Ini Rumah Hasan Saleh, Tokoh Kontroversial dari Tanah Rencong
Menjalani masa kecil di zaman Belanda, sekolah militer Jepang, membantu pergerakan kemerdekaan Indonesia, hingga menjalani peristiwa Cumbok.
Editor: Mohamad Yoenus
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur
TRIBUNNEWS.COM, ACEH - AWAL pekan lalu, Senin (20/7/2015), saya bersama pemerhati sejarah Aceh, Tarmizi A Hamid dan beberapa rekan lainnya, berkesempatan mengunjungi rumah almarhum Letnan Kolonel (purn) Hasan Saleh, di Desa Teumeucet, Metareum, Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie.
Hasan Saleh adalah tokoh kontroversial yang melewati beberapa fase pergolakan Aceh.
Menjalani masa kecil di zaman Belanda, menjalani sekolah militer Jepang, membantu pergerakan kemerdekaan Indonesia bersama ulama di bawah pimpinan Tgk Muhammad Daud Beureueh, hingga menjalani konflik sosial peristiwa Cumbok.
Kontroversi Hasan Saleh dimulai ketika ia meninggalkan karier militernya yang cemerlang dan memutuskan membelot dari TNI dan kemudian bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Padahal kala itu, karier Hasan Saleh yang berpangkat Mayor TNI sedang melejit setelah sukses memadamkan pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Belakangan, ketika kekuatan Daud Beureueh mulai melemah, Hasan Saleh menjadi tokoh yang merancang perdamaian antara DI/TII dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hasan Saleh bersama sejumlah tokoh DI/TII memimpin penyerahan diri sebagian besar anggota militer DI/TII untuk kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Namun, bagi sebagian kalangan, Hasan Saleh dianggap sebagai pengkhianat bagi perjuangan DI/TII.
Kontroversi dari sosok Hasan Saleh ini tercatat dalam sejumlah literatur, terutama yang membahas tentang pemberontakan DI/TII di Aceh.
Kehidupan dan perjuangan Hasan Saleh ini juga ditulis dalam bentuk novel oleh novelis kondang, Akmal Nasery Basral, dalam buku berjudul "Napoleon dari Tanah Rencong".
Buku tentang Hasan Saleh, Napoleon dari Tanah Rencong. (Serambi Indonesia/Zainal Arifin M Nur)
Kontroversi inilah yang membuat saya tergerak untuk berkunjung dan melihat-lihat rumahnya, di Desa Teumeucet, Kemukiman Metareum, Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie.
Perjalanan dimulai dengan singgah di rumah Fatimah, keluarga dari Yakob dan Kasem yang tinggal di Gampong Blang Matareum.
Yacob dan iparnya Kasem ini adalah dua saudagar yang cukup berperan dalam mendukung perjuangan Tgk Muhammad Daud Beureueh dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sebelum ke rumah Hasan Saleh, kami terlebih dahulu dibawa berkeliling ke rumah Yakob dan Kasem. Rumah besar mirip pendopo pejabat ini, kini telah lapuk dimakan usia.
Rumah ini terlihat sudah lama tidak dihuni. Rumput dan semak belukar, tumbuh subur di halaman rumah yang cukup luas.
Satu krong (lumbung padi) seluas 3x3 meter dengan tinggi hampir 4 meter masih berdiri kokoh di samping rumah itu.
Selasar, dapur, ruang makan, dan ruang pembantu di belakang menyisakan kenangan betapa megahnya rumah itu pada masanya.
Di rumah inilah, Abu Beureueh pernah bersembunyi ketika diuber-uber oleh pasukan Belanda.
Setelah puas berkeliling di sini, kami pun bergerak ke Desa Teumeucet yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah Yacob Kasem.
Rumah Hasan Saleh berada tepat di depan Meunasah (surau) Desa Ceumeucot.
Rumah panggung kontruksi kayu yang disangga 20 tiang besar dan enam tiang kecil itu, berdiri gagah di tengah lahan sekira satu hektare. Meski tak ada penghuni, rumah ini terlihat bersih dan terawat.
Garasi mobil yang berada sekitar 10 meter dari depan rumah, terlihat sudah lama tak pernah digunakan. Tak ada jejak ban mobil di rumput yang tumbuh di bagian depan garasi.
Di bagian kanan rumah megah ini terdapat dua rumah permanen yang ditinggali keluarga Hasan Saleh. Salah satunya ditinggali oleh Cut Fatimah, adik dari Cut Asiah, istri Hasan Saleh.
"Cucu Are Kasem, tolong ditemani masuk ke rumah (Hasan Saleh)," kata Cut Fatimah kepada anaknya, T Usman (64), setelah kami memperkenalkan diri.
Kedua kaki Cut Fatimah tidak sanggup berjalan lagi. Ia bergerak dengan cara beringsut dengan pantat yang dilapisi tikar pandan.
"Silakan lihat-lihat, saya mau bersiap Salat Zuhur," kata Cut Fatimah dengan ramah.
Sejenak, T Usman yang merupakan pensiunan Tata Usaha Fakultas Kedokteran Unsyiah, membawa kami masuk melalui bagian belakang rumah Hasan Saleh.
Di dinding ruangan itu, terdapat beberapa foto yang merekam kehidupan Hasan Saleh, istrinya Cut Asiah, serta anak-anaknya.
Terdapat satu lemari yang menyimpan beberapa foto serta barang lama, seperti radio dan sebagainya. Beberapa kursi antik tergeletak di sudut ruangan.
Di bagian atas rumah, terdapat tiga ruangan besar yang nyaris kosong melompong. Lantai kayu di seuramoe likot (bagian belakang rumah adat Aceh), terlihat masih baru, menunjukkan kayu-kayunya baru saja diganti.
"Waktu Pak Iqbal (anak Hasan Saleh) menjabat Presdir PT Arun, beliau sering pulang, meski hanya sebentar. Tapi setelah beliau pindah lagi ke Jakarta, belum pernah pulang hingga sekarang," kata T Usman.
Kehampaan juga terasa di seuramoe keu (bagian depan Rumah Aceh). Hanya ada beberapa foto dan piagam yang mulai pudar diterpa sinar matahari.
Di antara piagam yang tergantung di dinding ruangan itu dikeluarkan oleh Institut Agama Islam Negeri Jami'ah Ar-Raniry, Banda Aceh.
Piagam yang dikeluarkan tahun 1983 itu diberikan atas partisipasi Hasan Saleh pada acara "Pembudayaan Al- Quran dalam Kehidupan Bermasyarakat".
Lalu ada juga "Surat Tanda Penghargaan" dari Menteri Utama Bidang Pertahanan Keamanan, Letjen TNI Soeharto.
Dalam surat yang dikeluarkan di Jakarta, tanggal 12 Maret 1968 itu, Hasan Saleh dianugerahi "Satlalantjana Penegak".
Kolektor naskah kuno Aceh, Tarmizi A Hamid berharap agar keluarga Hasan Saleh membuka rumah ini sebagai museum yang merekam tentang sejarah Aceh.
"Terlepas dari segala kontroversi, kita mesti melestarikan semua benda bersejarah, termasuk rumah Hasan Saleh dan rumah Yakob Kasem, beserta segala barang yang ada di dalamnya. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghargai sejarah," kata Tarmizi A Hamid.
Ia juga mengingatkan agar sesama warga Aceh dapat bersama-sama membangun Aceh ke arah yang lebih baik," ujar pria yang akrab disapa Cek Midi ini. (*)