Menengok Kampung Pecinan di Aceh, Jejak Laksamana Cheng Ho
Sekitar 1.000-an KK atau 4.000-an orang etnis Tionghoa dari empat suku yaitu Hakka, Hainan, Konghu, dan Tio-Ciu menjadi jejak sang laksamana.
Editor: Mohamad Yoenus
Yayasan Hakka sendiri merupakan perkumpulan Tionghoa lintas suku dan agama.
Peunayong semakin menegaskan identitasnya sebagai Kampung Pecinan tatkala menyambut Imlek baru-baru ini.
Gapura dilengkapi lampion-lampion bergelantung memenuhi kanopi Gang Pasar Jalan WR Supratman.
Semburat warna merah menyala bertabur kuning keemasan terlihat mencolok dengan kondisi bangunan tua yang mengapit gang sempit itu.
Tulisan kanji menyisip pada puluhan lampu khas Negeri Tirai Bambu.
Di negeri asalnya Cina dan di mana pun etnis itu bermukim, lampion merupakan dekorasi wajib.
Begitu halnya dengan atraksi barongsai yang kerab mengisi hari-hari besar, termasuk memeriahkan HUT Kota Banda Aceh.
Ketika hiruk pikuk politik tak henti bergaung dan isu antar agama santer bergema.
Di jantung Kota Banda Aceh bernama Peunayong, masyarakat pribumi dengan kaum bermata sipit itu malah semakin mesra mempertontonkan kebersamaan.
Tengoklah kedai-kedai yang berjejal di kiri kanan gang milik toke Tionghoa, emperannya dipenuhi pedagang pribumi yang dulunya menempati sisi Jalan Kartini.
Jika etnis Tionghoa khusus membuka kedainya menawarkan aneka menu sarapan, maka warga pribumi memenuhi kaki lima untuk menjajakan makanan mentah berupa sayur mayur dan buah-buahan.
Di bawah kolong kanopi yang mengapit gang sempit itu, bersama mereka mengais rezeki.
Cukup memakai jasa becak motor atau bersepeda ria, para pelancong sudah bisa keliling menikmati kekhasan Kampung Pecinan ala ‘Bumi Serambi Mekkah’.
Jika ingin menginap, maka hotel kelas melati maupun wisma mulai rate Rp 150.000 bertebaran di Peunayong.