketiga, antara masyarakat dan pemerintah.
"Nah, pentingnya undang-undang PDP itu salah satunya itu. Kalo masyarakat dan pemerintah sudah mengerti apa yang harus dijaga, seprti nomor KK dan NIK kita. Pihak ketiga juga harus tahu bahwa kita sebagai masyarakat seringkali menyerahkan data penting itu ke berbagai keperluan seperti daftar sekolah, ke bank, ke instansi, atau daftar ke mana pun. Jadi pihak ketiga ini, harus menjaga data nomor penting itu sesuai dengan standard PDP nanti," tegas Rubi.
Berkaitan dengan kebocoran data Facebook itu, menurut Rubi, RUU PDP sangat bisa diandalkan untuk melacak kebocoran, hingga pemberian sanksi bagi pembocor data.
"Jadi kalo ada bocor, bisa ditelusuri. Bocornya dari mana dan kenapa. Lalu sanksinya apa. Semuanya harus diatur dalam undang-undang," tegas Rubi.