Usai Berwisata Religi di Aceh, Oleh-oleh Paling Pas Adalah Menenteng Kain Sarung Ija Kroeng
Usai berwisata religi di berbagai tempat di Aceh, paling pas oleh-olehnya adalah kain sarung Ija Kroeng.
Editor: Agung Budi Santoso
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Nurul Hayati
TRIBUNNEWS.COM, ACEH – Kain sarung merupakan salah satu pakaian nusantara.
Kain berbentuk lingkaran dengan jahitan yang menghubungkan kedua sisinya ini hidup di tengah-tengah masyarakat dan dibesarkan oleh budaya setempat.
Di Aceh, kearifan lokal berkain sarung telah dikenal luas sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-17.
Kain serbaguna yang banyak digunakan dalam berbagai kesempatan itu menjadi pakaian lintas kasta, usia, dan gender.
Dari para raja, bangsawan, ulama, hingga rakyat jelata.
Tak hanya kaum adam, kain sarung juga menjadi pakaian para perempuan.
Kain sarung Ija Kroeng dalam pilihan warna hitam dan putih (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
Jika golongan raja dan bangsawan menggunakannya sebagai attribut pelengkap, maka kaum ulama dan rakyat jelata memakainya sebagai pakaian utama.
Budaya berkain sarung sudah dikenal sejak kanak-kanak dengan adanya tradisi mengaji di langgar selepas magrib.
Selain menemani dalam keseharian, di Aceh kain sarung juga hadir dalam acara istimewa seperti bagian pakaian adat dan menjadi salah satu isi hantaran dalam prosesi perkawinan.
Cerita sehelai kain sarung atau yang dalam bahasa lokal disebut ija kroeng bukan sebatas pakaian, tapi merupakan identitas budaya.
Ija Kroeng
Adalah Khairul Fajri Yahya (35), seorang pemuda Aceh yang pernah mengenyam pendidikan di Jerman tergerak untuk melestarikan sekaligus mempoupulerkan budaya bersarung.
Ide ini terbetik lantaran kain sarung mewakili spirit keacehan. Kain tersebut membalut keseharian warga ‘Bumi Serambi Mekkah’ dan telah hidup berabad-abad yang lampau.
“Aceh yang ditasbihkan sebagai world islamic tourism sudah selayaknya mempunyai ciri khas buah tangan yang mewakili hal itu. Ija kroeng bukan sekedar brand, tapi milik orang Aceh yang selama ini belum dipatenkan,” tutur Khairul yang ditemui di gudang Ija Kroeng di Jalan Residen Danu Broto No 13 Desa Geuceu Kayee Jato, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh.
Ija Kroeng launching dan dipatenkan pada Maret 2015 lalu dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat.
Brand yang memakai nama lokal itu kerab diundang meramaikan stan pameran pemerintah.
Sebut saja Pekan Kreatif, Ramadhan Fair, dan yang terbaru Peringatan 100 Tahun Museum Aceh.
Proses pembuatan kain sarung Ija Kroeng (Serambi Indonesia/ Nurul Hayati)
Even piasan (pagelaran) seni dan momen musim haji pun sudah masuk dalam agenda selanjutnya.
Khairul menyasar warga lokal sekaligus pelancong sebagai segmen pasar.
Hal itu bukan tanpa alasan mengingat di Aceh budaya bersarung masih lestari hingga kini.
Pun kualitas brand ija kroeng cocok untuk ditenteng sebagai oleh-oleh.
Proses produksi
Brand kain sarung ija kroeng merupakan home made yang menjual keunikan sekaligus kualitas sebagai daya jual.
Menggunakan bahan 100 persen katun yang benangnya diimpor dari India dan ditenun di Tangerang.
Setiba di Aceh bal kain tersebut dipotong dan dijahit sesuai kebutuhan yang digarap oleh dua orang tenaga kerja.
Varian produk
Selain menyediakan kain sarung, brand ija kroeng juga menawarkan goodie bag, syal, serta kaos.
Khusus kain sarung Khairul selaku owner merilisnya secara tetap dalam 2 warna, hitam dan putih dengan sentuhan les warna emas di bawahnya.
Sarung jenis ini tersedia untuk kebutuhan orang dewasa dan anak-anak.
Kemasannya menarik dengan kain untuk orang dewasa dan tas cangklong untuk anak-anak.
Lengkap dengan brand ija kroeng yang terpampang pada kemasasan.
Sehelai kain sarung yang dirilis secara regular ini dibanderol Rp 117 ribu untuk ukuran anak-anak dan Rp 162 ribu untuk dewasa.
Sementara untuk seri limited edition seperti pada Hari Raya Idul Fitri tersedia dalam tiga warna yaitu merah bata, hijau pupus, dan abu-abu muda.
Namun karena menawarkan produk yang lebih eksklusif sehingga harga yang dipasang juga lebih tinggi yaitu Rp 210 ribu untuk kain sarung anak-anak dan Rp 250 ribu untuk orang dewasa.
Khairul juga akan merilis kain sarung bertema budaya.
Untuk edisi perdana akan mengangkat tema Gayo yang merupakan salah satu suku yang berdiam di Aceh.
Gayo merupakan daerah dataran tinggi yang dikenal sebagai salah satu ladang penghasil kopi terbaik dunia serta kekayaan seni
budaya tinggi yaitu tari Saman yang tercatat sebagai warisan dunia non benda oleh UNESCO.
Menyusul tema etnik dari total 23 kabupaten/kota yang berasal dari delapan suku yang berdiam di Aceh.
Khairul juga menerima pesanan khusus untuk dijadikan hantaran.
Dirancang spesial sepasang dengan detail sesuai permintaan pemesan.
Strategi pasar
“Yang kami butuhkan sekarang adalah intervensi pemerintah agar memakai produk lokal. Dengannya ekonomi swasta akan hidup dan perputaran uang tidak mengalir keluar,” harap Khairul.
Selain menyasar segmen pasar lokal dan pelancong, ia juga memperkenalkan produknya hingga keluar negeri.
Karyanya dijadikan sebagai souvenir bagi mahasiswa pertukaran pelajar ke Cina, India, Jepang, Korsel, dan Malaysia.
Karyanya ini rencananya juga dipakai oleh seniman yang juga anggota DPD RI Rafly bersama grub musik Kande yang akan menggelar konser di Inggis bulan Agustus ini.
Di luar itu ia berharap pemerintah menyediakan pasar bagi home industry lokal seperti produknya untuk pengadaan kebutuhan kain sarung jamaah haji yang tentunya dalam jumlah massal.
Bagi Khairul kain sarung ibarat kanvas tempatnya berkreasi.
Menjadi sarana untuk menjaga warisan budaya tak tinggal nama.
Bagaimana anda tertarik menentengnya untuk oleh-oleh?