Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Perahu Korban Tsunami Aceh yang Nyangkut Rumah Ini Sengaja Tak Diturunkan, Aset Wisata Sejarah

Perahu korban tsunami yang nyangkut di sebuah atap rumah ini sengaja tak diturunkan. Didesain sebagai aset wisata sejarah.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Perahu Korban Tsunami Aceh yang Nyangkut Rumah Ini Sengaja Tak Diturunkan, Aset Wisata Sejarah
SERAMBI INDONESIA/ NURUL HAYATI
Perahu korban tsunami yang nyangkut di atap rumah didesain sebagai saksi bisu sekaligus aset wisata sejarah. 

Laporan Reporter Serambi Indonesia, Nurul Hayati

TRIBUNNNEWS.COM, BANDA ACEH - Mengunjungi situs sejarah adalah satu salah alternatif jawaban atas pencarian jatidiri dan cara menghargai sejarah itu sendiri.

Situs sejarah bisa bercerita tentang banyak hal, keberadaannya merekam peristiwa dalam ingatan.

Situs wisata sejarah boat di atas rumah Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh menyimpan kisah yang menarik untuk dikulik.

Tak hanya menarik, pembelajaran penting bagaimana memaknai kehidupan juga bisa kita dapati dari cerita yang meluncur lewat bibir para korban.

Berbuat baik kepada sesama adalah cara mereka bersyukur telah diberi kesempatan kedua untuk hidup.

Berita Rekomendasi

Saksi bisu musibah tsunami di Banda Aceh

Lampulo dikenal sebagai kampung nelayan.

Mulanya desa yang terletak di sudut kota itu dihuni oleh 6.000-an jiwa, namun usai tsunami menyapu bersih kawasan pesisir tersebut pada 26 Desember 2004 silam, hanya 1.500-an jiwa yang tersisa.

Konon ketidaktahuan akan bencana yang datang menyapa yang menjadi dalang terenggutnya ribuan nyawa.

Di balik nestapa yang merundung warga Lampulo, terselip selarik cerita tatkala sebuah kapal kayu (boat) dengan bobot 35 GT terdampar dan mendarat di atas rumah suami-istri, Misbah dan Abasiah.

Kapal nelayan dengan panjang 5 meter dan lebar 5,5 meter itu sedang dalam proses perbaikan dan berada di bibir Krueng Aceh.

Kapal berbobot 20 ton itu sedianya pada Minggu kelabu itu berlayar kembali di sungai untuk menuju ke Lhoknga, Aceh Besar guna diisi pukat.

Namun badai tsunami menyeretnya hingga 1 Km dan keberadaannya telah menyelamatkan 59 nyawa.

“Konon setelah mereka yang berkesempatan naik ke dalam boat tersebut tidak melihat bahwa ketika air sudah mulai agak surut di bawah kapal kayu tersebut ada buaya yang lumayan besar,” demikian dituturkan kakak Abasiah yang saat peristiwa itu terjadi berada di lantai 2 rumahnya yang berhadapan langsung dengan kediaman Misbah-Abasiah.

Perahu Korban Tsunami yang Jadi Destinasi Wisata

Dua tahun usai mahaduka itu terjadi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengganti rugi lahan dan rumah keluarga Misbah-Abasiah serta boat nelayan.

Kini boat (perahu) yang telah menyelamatkan puluhan warga setempat disulap menjadi objek wisata.

Pun begitu demi sebuah kenyamanan hingga sekarang pembangunan terus dilakukan. Pemugaran dilakukan tanpa mengubah wujud aslinya.

Sementara fasilitas pendukung seperti keberadaan mushala lengkap dengan kamar kecil menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar.

Hal ini mengingat pengunjung yang datang dari berbagai pelosok negeri hingga negeri jiran.

Setiap harinya tak kurang 400 pengunjung membanjiri situs wisata sejarah yang terletak di Jalan Tanjung tersebut.

Berada sekitar 1 Km dari jantung Kota Banda Aceh, Lampulo menelusup di antara hiruk pikuk ibu kota provinsi.

Letaknya yang tersembunyi di sudut kota memburatkan pemandangan khas kampung nelayan.

Jejeran kapal tradisional milik nelayan setempat tertambat di bibir Krueng Aceh.

Di tepian sungai tampak para nelayan sedang lesehan menjalin temali untuk dijadikan jaring.

Naik Becak Motor, Oke Juga!

Kantor pemuka adat yang diberi nama Pawang Laot serta keberadaan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) menegaskan keberadaan Lampulo sebagai kampung nelayan kesohor di kota itu.

Dari situlah gerbang menuju ke situs tsunami ‘Boat di Atas Rumah’ bertengger.

Namun tak perlu khawatir, meskipun berjuluk kampung nelayan dan terletak di sudut kota, akses menuju situs wisata tersebut terbilang mudah.

Ada banyak becak motor dan juga labi-labi (sudako) yang wara-wiri menuju Lampulo.

Cukup merogoh kocek lima ribuan – sepuluh ribuan rupiah per orang angkutan umum tersebut akan membawa anda sampai ke Lampulo.

Anda bisa memilih penginapan yang terletak di seputaran Peunayong, Jantung kota Banda Aceh yang hanya terpaut sekitar 1 Km.

Pilihan Penginapan

Penginapan mulai dari wisma hingga hotel menawarkan tarif beragam, mulai dari ratusan ribu rupiah.

Kota Banda Aceh sendiri terletak sekitar belasan Km dari Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) atau yang dikenal dengan Bandara Blang Bintang, Aceh Besar.

Damri menjadi pilihan angkutan darat yang murah, aman, dan nyaman.

Hanya butuh waktu tak lebih dari setengah jam menuju pusat kota karena provinsi paling ujung barat Indonesia tersebut bukanlah kota yang padat merayap oleh lautan kendaraan.

Begitu menginjakkan kaki di lokasi serpihan tsunami yang tersisa di pesisir Aceh itu, selasar berkontur landai yang diapit oleh tembok setinggi sekitar 1 meter sepanjang 10 meter mengantarkan pengunjung ke anak tangga besi menuju ke atas boat.

Seorang pemandu siap mendampingi dan memaparkan nestapa yang merundung kampung nelayan itu.

Serambi yang menyambangi situs tsunami tersebut pada Sabtu (16/5) mendapati tembok rumah yang menganga di mana-mana diterjang badai.

Cat berwarna putih kusam ditingkap coretan di sana sini menegaskan kondisi sebenarnya.

Wajah bangunan yang diamuk badai tersebut juga nyata membayang pada kondisi dapur, lantai, tangga, dan ruangan lainnya yang tentu saja sudah tak lagi berwajah layaknya sebuah rumah.

Langit yang menjadi tenda biru raksasa menaungi rumah yang diubah menjadi situs wisata. Sebagian dari atap seng sudah copot saat peristiwa yang sudah berumur 1 dekade itu terjadi.

Sementara kondisi kapal dipugar dengan cara dicat kembali sesuai dengan warna aslinya.

Permainan warna putih, abu-abu dengan aksen merah membalut badan boat.

Sementara sebuah prasasti dan pamplet menancap di sisi muka dan samping boat.

Sebuah etalase kaca berwujud majalah dinding memajang foto yang dilengkapi secuil riwayat peristiwa yang ditulis dalam dua bahasa, Indonesia-Inggris.

Untuk mendapatkan foto-foto yang bercerita seputar mahaduka yang telah meluluh lantakkan kampung nelayan tersebut, silahkan menapaki tangga menuju lantai 2.

Di situ jejeran foto menjawab rasa ingin tahu pengunjung terhadap dampak gempa dan tsunami terhebat sepanjang 40 tahunan terakhir.

Untuk mengetahui cerita lebih lanjut, warga setempat yang turut menjadi korban akan dengan senang berbagi cerita dengan anda.

Tentu saja tanpa iming-iming ini-itu.

Mereka orang-orang sederhana yang ingin sekedar menuturkan kisah agar manusia lainnya turut mereguk hikmah dari pengalaman yang dirasakannya.

Tentu saja pengunjung akan merasakan pengalaman berbeda dari cerita yang meluncur langsung lewat bibir korban.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas