Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto, Tempat Para Pengidola Pak Harto Berduyun-duyun Datang
Anda mengidola sosok mendiang mantan Presiden Soeharto? Kalau iya, wajib hukumnya datang ke Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto di Bantul.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Reporter Tribun Jogja, Hamim Thohari
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, tentunya banyak cerita yang ditinggalkan oleh mendiang mantan Presiden kedua Indonesia, Soeharto.
Untuk mengenang kehidupan dan sepak terjang Bapak Pembangunan tersebut, pihak keluarga membangun sebuah museum yang diresmikan pada tanggal 8 Juni 2013 yang lalu.
Museum tersebut bernama Memorial Jenderal Besar HM Soeharto yang merupakan sebuah tempat seluas 3.620 meter persegi, dimana terdapat koleksi memoar tentang mantan presiden Soeharto.
Bangunan ini terletak di dusun Kemusuk, Kelurahan Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul.
Museum ini didirikan untuk mengenang jasa dan pengabdian Pak Harto semasa hidupnya untuk bangsa Indonesia.
Di museum ini dipajang berbagai prestasinya semasa menjabat sebagai berkarier di dunia militer, dan Presiden RI selama 32 tahun.
Memorial ini dibangun oleh Probosutedjo (adik Soeharto).
Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto tampak depan (Tribun Jogja/ Hamim Tohari)
Memasuki komplek memorial pengunjung akan disambut dengan patung Jenderal Soeharto yang berdiri gagah memunggungi sebuah bangunan joglo seluas 600m persegi.
Lalu ada patung-patung Pak Harto lain, seperti patung yang menghadap masjid di komplek museum, patung Pak Harto di pendopo, serta patung Pak Harto yang sedang salat di sisi utara gedung deodrama.
Diorama
Disamping kiri joglo terdapat sebuah ruangan diorama yang berisi penjelasan mengenai sosok Soeharto dari lahir hingga wafat.
Diorama didesain dengan sentuhan modern. Pintu masuk terbuka secara otomatis, menyajikan rekaman masa kepemimpinan Pak Harto selama 32 tahun di Indonesia.
Begitu memasuki ruang diorama pengunjung akan disuguhi berbagai kecanggihan teknik audio-visual.
Ruangan ini didesain dengan teknologi interaktif yang dioperasikan dengan hanya menyentuh tombol navigasi yang diinginkan.
Pengunjung melihat-lihat dokumentasi foto di Museum Memorial Jenderal Besar Soeharto (Tribun Jogja/ Hamim Tohari)
Semakin dalam dan berkelok memasuki museum, nuansa kepemimpinan Pak Harto kian kental terasa. Foto-foto Pak Harto maupun rekaman sejarah beliau disajikan secara digital di setiap sudut ruangan dan ikut membawa kita pada zaman beliau.
Di bagian tengah gedung diorama, disajikan dengan cerita seputar Gerakan 30 September yang menewaskan beberapa orang jenderal di Indonesia tahun 1965.
Para korban ini termasuk pula Ade Irma Suryani Nasution, anak seorang jenderal yang ikut terbunuh, meski sang ayah selamat dari peristiwa itu. Inilah sensasi yang kami rasakan di Museum Pak Harto, sensasi memperingati G 30 S.
Cukup sentuh dan berbagai penjelasan mengenai Pak Harto akan muncul.
Ruangan ini terbagi menjadi lima selasar, yakni selasar A berisi kilas balik tokoh ini, Selasar B yang menjelaskan keterlibatan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kemudian Selasar C Trikora, Selasar D Penumpasan G30SPKI dan terakhir Selasar E memperlihatkan masa pembangunan Soeharto yang terkenal dengan program Repelitanya ini.
Di area memorial ini terdapat beberapa bangunan, terdiriri dari bangunan joglo, Rumah Notosudiro (eyang buyut Soeharto), rumah Atmosudiro (eyang Soeharto) yang dijadikan bangunan diorama, dan sebuah petilasan tempat lahir Soeharto.
Pengunjung Makin Banyak
Suka atau tidak suka pada sosok Pak Harto itu wajar. Tapi yang jelas, pengelola museum, Gatot Nugroho menyatakan meski baru dua tahun berdiri, menurutnya museum ini telah mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat.
Ia menerangkan pada tahun 2013 tercatat ada 167 ribu jumlah pengunjung dalam setahun, sedangkanpada tahun 2014 melonjak jadi 268 ribu pengunjung dalam setahun.
“Kalau dirata-rata, sekarang sehari bisa ada 800 pengunjung, bandingkan dengan museum yang ada di Jogja seperti monjali itu sekitar 300 ribu pengunjung dalam setahun, berarti kita museum baru yang benar-benar antusiasme pengunjungnya banyak,” terangnya.
Meski begitu, Gatot mengaku Museum Soeharto tidak menomor satukan banyak sedikitnya jumlah pengunjung namun tersampaikannya pesan tentang sosok Pak Harto kepada pengunjung yang menjadi tujuan utama.
“Kami lebih senang kalau pengunjungnya anak-anak sekolah untuk syiar pendidikan,” ujarnya.
Mengenai jumlah pengunjung Museum Soeharto yang terus meningkat, Gatot beranggapan hal tersebut tidak terlepas dari banyaknya masyarakat yang masih merindukan sosok Pak Harto.
“Saya punya pengunjung dari berbagai macam lapisan masyarakat yang kangen sama masa kepemimpinan Pak Harto, orang-orang berduyun ke sini karena mereka pengagum Pak Harto, karena mereka ingin pemerintah saat ini seperti zaman Pak Harto dalam hal kesejahteraannya,” ungkapnya.
Pesan Adik Pak Harto
Sementara itu, adik Pak Harto, Probosutedjo sebagai penggagas berdirinya Musium Soeharto ketika ditemui di rumah Notosudiro menjelaskan bahwa tujuan pendirian museum ini adalah agar masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah mengenai mantan Presiden Soeharto.
“Saya dulu kan guru sejarah, saya ingin agar rakyat ingat sejarah di Indonesia, supaya rakyat mengingat jasa-jasa dari pemimpinnya yang betul-betul memikirkan rakyat,” jelasnya.
Probosutedjo menegaskan pembangunan museum ini semua dibiayainya tanpa ada bantuan pemerintah ataupun uang peninggalan Pak Harto. Ia juga menolak jika musium ini dikomersilkan, maka tidak heran ketika kita masuk tidak perlu membayar karcis dan hanya sekedar membayar parkir kendaraan.
Museum tersebut terletak di sebelah barat pusat kota Yogyakarta. Jika anda dari pusat kota Yogyakarta dan akan menuju lokasi museum bisa melalui jalan Wates ke arah timur.
Setelah mencapai kilometer ke 10 (sebelum Universitas Mercubuana Yogyakarta) terdapat sebuah perempatan dan beloklah ke utara. Kemudian lurus melewati rel kereta api, ada pertigaan, beloklah ke arah timur atau kanan. Beberapa meter dari pertigaan itu sudah tampak kompleks Museum Pak Harto sebelah utara jalan.