Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jelajah Pesona Bawean Dari Surabaya Lebih Asyik dan Flesikbel Dengan Kapal Ferry

Inilah catatan perjalanan seorang traveler bernama Fifin Maidarina menjelajah Pulau Bawean dari Surabaya dengan kapal ferry.

Editor: Agung Budi Santoso
zoom-in Jelajah Pesona Bawean Dari Surabaya Lebih Asyik dan Flesikbel Dengan Kapal Ferry
Fifin Maidarina
Menu serba seafood mewarnai perjalanan kapan ferry dari Surabaya ke Pulau Bawean. (Fifin Maidarina ) 

TRIBUNNEWS.COM, BAWEAN -  Inilah catatan perjalanan seorang traveler bernama Fifin Maidarina menjelajah Pulau Bawean dari Surabaya dengan kapal ferry.

Hari pertama

Jelajah Bawean Lebih Flesikbel Dengan Kapal Ferry

Jumat sore, bergegas packing dan menembus padatnya kota Surabaya menuju pelabuhan Gresik, demi mengejar waktu agar tidak tertinggal kapal ferry Gili Iyang yang akan berangkat pk. 21.00 malam. Memang tahun 2016 ini telah dibuka jalur penerbangan Surabaya – Bawean, dengan harga terjangkau, lebih kurang Rp. 300.000 sekali jalan, namun sayangnya jadwalnya masih kurang bersahabat dengan para pekerja kantoran, yang biasanya cuma bisa ngilang pas weekend saja.

Pesawat Surabaya – Bawean cuma ada setiap hari Selasa dan Kamis saja, pk. 09:55, dan pesawatnya langsung balik lagi ke arah Surabaya pada pk. 11:25. Sementara untuk jadwal kapal cepat dan ferry, lebih banyak pilihan, sehingga kita bisa fleksibel mengaturnya.

Dengan kapal ferry ini, memang membutuhkan waktu cukup lama, yaitu lebih kurang 9 jam untuk tiba di pulau Bawean, namun pemilihan jadwal keberangkatan ferry Gili Iyang pada malam hari sangatlah tepat, membuat penumpang bisa menghabiskan waktu dengan tidur.

 

BERITA TERKAIT

Seperti ferry pada umumnya di Indonesia, ferry Gili Iyang ini terdiri dari ruang VIP ber-AC dengan sekat-sekat ruang per orang lengkap dengan alas tidur, kemudian ada ruang VIP tanpa AC dan terakhir ada ruang ekonomi, yang tanpa nomer penumpang, hanya duduk bebas, seperti umumnya ketika kita menggunakan ferry Ketapang – Gilimanuk.

Ombak yang cukup tenang selama perjalanan, membuat perjalanan panjang ini tidak terasa dan tidur dengan nyenyaknya. Sabtu pagi, kapal ferry Gili Iyang sudah bersandar di pelabuhan Bawean, yang berlokasi di kecamatan Sangkapura, wilayah selatan pulau Bawean.

Perjalanan kali ini sedikit dimanjakan, karena kedatangan di pulau Bawean ini merupakan undangan spesial dari pak Lurah Pekalongan, buat kami bertiga untuk mencicipi keindahan Bawean.

Sehingga, mas O’eng, asistent pak Lurah, sudah siap menanti kedatangan kami di tepian pelabuhan, lengkap dengan mobil pick up-nya dan siap mengantar ke rumah pak Lurah, menyisir sisi barat Bawean menuju kecamatan Tambak di utara pulau.

Secara administratif, pulau Bawean ini berada di kabupaten Gresik, berlokasi di utara kota Gresik, dengan beberapa pulau kecil di sekelilingnya, seperti pulau China, Gili dan Noko. Pulau Bawean sendiri hanya terdiri dari dua kecamatan, yaitu Sangkapura di selatan pulau dan Tambak di utara pulau.

Karena duduk di belakang mobil pick, membuat mata ini bebas melihat pemandangan sekitar selama perjalanan. Mata langsung melek meski masih pk. 06.00 pagi. Ketika jalanan mulai menanjak, terlihat lautan di bawah dipagari dengan bukit hijau.

Sangat indah. Pohon-pohon masih rapat dan tinggi, begitu asri. Hawa panas pantai tak terasa sama sekali. Sejuk segar yang ada. Naik turun bukit dan kemudian tiba-tiba membentang sawah yang luas di kiri kanan jalan.

Wah, istimewa, laut, bukit dan sawah, semua ternyata ada di pulau ini. Tidak ada kesan gersang sama sekali. Dan ketika mulai masuk ke pemukiman penduduk, kami menjadi tontonan, seperti layaknya turis asing yang datang berkunjung ke pulau.

Hal ini wajar, bukan hanya karena ransel-ransel besar yang mendampingi kita, namun wajah asing di pulau kecil ini langsung saja menjadi perhatian buat mereka.

Lebih kurang satu jam cuci mata, tibalah di rumah pak Lurah. Pak Umar begitu ramah nmenyambut kami dan tanpa basa-basi panjang langsung mengajak sarapan dengan menu serba ikan laut. Ikan segar hasil tangkapan dari lahan belakang dimasak tadi pagi oleh bu Lurah, khusus untuk menjamu kami. Kata pak Lurah, beginilah sarapan di pulau Bawean ini, tidak ada makanan ringan, yang ada ya nasi dan ikan. Istimewa.

Danau Kastoba

Dari rumah pak Lurah, mas O’eng mengantar kami bertiga dengan dua motor menuju ke danau Kastoba. Tidak jauh sebenarnya, karena masih berada dalam satu kecamatan dengan rumah pak Lurah, yaitu di kecamatan Tambak, namun jalan berliku, tanjakan dan turunan menyertai kami sepanjang perjalanan.

Namun, hal yang menarik di Bawean ini adalah, semua jalan utama dan jalan kampungnya, rapi beraspal.

Jalur terakhir menuju danau adalah masuk ke area perkampungan, jalanan nanjak curam, dengan medan berbatu penuh lumut, sehingga motor teman sempat tergelincir karena saking licinnya. Jebakan selamat datang rupanya, jadi kalau bawa motor, mending di parkir di bawah saja.

Selepas parkir motor, kami jalan naik melewati semak belukar dan tangga berbatu yang juga cukup licin karena lumut. Berhati-hati dan konsentrasi, itu kuncinya. Tidak sampai 30 menit, akhirnya danau sudah menyambut di depan mata.

Air hijau tenang dikelilingi pohon hijau lebat, menjadi pemandangan utama. Di salah satu sisi, tampak pengunjung yang kemping dan mancing ikan di danau. Ah, sayangnya, di sekitaran tanah datar tempat rest area tersebut, danaunya dipenuhi dengan sampai plastik bekas konsumsi pengunjung.

Danau ini sudah ditetapkan sebagai daerah konservasi, untuk itu pengunjung baiknya turut menjaga kebersihan lingkungan, dengan tidak membuang sampah atau membawa turun kembali sampah sisa konsumsi, agar keasriannya tetap terjaga. Sedikit berbagilah keindahan hari ini, untuk generasi penerus kita.

Setelah puas foto-foto dan menikmati keindahannya, kamipun turun lagi. Melewati jalanan yang sama, dan terasa semakin susah turunnya, karena sangatlah licin, sampai saya sempat terpeleset. Sebaiknya memang menggunakan alas kaki yang menyatu dengan alam, hehehehe…

Air Terjun Laccar

Lanjut lagi, destinasi berikutnya adalah air terjun Laccar. Secara posisi, air terjun ini cenderung berada di selatan pulau, yaitu di kecamatan Sangkapura, sehingga perjalanan motor masih cukup lumayan jauh, membelah pulau Bawean lewat sisi tengah.

Namun hal itu tak terasa, karena pemandangan kiri kanan berupa sawah hijau segar, adapun yang menguning, sedang dipanen. Sehingga melihat akltivitas bapak ibu petani yang sibuk menyiangi hasil panennya. Pengalaman menarik tersendiri di sini.

Jalur masuk ke air terjun adalah melewati perkampungan lagi, Berjalan mengikuti aliran sungai, terus naik ke atas, sampai sisa perjalanan hanyalah menembus sungai berbatu besar-besar. Bunyi jatuhnya air terjun seolah menyemangati kami untuk segera tiba di puncaknya. 

Ternyata hari ini, kamilah pengunjung satu-satunya,. Sepi, bersih, alami, dengan debit air yang cukup besar, membuat keder juga untuk mandi mendekat. Air terjunnya cukup tinggi dikelilingi tebing dan lebatnya pohon hijau di sekelilingnya. Sungguh masih alami.

Mistis tentang obat awet muda ? Yeah, hampir di semua air terjun seperti itu, jadi basuh saja muka dan bilas tangan, bila perlu sekalian mandi dan berendam di kolam cekungannya. Segar dan sehat tentunya.

Roti Canai

Sarapan yang cukup berat tadi pagi, membuat perut ini masih belum terasa lapar, meski sudah tengah hari. Tapi mas O’eng tetap saja mengajak kami mencicipi roti canai, khas pulau Bawean. Makanan dari India ini, menjadi salah satu yang khas di Bawean, karena penduduk Bawean yang pernah jadi TKI di Malaysia membawa kultur tersebut masuk ke pulau ini.

Canai yang tersaji, seporsi isi dua dan cukup tebal, namun tebalnya ini bukan karena tepung semata, tapi karena adanya telur yang dicampur acak dengan tepung, sehingga masih sangat terasa telurnya. Plus disajikan dengabkuah kare yang gurih nikmat. Dijamin ini bukan karena kami lapar, tapi memang enak rasanya.

Kolam Air Panas

Setelah mandi air terjun, jujugan terakhir adalah menuju kolam air panas Tapi sebelum sampai sana, kami mampir ke salah satu rumah warga, kenalan pak Lurah, untuk mencicipi legen khas Bawean. Orang Bawean sendiri jarang minum air legennya.

Mereka mengolahnya menjadi gula merah saja, kemudian dijual dengan bungkus daun jati. Hanya kepada pendatang saja, biasanya mereka ambilkan legen dari pohonnya, kemudian dimasak dengan cara dibakar dalam wadah bambu, kemudian menyajikannya sesaat setelah agak dingin.

Bau sangit khas bakaran, masih tercium saat kami meminumnya dari gelas, tapi rasanya sungguh segar, manisnya beda dengan legen yang biasa diminum di pulau Jawa.

Dan kami diberi gula merah khas Bawean, masing-masing segelondong kecil untuk dibawa pulang ke Surabaya. Ternyata ini wujudnya gula merah yang disajikan ibu Lurah tadi pagi dengan jahe saat sarapan.

Sebelum gelap, akhirnya kami sampai di kolam air panas, yang ternyata cuma kolam kecil, dengan sumber air panas yang mengucur di tengahnya.

Panas sekali sampai tidak kuat rasanya menceburkan seluruh tubuh ke dalam, hanya kaki yang kuat icip-icip menyentuh panasnya.

Tepat saat magrib, kami semua sudah kembali ke rumah pak Lurah dan siap disambut dengan menu serba ikan lagi. Sungguh istimewa hidup kami hari ini.

Yang pengin ke Bawean, jangan khawatir, karena sudah tersedia beberapa hotel ber AC di sekitaran pelabuhan atau dermaga pulau Bawan dengan beberapa warung di sekitarnya.

Menu, pastinya serba ikan dan memang sangat jarang dijumpai sayuran di sana, karena orang Bawean tidak suka sayur. Lauk ya ikan, tidak ada tahu, tempe ataupun ayam.

Jadi, tertarik ke Bawean? Yuks, dinikmati keindahannya, tanpa merusak alamnya. Jaga kebersihan dan berpakaian sopan, ketika berkunjung ke sana, karena masyarakat yang 100% muslim, masih belum terbiasa dengan gaya busana orang kota.

Jadi, buat kita pendatang, alangkah baiknya mengikuti kebiasaan yang ada di wilayah setempat. Lain ladang, lain ilalang bukan ? Happy traveling…

 Hari kedua,

Gili – Noko

Ransel besar yang kami bawa, sudah lengkap berisi peralatan kemping dan alat snorkeling, siap untuk menikmati alam Bawean dan sekitarnya. Hari kedua, kami menyusuri sisi timur Bawean untuk menuju ke dermaga lanjut ke berlayar ke Gili - Noko.

Tidak sampai 30 menit, kami sampai di Gili, pulau kecil di sebelah selatan Bawean dan kami bersiap untuk main basah-basahan dengan snorkeling. Jika tidak membawa peralatan snorkeling, bisa sewa di warga sekitar pelabuhan, karena beberapa dari mereka menyewakan, meskipun belum berupa counter yang terpampang sebagai tempat persewaan.

Lokasi pertama yang dikunjungi adalah Karang Pasong. Dari atas kapal saja, sudah terlihat deretan terumbu karamg yang masih cantik warna-warni dengan  ikan kecil-kecil bermain dengan lincahnya.

Di sisi terluar terdapat dinding menjorok ke bawah, yang memungkinkan untuk aktivitas diving. Mungkin rombongan kami berikutnya yang akan mencicipi diving di sini nantinya.

Semakin pagi semakin nyaman, karena lautnya sangat tenang. Mulai siang, sedikit berombak, tapi masih aman untuk aktivitas snorkeling. Namun sungguh, tak terbantahkan, di sini masih sangat bening alami, dengan visbility yang sangat clear.

Sehingga dengan dibaginya pengalaman ini dan nantinya semakin banyak pengunjung yang datang, berharap bahwa pengguna fin / kaki katak adalah yang sudah benar-benar bisa snorkeling sehingga tidak menabrak dan merusak karang-karang. Karena selain potas, aktivitas snorkeling dan diving yang tidak bijaksana, bisa membuat karang itu juga rusak. Padahal perlu waktu yang cukup lama untuk bsia memulihkannya kembali.

Cukup lama kami main di sana, karena saking indahnya, sehingga tak bosan memandang.  Lanjut lagi, kami mampir ke pulau Noko, dengan pasir putih panjang. Pasirnya sungguh halus. Kami mampir untuk sekedar foto-foto dan membuka bekal makan siang kami.

Penjaga pantai pun mendatangi kami dan berbincang-bincang tentang upaya konservasi di lingkuang Bawean dan sekitarnya. Rupanya masih saja terdengar adanya nelayan liar yang merampok isi laut ini denagn cara yang tidak benar, yaitu potas.

Meski POLAIR telah ada, namun sepertinya penjagaan masih perlu diperketat. Karena, sistem potas membuat ikan yang tidak diburu pun ikut mati, terumbu karang pun rusak. Jika tidak ada terumbu karang, ikan pun sepi, mata rantai terputus, dan kedepannya nelayanpun akan kesulitan untuk mendapatkan ikan. Maka sebaiknya memancinglah dan mencari makan dengan cara yang sehat. Sisakanlah alam ini untuk anak cucu kita. Saat ini mungkin alamnya masih kaya, namun jika tidak dijaga bersama, akan cepat habis juga.

Lanjut lagi, kami mampir ke satu spot snorkeling lagi di sekitaran dermaga Gili. Masih sama, terumbunya masih bagus, meskipun sebarannya tidak seluas di Karang Pasong. Akibat tantangan seorang teman, akhirnya saya berenang menyeberang di lautan untuk kembali ke dermaga.

Namun itu sepertinya berkah tersendiri, karena kami bertemu sepasang napoleon sedang berenang tidak jauh di bawah kami. Padahal makhluk ini cukup langka jika dicari. 250 meter perjalanan berenang jadi tiadk terasa sejak mata terpuaskan bertemu dengan sahabat kecil si napoleon.

Selesai berenang, kami mampir ke rumah mas Arman, si guide dan nahkoda kapal kami, untuk sekedar numpang mandi dan packing persiapan menuju ke puncak bukit Tunggul Angin. Malam ini, kami berencana kemping di sana.

Setelah semuanya siap, tiba-tiba istri mas Arman muncul  dengan membawa bakso ikan. Wah rejeki segar ini. Meski perut serasa belum luruh usai makan siang tadi, harus disambung makanan lagi. Tapi...kapan lagi ya...

 

Bukit Tunggul Angin

Dari bawah, kami hanya butuh waktu 30 menit untuk sampai di puncaknya. Namun jalanan setapak tidaklah tampak jelas, karena ditumbuhi ilalang yang sangat tinggi, kemudian disambung dengan tanjakan curam melewati jalanan berbatu besar. Peluh dan keringat langsung membanjiri wajah dan badan kami, meskipun baru saja usai mandi.

Puncaknya berupa daratan, yang masih ditumbuhi ilalang tinggi, dengan pohon jati di sekelilingnya. Bukit ini memang sungguh masih segar, jauh dari kesan gundul, namun efeknya, mata tidak bebas memandang lautan ke bawah karena terhalang pohon – pohon besar, Ketika musim kemarau, saat daun jati mulai meranggas, sebenarnya merupakan saat yang tepat mengunjungi bukit ini, sehingga bsia menikmati terbit dan tenggelamnya matahari di balik lautan dengan leluasa.

Buat penduduk Gili, mungkin ini pertama kalinya orang yang mau kemping di puncak bukit. Kalaupun ada warga yang naik, paling cuma sekedar melihat ke atas, kemudian turun lagi. Kami benar-benar ingin menyatu dengan alam, sehingga memilih tidur di puncak bukit dengan bermandikan cahaya bintang dan bulan yang sedang menjelang purnama, sehingga tampak hampir bulat penuh, menerangi tempat kemping kami.

Kalaupun belum bisa berbuat banyak untuk alam ini, setidaknya bawalah turun kembali sampah hasil konsumsi pribadi, dan kalaupun melihat bekas sampah, jangan menjadi contoh untuk ditambahi, tapi bawalah sekalian turun untuk dibuang di penampungan sampah warga. Jadilah turis lokal yang bijaksana…. Happy traveling . (fifin maidarina)

Sumber: Surya
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas