Nasib TikTok di Ujung Tanduk, Pengadilan Federal AS Tolak Gugatan Banding
TikTok terancam mandek beroperasi di Amerika Serikat setelah Pengadilan Federal AS menolak permintaan TikTok untuk perpanjangan waktu.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Aplikasi video TikTok terancam mandek beroperasi di Amerika Serikat setelah Pengadilan Federal AS menolak permintaan TikTok untuk perpanjangan waktu pasca putusan banding pada 13 Desember 2024.
Mengutip dari CNN International, Pengadilan banding federal menolak permohonan TikTok untuk membatalkan larangan operasional aplikasi tersebut di Negeri Paman Sam.
Dengan putusan tersebut, operasional TikTok akan resmi diblokir dari AS per tanggal 19 Januari 2025.
Konflik panas bermula ketika AS menuduh China melakukan pencurian data TikTok.
Tudingan ini diperkuat usai tim peneliti menemukan source code di TikTok yang menunjukkan bahwa aplikasi tersebut memanen data seperti lokasi, perangkat yang digunakan, dan aplikasi apa saja yang ada di dalam HP pengguna.
Dengan memanfaatkan data tersebut, AS khawatir warga negaranya dapat dikontrol oleh pemerintah China.
Lantaran pemerintah negeri tirai bambu ini kerap memanfaatkan algoritma di media sosial, untuk membawa pengaruh ke pengguna.
Buntut masalah itu Presiden Joe Biden April lalu menandatangani undang-undang yang mengharuskan ByteDance menjual TikTok kepada Amerika Serikat.
Apabila ByteDance menolak aturan tersebut, maka aplikasi TikTok terancam dilarang beroperasi di AS.
Merespon tudingan tersebut, TikTok dengan tegas menolak tuduhan yang dilontarkan pemerintah AS.
TikTok juga bergerak cepat mengajukan mosi ke Mahkamah Agung untuk memblokir atau membatalkan aturan yang mengharuskan perusahaan induknya, ByteDance, melepaskan diri dari aplikasi video pendek paling lambat 19 Januari mendatang.
Namun pengadilan menolak tawaran tersebut dengan mengatakan bahwa larangan dilakukan sebagai tanggapan atas kekhawatiran selama bertahun-tahun di Washington bahwa perusahaan induk aplikasi ByteDance yang berasal dari China menimbulkan risiko keamanan nasional.
Baca juga: TikTok Terancam Diblokir di AS per 19 Januari 2025, ByteDance Minta Tinjauan Mahkamah Agung
"Undang-undang ini merupakan puncak dari tindakan partisipan yang ekstensif dari Kongres dan presiden-presiden sebelumnya."
"Undang-undang ini dibuat dengan hati-hati untuk menangani hanya kontrol oleh musuh asing, dan merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk melawan ancaman keamanan nasional yang beralasan yang ditimbulkan oleh (Republik Rakyat Tiongkok)," kata juru bicara pengadilan AS.
"Dalam situasi seperti ini, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang yang ada di hadapan kami bertahan dari peninjauan yang paling teliti." tambahnya.
China Pilih Tutup TikTok Ketimbang Menjualnya ke AS
ByteDance, perusahaan induk Tiktok di China kabarnya memilih menutup aplikasi TikTok daripada harus menjualnya ke perusahaan AS. Langkah ini akan diambil lantaran TikTok gagal menggugat undang-undang di AS yang memaksa divestasi perusahaan.
Hal serupa juga turut dikonfirmasi empat sumber Reuters di AS, mereka menyatakan ByteDance tidak akan menjual TikTok, lantaran algoritma TikTok dinilai terlalu penting untuk seluruh bisnis ByteDance.
Baca juga: Australia Larang Anak Usia di Bawah 16 Tahun Akses TikTok hingga Instagram
TikTok AS hanya menyumbang sebagian kecil dari total pendapatan dan jumlah pengguna ByteDance. Karena itu, menutup TikTok di Amerika Serikat dinilai lebih baik daripada menjual aplikasi tersebut ke perusahaan AS.
Kendati ByteDance telah menolak desakan menjual TikTok, sejumlah miliarder dikabarkan telah mengantre untuk mengakuisisi TikTok.
Diantaranya ada Bobby Kotick, mantan kepala raksasa video game Activision Blizzard, dan Kevin O'Leary, investor Kanada dari acara TV "Shark Tank," . Keduanya menyatakan minatnya untuk mengakuisisi TikTok.
Baca juga: Mulai 2025 Aplikasi TikTok Dilarang Beroperasi, Disebut Melakukan Pencurian Data
Seorang analis keuangan memperkiraan harga jual Tiktok jika aplikasi itu kemungkinan terjual, harga yang akan dipatok ByteDance diprediksi mencapai 100 miliar dolar AS atau sekitar Rp 1.574 triliun.
Harganya cukup rendah dibandingkan dengan angka penjualan TikTok di AS. Tahun lalu, layanan tersebut menghasilkan 16 miliar dolar AS atau Rp 251 triliun.