Aksi Para Joki Cilik Memacu Kuda di Dataran Tinggi Aceh
Pacuan kuda yang telah bertahun-tahun menjadi olahraga rakyat.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - Dataran tinggi Aceh yang membentang sepanjang Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues menyimpan kekayaan budaya dan alam yang mempesona.
Tari Saman dan perkebunan kopi adalah dua di antara khazanah yang dimiliki kawasan tersebut.
Gaungnya telah bergema hingga ke penjuru dunia.
Kondisi geografis itu juga mempengaruhi adat dan tradisi yang tumbuh di dalamnya.
Seperti halnya pacuan kuda yang telah bertahun-tahun menjadi olahraga rakyat.
Menjadi hiburan rakyat sekaligus daya tarik pariwisata bermagnet tinggi.
Para joki cilik saat memacu kuda di Takengon Aceh. (Dok Disbudpar Aceh)
Atraksi Pacuan Kuda
Perhelatan hari jadi Kota Dingin, Takengon pun tak terasa lengkap tanpa atraksi pacuan kuda.
Seperti HUT ke-438 Takengon baru-baru ini, perayaan hari jadi kota itu lazim digelar selama tujuh hari berturut-turut.
Olahraga rakyat itu pun menempati tempat khusus di hati warganya.
Tak kurang seribuan warga tumpah ruah menonton aksi kuda yang ditunggangi joki.
Istimewanya pacuan kuda tradisional tersebut tanpa pelana dengan penunggang joki cilik.
Sebanyak 352 kuda dari Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues diboyong ke arena.
Warga dari tiga kabupaten serta dari belahan Aceh lainnya mengalir ke Lapangan Blang Babengka, Kecamatan Pegasing. Tempat acara dihelat.
Tak tanggung-tanggung perayaan hari jadi selama sepekan itu membuat para penontong memilih untuk bermalam di kota itu.
Menjelang babak final atau memasuki hari kedua terakhir, arena akan menjadi lautan manusia.
Aksi joki cilik saat memacu kuda di Takengon Aceh. (Dok Disbudpar Aceh)
Sementara itu setelah pembukaan, puluhan kuda langsung dipertandingkan dalam beberapa ronde dengan sistem gugur.
Sedangkan di lapangan, sebagian besar para pemilik kuda dan undangan memenuhi arena.
Di sudut lain lain ratusan pedagang memanfaatkan momen dengan menjajakan dagangannya.
“Ini merupakan pagelaran budaya rutin, tetapi tanpa pacuan kuda sepertinya Takengon tak meriah. Jumlah kuda yang diikutkan dalam perlombaan meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Ketua Panitia, Drs Amir Hamzah MM yang juga sebagai Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Aceh Tengah pada perayaan HUT ke-438 kabupaten itu, (23/3/2015).
Selain kuda dari 3 kabupaten di dataran tinggi tersebut, terdapat juga 32 ekor kuda Pordasi Aceh yang turut unjuk ketangguhan.
Amir yang juga Ketua Umum Pacuan Kuda Tradisional menyatakan untuk menambah kualitas perlombaan, pihaknya telah menunjuk tim teknis guna mengukur berat dan tinggi kuda, guna menentukan kelas yang akan diikuti.
Aksi joki cilik saat memacu kuda di Takengon Aceh. (Dok Disbudpar Aceh)
Lokasi dan Waktu
Takengon berasal dari bahasa Aceh ‘tikungan’ yang berarti kelokan.
Dinamai demikian karena untuk menuju ke kota kecil ini harus melewati tanjakan perbukitan dan menelusuri lereng-lereng gunung dengan jalan berkelok-kelok yang terjal dan curam.
Pepohonan lebat memeluk kawasan sepanjang jalan yang membutuhkan waktu sekitar 8 jam perjalanan darat dari ibu kota provinsi, Banda Aceh.
Anda tinggal menyusuri Jalan Nasional Banda Aceh-Medan, setiba di Kabupaten Bireuen lalu berbelok ke arah Kecamatan Juli yang menjadi pintu masuk ke kawasan dataran tinggi Aceh.
Meskipun kondisi jalan sudah mulus teraspal, namun tidak disarankan berkunjung kemari pada musim penghujan karena perbukitannya rawan longsor.
Joki cilik dan kuda Aceh. (Dok Disbudpar Aceh)
Selain pada perayaan HUT Takengon yang jatuh pada Bulan Maret, waktu yang tepat berkunjung adalah pada pertengahan Agustus yang bertepatan dengan HUT RI.
Kota berhawa dingin dengan letak 1.200 mil di atas permukaan laut itu tak penah absen menyuguhkan atraksi budaya pacuan kuda pada momen tersebut.
Disbudpar Aceh pun telah memasukkan pacuan kuda dalam kalender even tahunannya sebagai salah satu wisata unggulan.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Reza Fahlevi optimis olahraga rakyat yang mengakar dari tradisi tersebut akan menjadi magnet wisata.
Apalagi kemolekan paras dataran tinggi seperti pegunungan dan danau Laut Tawar akan membuat pelancong terkesima menengok wajah lain dari bentang alam Aceh.
Hawa dingin yang membekap serta kultur yang hidup di dalamnya menyuguhkan pengalaman berbeda dibanding saat kita menjejakkan kaki di belahan Aceh lainya.