Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Siapa Sangka Hotel Bintang di Jambi Ini Dulunya Komplek Penjara Pemerintah Kolonial Belanda

Rasa penasaran Anda soal sejarah penjara lama, belum tentu terjawab oleh pengelola hotel. Sebab cerita itu dimulai 85 tahun yang lalu.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Siapa Sangka Hotel Bintang di Jambi Ini Dulunya Komplek Penjara Pemerintah Kolonial Belanda
Tribun Jambi/Teguh Suprayitno
Hotel Novita. 

Laporan Wartawan Tribun Jambi Teguh Suprayitno

TRIBUNNEWS.COM, JAMBI – Anda yang penah singgah ke hotel Novita di Jambi, mungkin tak pernah menyangka bila komplek hotel ini dahulu adalah penjara.

Bila Anda singgah dan menginap di hotel bintang empat ini, Anda tidak akan melihat kemiripan dengan bui.

novita
Hotel Novita. (Tribun Jambi/Teguh Suprayitno)

Hotel ini dibangun modern, bersih, wangi dan ber-AC.

Rasa penasaran Anda soal sejarah penjara lama, belum tentu terjawab oleh pengelola hotel.

Sebab cerita itu dimulai 85 tahun yang lalu.

Pada tahun 1930, pemerintah Belanda membangun gedung strafgevangenis (penjara dalam bahasa Belanda) untuk menghukum pencuri, rampok dan pedagang karet ilegal.

BERITA REKOMENDASI

Beberapa gedung penjara dibagun di kawasan kampung Encelek, kampung Manggis dan daerah Pasar.

Kawasan ini berada di jalan Gatot Subroto No.44, Kota Jambi.

“Jadi yang yang merampok, jual karet tidak lewat Belanda juga ditangkap dan dimasukin ke sana,” kata Junaidi T Noor, Sejarawan Jambi.

Sepuluh tahun berjalan, kejahatan di Jambi meningkat.

Belanda memperbesar bahkan menambah bangunan gedung, mereka juga menambah jumlah militer (polisi).


“Setiap kawedanan itu ada polisinya, dan waktu itu yang jadi Wedono merangkap sebagai kepala polisi di daerahnya,” kata Junaidi.

Sejarah gedung strafgevangenis dimulai O.L.Helfrich, seorang Belanda yang dikenal sebagai Residen pertama di Jambi.

Tahun 1906, Jambi adalah produsen lada yang cukup besar dalam perdagangan dunia. Luas kebunnya ribuan hektar.

Namun dari kepala Helfrich muncul gagasan untuk merubah perkebunan lada menjadi perkebunan karet.

Dia membuat sektor pembibitan pohon karet di Pondok Meja, Sarolangun dan Tebo.

Jutaan pohon karet yang disiapkan untuk menggantikan ribuan hektar kebun lada.

“Bibit itu dibagikan geratis pada masyarakat. Pokoknya yang mau nanam karet, kasih. Main kasih-kasih gitu bae,” kata penulis buku Jambi Dalam Sejarah.

Di waktu yang sama, Portugis juga mengembangkan perkebunan karet di wilayah Malaka (sekarang Malaysia). Di sana mampu memproduksi karet dengan sekala besar.

Helfrich ingin menyaingi perkebunan karet di Malaka.

Perdagangan komoditi karet mendapat respon positif dari perdagangan dunia.

Awal abad 20, Inggris pun ikut mendekat dan mencampuri bisnis karet di Malaka.

Singapura yang sebelumnya di kuasai Belanda, beralih tangan ke Inggris, dan Belanda diberi Bengkulu sebagai daerah jajahan baru.

Pada 1920-an masa Residen C.Portman, perdagangan karet di dunia mencapai puncak keemasan.

Belanda menerapkan sistim “Kupon” untuk pembelian karet dari masyarakat.

“Jadi orang ditanya Belanda, kamu punya berap banyak pohon karet? berapa hektar? Misal dijawab saya punya seribu batang, itu dapat berapa kupon. Bayarnya pakai kupon, baru nanti kuponnya ditukar dengan uang,” tutur Junaidi.

Inggris menjadikan Singapura sebagai sentra perdagangan karet dari Malaka dan Jambi.

Dengan sistem dagang yang dimiliki Ingris, bisa dipastikan semua hasil perkebunan di Malaka dan Jambi masuk ke Singapura.

Jambi yang semula menjadi penyuplai pala di perdagangan, praktis berubah menjadi penghasil karet terbesar.

Waktu itu Jambi dikenal sebagai kota dolar. Masyarakatnya kaya dan punya banyak uang dolar.

Saking kayanyanya, uang dolar dilubangi dan dijadikan perhiasan.

Saat itu masyarakat di Jambi yang semula hanya masyarakat Melayu, bercampur dengan suku Jawa, Minang, orang Cina, bahkan India.

Orang jawa banyak menjadi buruh perkebunan, sementara Minang, Cina dan India terlibat dalam perdagangan.

Perekonomian Jambi yang terus meningkat dan pertambahan jumlah penduduk, perampokan, begal hingga perdagangan karet ilegal juga meningkat.

Itu alasan O.L.Helfrich dahulu membangun strafgevangenis.

Sekitar 1970an, penjara peninggalan Belanda ini tidak lagi difungsikan.

Pemerintah Jambi membangun gedung lembaga pemasyaralatan di kawasan Patimura.

Junaidi tidak tahu bagaimana ceritanya, komplek gedung strafgevangenis bisa jadi milik pengusaha.

Itu masih menjadi rahasia yang dikubur puluhan tahun.

Kini kawasan penjara lama berubah menjadi hotel Novita milik Tanoto Kusuma.

Sumber: Tribun Jambi
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas