Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ceker Setan Pak Sugeng, Belum Buka Saja Antriannya Sudah Mengular Panjang

Ceker Setan Pak Sugeng, berbahan utama ceker ayam, rasanya pedas gurih. Belum buka saja, antriannya mengular panjang.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Ceker Setan Pak Sugeng, Belum Buka Saja Antriannya Sudah Mengular Panjang
Kontan/ Elga Ayudi
Antrian pembeli di Kedai Ceker Setan Pak Sugeng 

TRIBUNNEWS.COM, MALANG - Kalau jalan-jalan ke Malang, jangan lupa menjelajah kuliner khas kota berhawa sejuk ini. Salah satu makanan paling populer di Kota Apel adalah ceker pedas. Di Malang banyak kedai yang menjajakan masakan berbahan baku utama ceker alias cakar ayam dengan kuah berasa pedas ini.

Kedai ceker pedas yang terkenal di kota yang terletak di Provinsi Jawa Timur tersebut adalah Ceker Setan Pak Sugeng. Posisi warung makan yang berdiri tahun 2008 tersebut ada di Jalan Jakarta, persis di seberang gedung School of  Business (SOB) Malang.

Apakah makanan ini terbuat dari cakarnya setan? Namanya terdengar gahar lagi seram. Menurut Martini, pemilik kedai tersebut, nama ceker setan merupakan pemberian mahasiswa yang jadi pelanggan setianya. “Itu karena saking pedasnya rasa masakan saya,” jelas perempuan berusia 43 tahun ini.

Anda penasaran dengan rasa pedas ceker racikan Martini? Kedai ini buka sekitar jam sembilan malam. Tapi, Anda mesti datang lebih awal. Soalnya, antrean pembeli sudah mengular satu jam sebelum Ceker Setan Pak Sugeng buka.

Uniknya, agar tidak saling berebut, Martini memberlakukan nomor antrean. Pengunjung bisa mengambil nomor antrean yang ada di atas gerobak dagangan milik Martini.

Dulu, Martini bilang, nomor antrean bisa sampai 50. Tapi, karena merepotkan, ia akhirnya membatasi hingga nomor 25 saja. “Sisanya silakan antre baris saja,” imbuh dia.

Cakar sangat empuk

Berita Rekomendasi

Nah, begitu selesai menata dagangannya, Martini pun memanggil satu per satu nomor antrean secara berurutan. Yang dipanggil kemudian menyebutkan pesanannya. Dengan cekatan, pelayan mengambil pesanan pembeli, cakar, kepala, atau sayap ayam, tak lupa ia membubuhkan kuah. Tak sampai satu menit, piring dari anyaman lidi beralas kertas cokelat lengkap dengan isinya sudah sampai ke tangan pelanggan.

Untuk menikmati makanan ini, bisa dengan nasi atau tanpa nasi. Singkirkan sendok dan garpu. Maklum, struktur cakar, kepala, dan sayap ayam banyak tulangnya. Sendok garpu bakal menyulitkan Anda menyesap nikmatnya bumbu yang meresap ke dalam cakar, kepala, dan sayap ayam.

Cakar, kepala, dan sayap ayam yang berlumur bumbu pedas  berwarna kuning keemasan tampak menggoda. Bau tajam dari cabai cokro, bumbu utama makanan ini, menusuk hidung. Inilah yang memacu adrenalin Anda untuk segera melahapnya.

Saat menggigit, ternyata cakarnya sangat empuk, tidak liat maupun alot. Anda bisa merasakan ruas tulang cakar berguguran di mulut, tanpa perlu bekerja keras mengunyah atau memisahkan otot yang ada di cakar dengan tulangnya. Bumbu pedasnya langsung membakar mulut seketika, tapi tidak bisa dielakkan, lidah menginginkannya lagi dan lagi, alias kapok lombok.

Untunglah rasa pedas cakar ini tidak sampai membuat masakannya menjadi pahit dan kehilangan rasa gurih dari daging, kulit, dan tulang cakar ayamnya. Minyak kaldu dari rebusan ayam sedikit menyeimbangkan rasa pedas.

Sensasi pedas yang menyengat rongga mulut memaksa tangan untuk meraih kepala serta sayap ayam. Semuanya terasa empuk, daging dan kulitnya pun mudah terlepas dari tulang, membuat gigi gampang mengurai dagingnya di mulut tanpa bantuan tangan.

Tak terasa, satu porsi ceker setan ludes tak bersisa. Peluh pun mengucur deras dari dahi, rongga mulut mulai kebanjiran air liur yang berusaha mengeluarkan sisa rasa pedas yang luar biasa keterlaluan dari mulut.

Dalam sehari, paling sedikit Martini mengolah 50 kilogram cakar, kepala, dan sayap ayam. “Kalau kurang dari itu, saya tidak berani berjualan,” ujarnya. Toh, dagangannya selalu habis tak bersisa.

Di kedai ini tidak ada bangku dan meja, lo. Alhasil, para pengunjung biasa memanfaatkan lahan taman di seberang kedai atau bergumul dengan ceker, sambil berdiri. (Dian Pitaloka Saraswati, Maria Elga Ratri/Sumber Mingguan KONTAN, Edisi 4 - 10 Maret 2013)

Sumber: Kontan
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas