Menjelajahi Gampong Pande, Dua Pedang VOC dan Titik Nol Banda Aceh
Kuta Raja, kotanya para raja itu kini telah menapaki usia 810.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Serambi Indonesia/Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Nisan-nisan itu membisu.
Menyisakan jejak raja diraja kerajaan Aceh yang sudah berkalang tanah.
Kuta Raja, kotanya para raja itu kini telah menapaki usia 810.
Adalah Gampong Pande, sebuah desa yang hanya terpaut sekitar 1 Km dari jantung kota yang menjadi cikal bakal kota yang kini berganti nama menjadi Banda Aceh.
Kompleks Makam Tuan di Kandang, Putro Ijo, dan Kompleks Makam Raja-Raja Gampong Pande menjadi tempat peristirahatan terakhir yang mengingatkan akan kemasyhuran Kerajaan Aceh pada masa lampau.
Tsunami yang meluluh-lantakkan Aceh pada pengujung 2004 telah mengubur sebagian bukti sejarah desa yang pada masa itu dikenal sebagai perajin emas dan pandai besi.
Manuskrib kuno hingga bangunan yang telah ada berabad abad lampau lenyap ditelan tsunami.
Kini jejak kegemilangan yang mencapai puncaknya pada masa kesultanan Iskandar Muda itu sesekali masih menyilaukan sinarnya melalui temuan koin emas, porselen, hingga pedang VOC yang menggegerkan Aceh dan dunia arkeologis.
Koin emas dirham peninggalan Kesultanan Iskandar Muda di Gampong Pande Banda Aceh. (Foto-foto Serambi Indonesia/Nurul Hayati)
“Tuan di Kandang datang dari Baghdad pada 1116 Masehi bersama 500 orang rombongan dan berlabuh di Pantai Cermin. Ia datang dengan tujuan menyebarkan agama yang pada masa itu Aceh masih animisme (kepercayaan). Ia diberi tempat untuk menyebarkan agama untuk ahli tafsir, tahfidz, dan tassawuf,” ujar tokoh masyarakat Gampong Pande, Sayyid Zulkarnain Alaydrus.
Ia menerangkan, jejak Tuan di Kandang atau yang bernama lengkap Al Makhdum Abi Abdullah Syaikh Abdurrauf Al-Mulaqqab terlihat dari kompleks pesantren berupa pondasi masjid, sumur tua yang mata airnya tak pernah mengering, dan ruangan untuk khalwat para sufi.
Menurut warga Gampong Pande lainnya, Ardian Yahya Kerajaan Aceh berdiri dengan sultan pertama yaitu anak Tuan di Kandang bernama Sultan Djohan Syah pada tahun 1205 masehi.
Sebelumnya yang ada adalah Kerajaan Lamuri.
Jejak rekam pembawa syiar Islam itu sejak dua tahun belakangan menjadi agenda wajib Pemerintah Kota untuk melakukan napak tilas sejak ditetapkannya Gampong Pande sebagai titik nol Banda Aceh.
Tugu Titik Nol Banda Aceh.
Riwayat Gampong Pande
Dalam ‘kacamata’ sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, sesuatu baru bisa dikatakan sejarah apabila tercatat (mempunyai dokumen).
Terkait dengan keberadaan Gampong Pande, menurut dia, banyak cerita rakyat yang kini berkembang menjadi legenda hidup.
Walaupun berakar dari fakta, namun tidak sedikit yang dibumbui untuk menambah gurih cerita.
Masyarakat yang berdiam di situ pun menganggapnya sebagai kebenaran sejarah.
“Dinamai Gampong Pande karena warganya pandai bertukang. Selain itu ada juga warga Turki yang berdiam di perkampungan Turki di Aceh yaitu Emperom yang pandai bertukang dan bekerja ke Gampong Pande. Empe sama dengan empu dalam bahasa Jawa yang berarti ahli pertukangan,” kata Rusdi.
Rusdi Sufi memaparkan hubungan Turki dengan Aceh sudah terjalin sejak abad ke-16 yaitu pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahar.
Kerajaan Turki Utsmani membantu Aceh dengan peralatan perang berupa meriam dalam melawan Portugis yang masuk melalui Selat Malaka.
Sementara kisah Putro Ijo maupun Putro Neng, masih berbau legenda atau hanya cerita rakyat.
Pemeliharan Situs Sejarah
Selain menetapkannya sebagai kawasan cagar budaya, menurut Rusdi, pemerintah juga harus membuat aturan untuk melindungi benda-benda peninggalan sejarah dengan cara menyosialisasikan UU RI Nomor 11 Tahun 2010 tersebut, serta memberi jerih kepada penemunya agar benda tersebut bisa dikembalikan ke negara.
“Baru-baru ini ditemukan peta Aceh di Rio De Jenairo Brasil, umurnya sudah sangat tua. Untuk itu perlu adanya penelitian arkeologis terkait dengan hal itu, begitu juga halnya dengan situs-situs Gampong Pande. Di situ sepatutnya dibangun museum seperti Museum Trowulan Mojekerto Jawa Timur yang merupakan jejak Kerajaan Majapahit,” kata Rusdi.
Wajah Gampong Pande Masa Kini
Saat ini desa yang dikelilingi tambak itu dihuni sekitar 200-an kepala keluaraga dengan areal seluas 180 hektare.
Tatkala Kuta Raja menjelma menjadi kota urban bernama Banda Aceh, penduduk Gampong Pande kebanyakan adalah petani tambak.
Makam Tuan di Kandang.
Sementara para perempuannya adalah produsen rokok kawung.
Alam dan segenap isi di dalamnya menjadi sahabat terbaik mereka.
Saat Aceh disapu tsunami, puluhan hektare tambak berubah menjadi lahan tidur, begitu pula spesies di dalamnya, yaitu pohon nipah sebagai bahan baku rokok kawung.
Dua sektor usaha yang telah mengepulkan asap dapur sekitar 600-an warga setempat.
“Kalau sekarang warga di sini kebanyakan kerja serabutan, ada yang melaut dan berdagang,” cerita Nova (29), warga asal Meulaboh yang sudah lima tahun menetap di sini.
Di desa yang oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banda Aceh ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya tersimpan dua bilah pedang VOC dan makam-makam yang tidak terawat usai diterjang tsunami.
Sementara koin emas telah lama berpindah tangan dan diperjualbelikan ke luar.
Menurut Kepala Desa Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh, Amiruddin baik mata uang Aceh tempo dulu berupa dirham maupun keramik guci atau porselen peninggalan Dinasti Ming banyak diincar hingga kini.
Kawasan yang sejak 2010 ditetapkan sebagai situs cagar budaya itu sekarang terbuka untuk umum dan cocok dijadikan sebagai wisata sejarah.
Anda bisa datang kapan saja dan tanpa dipungut biaya apapun.
Situs-situs sejarah membisu, menampilkan wajah lain kota Banda Aceh.
Menelusuri Gampong Pande, kita diajak berkelana menengok kembali gemilang Aceh tempo dulu.
Sepanjang logam itu bergemerincing, sepanjang itulah jantung ekonomi berdetak dan gemilang kejayaan memancarkan kemilaunya.