Huawei 'Dikerjain', China Siapkan Aksi Balasan Lebih Keras ke Amerika Serikat
China mendesak AS agar segera menghentikan 'aksi penindasan' yang dianggap tidak masuk akal terhadap bisnis Huawei dan perusahaan China lainnya.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Pemerintah China mendesak Amerika Serikat (AS) agar segera menghentikan 'aksi penindasan' yang dianggap tidak masuk akal terhadap Huawei dan perusahaan lainnya asal negeri tirai bambu, pada Sabtu lalu.
Hal ini dilakukan menyusul pengumuman AS terkait kontrol ekspor baru untuk membatasi akses raksasa teknologi asal Shenzen, China itu ke teknologi semikonduktor Amerika.
Surat kabar China yang dikelola pemerintah, Global Times pun mengutip pernyataan pengamat yang enggan disebutkan namanya yang menyebut langkah pembalasan yang direncanakan China terhadap niat AS yang ingin menekan pengiriman semikonduktor ke Huawei ini, dapat disamakan dengan 'bom nuklir' dalam hal efektivitas.
Tindakan penanggulangan 'ala China' yang bersifat memaksa ini dilaporkan akan mencakup tindakan keras terhadap sejumlah perusahaan besar AS.
Baca: Anies Terbitkan Pergub Sanksi: Kendaraan Langgar Ketentuan PSBB Siap-siap Diderek
Mulai dari Qualcomm, Cisco, Apple hingga produsen pesawat asal Amerika Boeing.
"China akan meluncurkan penyelidikan tanpa akhir pada perusahaan-perusahaan itu, seperti pedang yang menggantung di atas kepala mereka. Itu akan mengurangi kepercayaan para investor dan memeras pendapatan mereka di pasar China," kata sumber yang enggan disebutkan namanya itu.
Baca: Waspadai Titik Rawan Macet di Jalan Tol Menjelang dan Pasca Lebaran, Ini Rinciannya
Ia kemudian menambahkan bahwa langkah tegas China juga akan menimbulkan reaksi berantai pada berbagai pemain di hulu dan hilir dalam segmen produksi chip AS.
Baca: Hikmah Pandemi Corona di Mata Natasha Rizky: Bisa 24 Jam Full Jalani Peran Istri dan Juga Ibu
Dikutip dari laman Sputnik News, Senin (18/5/2020), mantan pejabat perdagangan senior sekaligus anggota Dewan Eksekutif Masyarakat China untuk Studi Organisasi Perdagangan Dunia, He Weiwen juga menekankan bahwa negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu sudah seharusnya menerapkan tindakan pencegahan ini.
Baca: Lebaran, Kendaraan Menuju Rest Area Akan Dibatasi, Istirahat Maksimal 30 Menit
Ia bahkan mendesak pemerintah China untuk melakukan penyelidikan secara menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan AS yang relevan dengan 'aksi perang' tersebut.
"Biarkan mereka merasakan sakitnya," kata Weiwen.
Terkait Boeing, bagian internal yang enggan disebutkan namanya pun mengatakan bahwa saat ini kemungkinan China akan membatalkan semua pesanannya pada Boeing.
Langkah ini bisa saja diambil jika AS terus menekan perusahaan-perusahaan asal China.
Pernyataan tersebut disampaikan menyusul seruan China yang meminta AS untuk menghentikan 'penindasan yang tidak masuk akal' terhadap Huawei dan perusahaan China lainnya.
Sebelumnya, pengumuman dari Departemen Perdagangan AS tentang kontrol ekspor baru untuk membatasi akses raksasa teknologi itu ke teknologi semikonduktor Amerika, membuat China marah.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri China menegaskan komitmen pemerintah China untuk melindungi perusahaan asal negara itu.
"Pemerintah dengan tegas menegakkan hak dan kepentingan hukum serta kepentingan perusahaan China. Tindakan pemerintahan Trump telah menghancurkan manufaktur, pasokan, dan rantai nilai global," tulis pernyataan Kemenlu China.
Pernyataan itu muncul di tengah tindakan keras AS yang terus-menerus memberikan tekanan terhadap Huawei sejak Mei 2019.
Saat itu Departemen Perdagangan AS melarang penyedia internet untuk menggunakan produk dari perusahaan China.
Selain itu, perusahaan teknologi Amerika juga dilarang menjual teknologi kepada raksasa teknologi asal China tanpa memperoleh lisensi khusus terlebih dahulu.
Gedung Putih mengklaim bahwa Huawei bekerja sama dengan pemerintah China untuk memata-matai mereka yang menggunakan peralatan titan teknologi.
Tudingan ini pun langsung dibantah keras oleh China dan Huawei.