Wisata Budaya Siallagan di Samosir, Mulai Rumah Adat Hingga Kursi Eksekusi
Memasuki Gapura yang bertuliskan Huta Siallagan, wisatawan bak disambut untuk menyusuri apa-apa saja yang menjadi kekayaan budaya marga Siallagan.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribun Medan/Silfa Humairah
TRIBUNNEWS.COM, SAMOSIR - Bagi wisatawan yang tertarik terhadap wisata sejarah dan budaya di Sumatera Utara, Perjalanan ke Kampung Siallagan atau Huta Siallagan yang terletak di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir menjadi tempat yang tidak boleh dilewatkan.
Memasuki Gapura yang bertuliskan Huta Siallagan, wisatawan bak disambut untuk menyusuri apa-apa saja yang menjadi kekayaan budaya marga Siallagan. (Tribun Medan/Silfa)
Tidak jauh dari Tuktuk, atau sekitar 15 menit dari objek wisata yang cukup terkenal di Samosir. Wisatawan dapat melihat kekayaan budaya masyarakat Siallagan yang cukup legendaris, yakni Batu Kursi Raja Siallagan "Stone Chair Of King Siallagan".
Di sana wisatawan akan melihat bebatuan yang dibentuk dan menjadi kursi raja, kursi persidangan dan batu eksekusi di zaman kerajaan Siallagan.
Memasuki Gapura yang bertuliskan Huta Siallagan, wisatawan bak disambut untuk menyusuri apa-apa saja yang menjadi kekayaan budaya marga Siallagan.
Huta Siallagan dikelilingi tembok batu tersusun rapi setinggi sekitar 2 meter.
Mata akan terbelalak melihat bagaimana perkampungan ini dijaga dengan dikelilingi batu-batu besar disusun bertingkat secara rapi.
Guide, Romandi, menuturkan dulunya tembok tersebut juga dilengkapi bambu dan benteng yang berfungsi untuk menjaga perkampungan dari gangguan binatang buas maupun serangan suku lain.
"Perkampungan ini dibangun pada masa raja huta pertama yaitu Raja Laga Siallagan. Kemudian diwariskan kepada Raja Hendrik Siallagan dan seterusnya hingga keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Huta Siallagan sejak dahulu dihuni marga Siallagan," katanya.
Ia menambahkan keturunan Raja Siallagan sekarang masih tinggal di seputaran Desa Ambarita dan beberapa makam keturunannya pun juga bisa ditemukan di tempat ini.
Sepanjang mata memandang, wisatawan akan melihat 8 rumah batak, dengan khas rumah panggung dengan warna corak batak yang didominasi merah dan hitam.
Rumah tersebut masih kokoh walaupun berusia ratusan tahun. Walaupun rumah tua, rumah tersebut masih difungsikan.
Ada rumah raja untuk barang bersejarah, adapula rumah keluarga raja yang kini masih dihuni keluarga Siallagan dan ada sebagai tempat pemasungan yang kini dipagari untuk tontonan pameran kebudayaan Siallagan.
Ada juga pohon yang sangat besar dan sudah berumur ratusan tahun tentunya sejak adanya perkampungan Siallagan ini.
Tepat dibawah pohon besar, terdapat batu-batu berbentuk kursi yang mengelilingi meja batu, yang disebut sebagai Batu Persidangan.
Tempat untuk mengadili para pelaku kejahatan atau pelanggar hukum adat.
Menurut Romandi, ada 2 lokasi batu persidangan, pertama yang dibawah pohon besar, kursi untuk penentuan bersalah atau tidaknya pelaku kejahatan.
Batu persidangan kedua, tidak jauh dari lokasi pasar Siallagan, batu persidangan untuk mengeksekusi orang yang benar-benar terbukti bersalah, dengan hukuman Pancung.
Romandi menuturkan wisatawan direkomendasikan datang di hari libur atau weekend karena biasanya tourguide akan menceritakan cerita tentang Batu persidangan di masa dulu.
"Kemudian, wisatawan juga akan diajak menari tor-tor bersama, dengan dendangan musik tor-tor khas Sumatera Utara, lengkap dengan gendang yang akan dimainkan pemain musik yang juga warga sekitar.
Biasanya bukan hanya wisatawan lokal yang antusias menari wisatawan luar negeri juga semangat," katanya.
Arsita, pengunjung menuturkan, wisata budaya Siallagan sangat menarik, bukan saja mengenai batu persidangan, tapi juga rumah adat dan rumah pemasungan.
"Semuanya terawat walaupun sudah berusia tahun, warga sekitar juga masih sangat menjaga budaya dengan banyaknya yang masih memakai ulos di kepala dan dibahu," katanya.