Menaklukkan Pulau Rondo-Sabang, Pulau Mati Hunian Piton
Pulau Rondo sendiri berjarak sekitar 15 mil laut dari Kota Sabang (Pulau Weh) dan berbatasan dengan Pulau Nikobar, India.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Pulau Rondo adalah salah satu pulau terluar di ujung barat nusantara.
Pulau seluas 42 hektare (Ha) berada di wilayah administratif Kecamatan Sukakarya Kota Sabang.
Empat pulau lainnya yaitu Pulau Weh, Rubiah, Seulako, dan Pulau Klah.
Pulau Weh merupakan satu-satunya pulau terluar di ujung barat Indonesia yang berpenghuni.
Pulau Rondo sendiri berjarak sekitar 15 mil laut dari Kota Sabang (Pulau Weh) dan berbatasan dengan Pulau Nikobar, India.
Pulau ini menjadi titik terakhir teritorial darat Indonesia yang langsung berbatasan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Tugu Nol Kilometer. (Serambi Indonesia)
Di tempat ini TNI menempatkan puluhan anggotanya untuk menjaga setiap jengkal ibu pertiwi sebagai harga mati.
Wartawan Serambi Indonesia, Subur Dani berkesempatan menjejakkan kaki di Pulau Rondo pada pengujung Mei 2015.
Ia bersama tujuh awak media lain ikut bersama rombongan Panglima TNI, Jenderal TNI Dr Moeldoko dan Muspika Sabang meresmikan monumen Teuku Umar.
Monumen yang menampilkan sosok pahlawan nasional asal Tanah Rencong sebagai simbol ‘penjaga’ wilayah teritorial NKRI.
Perjalanan dimulai dengan menggunanakan kapal cepat milik TNI melalui Pelabuhan Ulee Lheu, Banda Aceh.
Pelayaran memakan waktu dua jam sebelum akhirnya berlabuh di dermaga Pulo Rondo.
Rombongan merapat ke dermaga Pulo Rondo. (Serambi Indonesia)
Tak mudah berlayar ke pulau terluar itu karena di situlah pertemuan Selat Malaka dengan Samudera Hindia.
Ombak bergulung-gulung dengan ketinggian hingga 3 meter dan menjadi awal dari petualangan yang sesungguhnya.
“Pulau Rondo tak punya bibir pantai sehingga mendekati daratan kami diturunkan dari atas kapal naik ke sekoci. Dari situ berpindah ke drum yang diikat dan ditarik oleh TNI dari daratan,” ujar Subur Dani mengawali kisahnya.
Ia bersama rombongan akhirnya menjejakkan kaki di Pulau Rondo, pulau yang menyerupai tempurung dengan struktur cadas dan batuan karang.
Nama Pulau Rondo sendiri diambil dari Bahasa Jawa yang bermakna Pulau Janda.
Rombongan merapat ke dermaga Pulo Rondo. (Serambi Indonesia)
Rombongan disambut oleh 500 anak tangga yang akan mengantarkan mereka ke puncak daratan.
Tak mudah menapaki anak tangga curam dan berliku. Apalagi anak tangga beton itu mencapai ratusan dan semakin membuat perjalanan terasa berat.
Di setiap tikungan tangga tertulis kata-kata seperti ‘Lewati 150 anak tangga, kuatkan lututmu anak muda’ atau tulisan berbunyi ‘Surga Pulau Rondo 100 anak tangga lagi’.
Kesemuanya merupakan torehan tangan milik TNI ‘tuan rumah’ sang penjaga Pulau Rondo.
Subur tak menampik bahwa medan Pulau Rondo membuat badan mengalami ‘syok terapi’, pulau ini hanya cocok untuk aparat TNI yang sudah terlatih.
Di puncak Pulau Rondo terdapat 4 unit rumah masing-masing seluas 4x5 meter yang dihuni oleh navigator.
Satu rumah dalam keadaan kosong dan diperuntukkan bagi tamu yang berkunjung.
Selain itu terdapat juga kamp TNI dan helipad.
Sebuah menara suar dengan ketinggian 20 meter dan terbagi atas 8 blok berdiri gagah di puncak Pulau Rondo.
Menara itu menjadi traffict ligt bagi kapal-kapal yang sedang berlayar di ZEE.
Menurun dari puncak daratan, terdapat tugu nol kilometer yang menjadi batas teritorial darat Indonesia.
Namun untuk bermalam, kata Subur, memilih tidur di teras rumah dengan memakai sleeping bag.
Pertimbangannya mengingat hawa panas yang membekap Pulau Rondo serta aman dari belitan ular yang kerab menyambangi.
Telah sekian lama ular jenis piton menjadi teman bagi puluhan anggota pasukan pengamanan pulau terluar di tempat itu.
Pergantian pasukan biasanya dilakukan setiap 3–9 bulan sekali yang terdiri dari 24 marinir dan 10 rider.
“Pasukan yang bertugas telah menerima pesan dari pasukan sebelumnya agar tak mengganggu ular-ular itu. Biasanya jika kita melihat banyak tikus di sekeliling kita itu tandanya di sekitar situ ada ular,” ujar Subur.
Pulau Rondo tak ubahnya ‘pulau mati’.
Mereka yang berdiam di dalamnya bergelut dengan bagaimana cara untuk bertahan hidup, bersahabat dengan alam yang melingkupinya.
Permasalahan terbesar adalah ketiadaan air bersih sehingga harus dipasok dari Pulau Weh, Sabang.
Jika pasokan tidak datang setiap bulannya seperti yang dijadwalkan, maka pasukan di tapal batas itu menampung air hujan.
Keterbatasan air memaksa mereka menggunakan dengan bijak sehingga hanya diperuntukkan khusus untuk minum dan wudu.
Sedangkan untuk mandi dan mencuci harus menuruni 500 anak tangga menuju laut.
Bisa dibayangkan usai mandi air laut, tubuh akan mandi keringat menapaki 500 anak tangga kembali ke markas.
“Pengalaman tak terlupakan adalah ketika urusan BAB dan mandi saja harus ke laut. Makan nasi pakai alas daun pisang dan beli sebungkus rokok seharga Rp 50.000 sama navigator,” ujar Subur sambil terkekeh.
Rombongan ini menghabiskan waktu 3 hari 4 malam di Pulau Rondo.
Waktu yang terasa panjang sekaligus tak terlupakan di sebuah pulau terpencil.
Perasaan ngeri-ngeri sedap mengiringi hingga rombongan beranjak pulang.
Tatkala Ketua MAA Kota Sabang yang hendak naik ke kapal menggunakan drum dari darat, malah tercebur ke laut.
Berhubung kapal komando bermuatan barang, Subur dan kawan-kawan pun dialihkan ke Kapal Antares.
Karena alasan keseimbangan pula, kapal yang lebih mirip perahu nelayan yang mereka tumpangi terombang ambing dalam hempasan ombak yang berdebur di pertemuan perairan Samudera Hindia dan Selat Malaka.
Prajurit TNI menyambung nyawa menjaga keutuhan NKRI, bahkan di ‘pulau mati’.
Menjaga keutuhan setiap jengkal ibu pertiwi seperti yang dinukilkan dalam lirik: Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau/sambung menyambung menjadi satu/itulah Indonesia.