Eksodus di Twitter Berlanjut, Petinggi Kebijakan Publik Pilih Tinggalkan Platform Burung Biru
CEO Twitter Inc Elon Musk dilaporkan melakukan PHK tenaga kerja perusahaan itu untuk memangkas biaya operasional Twitter.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK - Kepala kebijakan publik Twitter Inc meninggalkan perusahaan di tengah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang berlanjut di perusahaan media sosial tersebut pada Kamis (22/12/2022).
CEO Twitter Inc Elon Musk dilaporkan melakukan PHK tenaga kerja perusahaan itu untuk memangkas biaya operasional Twitter.
Dilansir dari Reuters, wakil presiden global untuk kebijakan publik Twitter, Sinead McSweeney, dilaporkan telah meninggalkan perusahaan, menurut dua sumber yang mengetahui kepergian McSweeney.
Baca juga: Disuruh Netizen Mundur, Elon Musk Cari Bos Baru Twitter
PHK dan kepergian seorang pemimpin berpangkat tinggi di Twitter terjadi ketika regulator di seluruh dunia mempertanyakan perkembangan moderasi konten platform media sosial itu dan perlindungan data pengguna setelah Musk memangkas staf perusahaan.
Sebelumnya, Twitter memiliki lebih dari 7.000 tenaga kerja, dan setelah PHK tersebut jumlah karyawan di perusahaan itu tersisa 2.000 orang.
Tim kebijakan publik bertanggung jawab untuk berinteraksi dengan pembuat undang-undang dan masyarakat sipil mengenai berbagai masalah termasuk kebebasan berbicara, privasi, dan keamanan di dunia maya.
Selain itu, tim tersebut juga menangani permintaan dari pemerintah dan kelompok sipil untuk menghapus konten yang bermasalah dan menetapkan aturan untuk melindungi pengguna platform.
Dengan staf yang jauh lebih sedikit, backlog dapat meningkat dan beberapa kebijakan yang sedang dalam pengembangan dapat terabaikan, kata salah satu sumber.
Direktur senior untuk strategi kebijakan publik global Twitter, Nick Pickles, telah mengambil alih peran McSweeney, kata kedua sumber tersebut.
Pada bulan lalu, Komisaris Uni Eropa Thierry Breton mengatakan kepada Musk bahwa Twitter menghadapi "pekerjaan besar ke depan" untuk mematuhi peraturan Eropa mengenai moderasi konten, menghapus disinformasi, dan membatasi iklan bertarget.
Baca juga: Harga Dogecoin Terus Catatkan Rapor Merah, Anjlok Hingga 23 Persen Akibat Drama Elon Musk
Uni Eropa akan melakukan "stress test" di kantor pusat Twitter di San Francisco, Amerika Serikat, pada awal tahun depan untuk menilai kepatuhan platform media sosial itu terhadap peraturan di Eropa.
Sebagai informasi, Stress Test merupakan pengujian terhadap sebuah program baik web, aplikasi, maupun software, yang bertujuan untuk menguji stabilitas dan memperbaiki sistem.
Seorang pejabat senior di Jerman mengatakan pada Kamis bahwa Uni Eropa harus "memantau langsung" Twitter karena tindakan platform tersebut menjadi tidak menentu di bawah kepemimpinan Musk yang dapat mengancam kebebasan berbicara.
Salah satu sumber menambahkan, setengah dari 30 anggota tim kebijakan publik Twitter yang tersisa telah diberhentikan pada Rabu (21/12/2022), yang berarti 15 orang telah diberhentikan perusahaan.
Musk mengatakan pada Rabu, Twitter menghadapi " situasi arus kas negatif sebesar 3 miliar dolar AS" pada tahun depan, yang menjadi alasan mengapa dia bergerak untuk memotong biaya operasional perusahaan secara agresif.
Baca juga: Pengguna Twitter Atur Nasib Elon Musk, 57 Persen Minta Miliarder Itu Hengkang
Pada November, ratusan karyawan dilaporkan mulai meninggalkan Twitter, usai Elon Musk mengeluarkan ultimatum pada para pegawainya agar bersedia bekerja keras di bawah manajemennya.
Dalam pengumumannya yang disampaikan Musk di grup obrolan "watercooler" pada 17 November, pihaknya memberikan dua pilihan pada sejumlah karyawan untuk ikut meningkatkan komitmen pada Twitter atau menolak tawaran Musk.
Mereka hanya diberi waktu hingga pukul 5 sore waktu setempat, apabila mereka memilih pergi meninggalkan Twitter maka karyawan tersebut akan langsung dipecat dan dapat mengambil paket pesangon selama 3 bulan.
Tidak hanya itu, dalam pembicaraan tersebut Musk juga menyampaikan ancaman pemecatan secara langsung bagi para manajernya yang mengizinkan karyawan bekerja dari jarak jauh serta enggan mengadakan pertemuan tatap muka.
Para karyawan juga diwajibkan untuk melakukan kerja lembur, demi mempercepat ambisi Twitter meluncurkan fitur–fitur baru yang dapat mendongkrak pendapatan perusahaan.
Setelah Musk menyampaikan ultimatum tersebut, beberapa karyawan yang menolak kebijakan itu langsung angkat kaki dari kantor Twitter, mereka menyebut keputusan Elon Musk telah menciptakan lingkungan kerja yang keras dan tak sesuai dengan aturan yang berlaku.