Tips Agar Foto-foto Traveling Anda Hasilkan Rupiah yang Melimpah
Ini tips agar foto-foto perjalanan Anda bisa dijual menjadi lembaran-lembaran rupiah yang melimpah.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Tulisan "Tukang Foto" bertengger rapi di baju Arbain Rambey, salah satu pemateri seminar Indonesia Diversity, di Jakarta, Minggu (25/10/2015).
Dari pajangan kantor, kalender, hingga buku, foto-fotonya sudah banyak dibeli orang maupun perusahaan nasional dan internasional. Ia memberikan beberapa saran agar foto selama jalan-jalan dapat menghasilkan uang.
Bukan soal cara, melainkan soal waktu
Foto jalan-jalan di Indonesia banyak bicara tentang pemandangan. Jika sudah tentang pemandangan, maka yang terpenting, menurut Arbain, adalah “kapan” foto itu diambil? Bukan “bagaimana” caranya?
“Saya lebih suka pakai auto, semakin mahal dan canggih kamera, justru auto-nya semakin akurat,” terang Arbain, yang berprofesi sebagai wartawan foto di harian Kompas ini.
Rouli Sijabat, PR Manager PT Toyota Astra Motor yang hobi fotografi saat traveling.
Jadi untuk cara, gunakan auto saja. Sekarang Arbain menyarankan berfokus pada waktu pengambilan. Foto pemandangan paling baik diambil sebelum pukul 08.00 pagi.
Maka kuncinya, jangan malas bangun pagi. Jika terlambat bangun, lebih baik mengambil foto sore sekalian. Hasil foto pemandangan pada jam-jam ini adalah foto yang layak jual.
Bagi-bagi spot fotonya
Jika melihat pemandangan indah saat jalan-jalan, jangan asal foto. Satu foto untuk satu pemandangan indah terlalu sayang rasanya.
Arbain Rambey menyarankan untuk "memotong" pemandangan tersebut menjadi beberapa foto. Sebuah pemandangan di danau, misalnya, ia membagi menjadi lima foto, hutannya, airnya, dua foto perahu, baru batu yang ada di tengahnya.
DSLR atau ponsel? Hampir setiap gadget sudah memiliki kamera berkualitas. Hasil jepretan kamera ponsel dan DSLR sama kualitasnya. Bagi Arbain, pemilihan kamera DSLR atau kamera ponsel adalah soal obyek foto.
Video nasi goreng enak ala Jepang.
“Kalau obyeknya diam atau bergerak statis, pakai HP (ponsel) bisa, tapi kalau foto keeper (penjaga gawang) sedang terbang menangkis bola sampai keringatnya terlihat, ya harus pakai kamera,” terang Rambey.
Maka, jika obyek bergerak, hanya DSLR yang bisa menangkapnya karena memiliki kecepatan tinggi untuk menangkap gambar secara terus-menerus. Sementara kamera ponsel paling tidak perlu waktu satu hingga setengah detik untuk mengambil satu gambar.
“Tapi, kita tidak tahu ya kalau dua atau tiga tahun lagi, namanya teknologi selalu maju,” kisahnya.
Gambar yang baik adalah yang direncanakan
Dalam suatu pengalaman, rekan Arbain pernah ditanya, “Akan seperti apa foto di headline nanti?” Lalu rekannya itu menggambar sebuah sketsa komposisi obyek dan orang-orangnya, pergi mengambil gambar, dan pulang membawa foto yang sama seperti yang ia gambar.
“Foto yang bagus itu yang sudah direncanakan,” terang Arbain.
Jadi, sebelum pergi, minimal lihat beberapa foto bagus terkait lokasi tujuan. Pikirkan ide foto, baru memotret.
“Pahit-pahitnya foto kita sama seperti di gambar,” candanya.
Video: Ikan dimasak hidup-hidup!
Posisi menentukan prestasi
Setelah melakukan perencanaan, langkah berikutnya adalah mencari posisi. Hal ini bisa saja terjadi dengan mudah, bisa saja susah.
Pengalaman Arbain bersama rekannya saat memotret upacara Ngaben di Bali misalnya. Gambar yang ia rencanakan adalah gambar yang harus diambil dari posisi tinggi.
Sedangkan satu-satunya gedung yang memungkinkan di sana akan dipenuhi orang selama upacara. Maka, ia meminta rekannya stand by di gedung itu sejak pukul 05.00 pagi untuk mengambil posisi paling pas.
“Upacaranya baru mulai pukul berapa tahu enggak? Tiga sore,” paparnya mengundang tawa.
Ini menunjukkan betapa pentingnya sebuah posisi dalam mengambil gambar. Jika fotografer adalah pria, Rambey bahkan menyarankan membawa sesuatu seperti botol yang dapat digunakan untuk buang air kecil di tempat.
Lantas bagaimana agar fotonya terjual?
Ada banyak cara agar foto dapat terjual. Hal paling sederhana adalah posting di dunia maya, lalu orang akan mulai menawar harga untuk foto yang mereka butuhkan.
Cara lain adalah sebaliknya, orang akan meminta jasa kita untuk memotret satu lokasi tertentu, baru kita pergi dan mengambil gambar.
Naik kereta gantung menuju puncak Gunung bersalju Tateyama di Jepang.
“Yang jelas, orang-orang luar negeri itu suka dengan foto-foto alam Indonesia, jadi pasti laku dijual,” terangnya.
Bagaimana tentang hak cipta?
Jika kita mengambil gambar orang (pengemis misalnya) lalu laku terjual atau menang lomba, Arbain menyarankan untuk memberikan beberapa persen uang untuk sang “model”. Ini adalah upaya menghargai hak cipta. Tetapi, bijak-bijaklah melakukan ini.
Arbain mengisahkan, pernah suatu ketika ada foto pengemis yang memenangi perlombaan berkali-kali dengan hadiah uang cukup besar. Untuk menghargai hak cipta, sang fotografer datang ke pengemis ini dan menyerahkan uang begitu banyak kepadanya di tengah pasar. Keadaan pun jadi heboh. Kali berikutnya, setiap ada yang mau berfoto di pasar itu, orang akan meminta bayaran.
“Ini kan jadi salah,” papar Arbain.
Fotonya sudah bagus, memang masih perlu diedit?
Pesona pelangi di jurang Bendungan Kurobe di Jepang.
"Sekarang saya tanya, orang cantik masih perlu dandan tidak?" ungkap Arbain beranalogi menjelang akhir seminar Indonesia Diversity.
Indonesia Diversity adalah komunitas berbasis digital yang mengajak anggotanya untuk berbagi pengalaman pelesir soal Indonesia.
Pengalaman dapat dibagi dalam tiga media, yaitu tulisan, foto, dan video. Pada Minggu (25/10/2015) lalu menjadi peluncuran komunitas ini. Acara terdiri dari beragam kegiatan, mulai dari pameran foto, video, termasuk seminar atau talkshow soal wisata. (Jonathan Adrian)