Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Sate Rembiga Rasanya Khas Karena Dari Daging Sapi yang Dilepas Liar, Tanpa Pakan Pabrikan

Sate Rembiga khas Mataram, Lombok, sensasi rasanya berbeda karena bahannya dari daging sapi yang dilepas liar, tanpa pakan pabrikan.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Sate Rembiga Rasanya Khas Karena Dari Daging Sapi yang Dilepas Liar, Tanpa Pakan Pabrikan
Kompas/ Riza Fathoni
Sate rembiga khas Mataram, Nusa Tenggara Barat. 

TRIBUNNEWS.COM - Nusa Tenggara Barat dikenal sebagai ”Bumi Sejuta Sapi”. Daging sapi NTB rasanya lebih manis daripada sapi yang lain. Mari kita jajal sate di Warung Sate Rembiga di Jalan Rembiga di Mataram, Lombok, milik Hajah Sinasih.

Mengapa rasa daging sapi NTB begitu khas? ”Sapi ini dilepasliarkan di padang rumput. Sapi-sapi itu tidak dikandangkan atau diberi pakan dari pabrik, tetapi mereka merumput sendiri di padang sabana,” kata Budi Septiani, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB, mempromosikan ternak sapi di daerahnya.

Kami mencicipi manisnya sapi NTB di warung Hj Sinasih. Warung itu berada sekitar 30 meter dari pintu masuk ke Jalan Wahidin. Di sana kami menikmati sate rembiga dan semangkuk sop bebalung yang juga terbuat dari balung atau tulang-belulang sapi NTB.

Sebuah pondok dengan tempat perapian sate menyambut di bagian depan warung. Tiga perempuan dan seorang laki-laki membakar sate dan mengayun-ayunkan kipas.

Sementara tempat makan berupa warung-warung kecil lesehan yang berderet memanjang di jalan masuk menuju pelataran rumah yang disulap menjadi tempat makan. Meja dan kursi ditata selayaknya warung di pelataran rumah itu.

”Saya memang kerja sama dengan pemilik rumah itu. Bagian depan rumahnya saya pakai untuk tempat makan pembeli. Kalau Sabtu-Minggu pembeli banyak dan mereka sampai kehabisan tempat duduk,” kata Sinasih (44).

Ada 20 pegawai warung yang siang itu melayani pengunjung. Warung sate buka mulai pukul 14.00 hingga pukul 21.30. ”Setiap hari selalu ada pembeli di sini. Hari Sabtu-Minggu yang paling ramai,” ujar Dedi (25), salah satu pegawai di warung Sinasih.

BERITA REKOMENDASI

Setiap hari paling tidak 9.000 tusuk sate laku dijual di warung tersebut. Seporsi sate rembiga berisi 10 tusuk dihargai Rp 20.000. Meskipun ada juga pepes ikan tenggiri, sate ati ampela, dan sate urut, yakni sate daging sapi berbalut kelapa, pembeli paling banyak membeli sate rembiga. ”Di sini memang yang paling digemari sate rembiga. Sop bebalung dan masakan lain masih kalah,” tutur Sinasih, ibu empat anak ini.

Keutamaan bumbu

Untuk mendapatkan rasa sapi terbaik, Sinasih memilih daging segar. Dalam sehari, ia memerlukan 70-80 kilogram daging. Daging diolah dengan cara ditumbuk supaya tidak keras saat ditusuk dan empuk dinikmati. Setelah itu daging direndam selama dua jam di dalam bumbu yang diracik dari cabai merah kering, terasi, bawang putih, dan gula merah. Sinasih sendiri yang meracik bumbu satenya.

Bumbu rendaman itu penting karena memberikan rasa yang utama pada daging. Saat dihidangkan, sate rembiga sudah tidak dilengkapi dengan bumbu apa pun. Rasanya pedas dan manis di lidah. Tekstur dagingnya empuk dan ketiadaan bumbu tambahan di piring ternyata tidak menjadi kekurangan. Rasa daging sudah kuat tanpa bumbu.

Sop Bebalung


Sop bebalung menggenapi kenikmatan kuliner di NTB. Rasakan sensasinya ketika menyedot isi sumsum sapi, sruuupp... sruuuppp.... Lemak pada kuah daging terkalahkan oleh bumbunya yang khas dan segar karena ada tambahan asam dan lengkuas. Merica atau lada tidak terlalu mencolok rasanya dalam racikan bumbu sop bebalung. Bonusnya lagi, banyak daging di dalam sop, bukan hanya balung.

Sate rembiga disajikan bersama lontong bulayak, yakni lontong dengan bungkus daun aren memutar ke atas sehingga di bagian ujung hampir lancip menyerupai kerucut.

Sate rembiga biasanya dinikmati bersama lontong bulayak itu. Namun, untuk pesanan tertentu, warung Hj Sinasih juga menyediakan nasi bagi pembelinya.

Sinasih mempelajari resep sate rembiga dari Hj Nafisah, kira-kira 25 tahun atau 30 tahun lalu. Saat itu ia masih muda dan baru belajar bekerja pada orang lain. ”Dari Hj Nafisah itulah saya belajar membikin sate rembiga. Dia ketika itu punya warung sate besar,” ujarnya.

Setelah lima tahun bekerja pada Nafisah, Sinasih mencoba membuka warung sate sendiri. Tidak dinyana, warung satenya disambut antusias. Banyak pembeli datang ke warungnya yang berada di Jalan Rembiga Nomor 4, Mataram. Di lingkungan tersebut pun sebenarnya banyak orang yang berjualan sate sapi rembiga, tetapi sate Sinasih disebut-sebut punya cita rasa sendiri di lidah pembeli.

Ia mulai sering diajak pameran kuliner oleh pemerintah daerah setempat. Untuk mengembangkan bisnisnya, Sinasih mulai mencari bantuan kredit dari bank dan dukungan dari swasta. Warungnya kian banyak menerima pesanan. Tidak hanya untuk dimakan di Lombok, tetapi juga ada yang minta dikirim ke Jakarta.

”Sate ini bisa tahan lama, sampai tiga hari. Ada juga pembeli yang minta dikirim ke Jakarta melalui paket. Ada pelanggan saya dari bank yang pesan 100-200 tusuk sate untuk rapat di Jakarta,” ungkap Sinasih yang menghidupi empat anaknya sendirian sejak suaminya berpulang enam tahun lalu itu.

Dari seporsi sate rembiga milik Hj Sinasih di Lombok, kami membawa kenangan tentang rasa pedas manis sapi NTB, berikut keuletan seorang manusia. (REK/ENG/IKA/RZF)

Sumber: KOMPAS
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas