Biola Bambu Karya Warga Kudus: Tak Kalah dengan Produk Eropa atau China, Dibuat dari Bambu Pilihan
Biola Ngatmin menghasilkan suara nyaring dan melengking. Tak kalah merdu dibanding biola berbahan kayu, bahkan buatan Eropa muapun Tiongkok.
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Mamdukh Adi Priyanto
TRIBUNNEWS.COM, KUDUS - Saat ke Kudus, sempatkan mampir ke Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus.
Di sini, Anda bisa melihat proses pembuatan biola. Uniknya, biola yang dihasilkan terbuat dari bambu.
Ngatmin (36), merupakan pelopor pembuatan biola dari bambu.
Biola bambu. (Tribun Jateng/Mamdukh Adi)
Kualitas hasil tangan warga Desa Japan RT 04 RW 03 ini tak kalah dari biola buatan luar negeri.
Gesekan antara senar dan gagang rambut (bow) di biola Ngatmin menghasilkan suara nyaring dan melengking.
Tak kalah merdu dibanding biola berbahan kayu, bahkan buatan Eropa muapun Tiongkok.
Ngatmin tak sembarangan memilih bambu.
Dia hanya menggunakan jenis petung, bambu berdiameter lebar, berbahan tebal dan biasa tumbuh di pegunungan, serta jenis wulung yang daging bambunya lebih tipis.
"Ada dua jenis bambu yang digunakan, petung dan wulung. Itu berpengaruh terhadap suara yang dikeluarkan," terangnya.
Dari tangannya, bambu-bambu tersebut diproses hingga menjadi biola cantik yang menghasilkan jenis suara berbeda.
Dari bambu wulung, Ngatmin menghasilkan biola bersuara bas dan tenor atau suara yang biasa dimiliki pria.
Ngatmin. (Tribun Jateng/Mamdukh Adi)
Sementara, dari bambu petung, biola yang diciptakan menghasilkan suara alto dan sopran yang biasa dimiliki wanita.
"Saya pernah mencoba memainkan biola buatan luar negeri. Suaranya tak berbeda kok dari biola buatan saya," ucapnya.
Bukan tiba-tiba ide membuat biola dari bambu itu muncul di pikiran Ngatmin.
Awalnya, dia diminta membantu saudara di Bogor yang membuka tempat kursus belajar biola.
Saat itu, tahun 1999. Meski hanya lulusan SD, Ngatmin begitu pandai memainkan alat musik gesek itu dari belajar secara otodidak.
Setelah beberapa saat, Ngatmin menangkap peluang bisnis.
Dia melihat begitu banyak biola yang dibutuhkan murid-murid.
Dia pun tertarik menyediakan. Bukan membeli dari toko melainkan membuat secara langsung.
Apalagi, dia punya bakat membuat kerajinan setelah sebelumnya, selama bertahun-tahun bekerja sebagai perajin ukir kayu di Jepara.
Pria kelahiran 30 Oktober 1977 ini pun mulai bereksperimen.
Dia menggunakan biola yang sudah ada sebagai bahan praktik lewat cara membongkar dan berusaha memasang lagi bagian-bagiannya.
Dia juga belajar dari tayangan video yang disediakan situs multimedia YouTube.
Butuh berkali-kali percobaan hingga akhirnya biola kayu buatannya tercipta.
Namun, hasil ini tak membuatnya puas.
Terbersit keinginannya membuat alat musik dari bambu, seperti suling dan angklung.
"Kemudian, saya berpikir, kenapa tidak membuat biola juga dari bambu. Dari situ, saya mulai membuat dari biola yang sudah saya bongkar," ucapnya.
Memang, tidak semua bagian biola dibuat dari bambu.
Ada kombinasi bahan kayu yang digunakan di bagian leher atau empat jari.
Sementara, di bagian ujung, untuk mempercantik tampilan, dia membuat ukiran berbagai bentuk.
Ada replika kepala manusia juga kepala naga.
Hasil karyanya ini diberi nama Stardivarious Indonesia.
"Syarat membuat biola bambu itu ada tiga.
Yakni, pembuat harus tahu dasar pertukangan kayu, pandai mengukir, dan tentu saja mengerti musik," kata Ngatmin.
Tak ingin terus jauh dari keluarga, Ngatmin memutuskan pulang kampung ke Kudus.
Bapak satu anak ini bertekad membuka usaha dan memroduksi biola bambu meski di tanah kelahirannya itu, biola bukan alat musik yang populer.
Bahkan, meski tempat tinggalnya jauh dari perkotaan, tepatnya di dekat Gunung Muria.
Agar produknya dikenal dan mendapat pasar, Ngatmin aktif mengikuti pameran produk UMKM.
Memang, hasil karyanya tak habis diborong.
Namun, ada saja yang melirik buah kreativitasnya itu di setiap pameran yang diikuti.
Ngatmin mematok harga bervariasi untuk setiap produk yang dihasilkan.
Namun, menurutnya, dengan harga Rp 1 juta, pembeli sudah mendapat biola bersuara aduhai.
Untuk biola kualitas koleksi, dia membanderol Rp 2 juta yang berbahan kayu dan Rp 3 juta untuk biola bambu.
Ngatmin memang masih membuat biola kayu selain memroduksi biola bambu.
Selain biola, dia juga membuat hardcase atau tempat menyimpan biola.
Untuk wadah ini, dia memberi sentuhan Jawa berupa balutan kain baik khas Kudus.
"Hambatan yang dialami adalah soal pemasaran. Produk lokal seperti ini masih kalah dari produk luar negeri. Padahal, kualitasnya setara atau bahkan melebihi," tandas Ngatmin.
Selain ikut pameran, untuk memperkenalkan buah karyanya, Ngatmin sering ikut lomba UMKM.
Tak sedikit penghargaan yang dikantongi.
Terakhir, dia menggondol juara dua lomba kreativitas dan inovasi yang diadakan Pemkab Kudus.
Ngatmin berharap, inovasinya membuat biola lebih memasyarakat di Kota Santri.
Dia juga ingin, belajar biola menjadi ekstrakurikuler di sekolah.
Dia bertekad mengajukan gagasan ini ke Dinas Pendidikan Kudus. (*)