Catatan Perjalanan ke Banyuwangi (4): Menyapa Pagi dari Pantai Boom, Berburu Senja di Pulau Merah
Pada hari terakhir di Banyuwangi, Tribunnews menyambangi Pantai Boom, Hutan De Djawatan, hingga Pantai Pulau Merah.
Penulis: Sri Juliati
Editor: Daryono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Sebutan Sunrise of Java memang pantas disematkan pada Banyuwangi.
Ya, di Banyuwangi-lah, kita dapat menyaksikan detik-detik Matahari terbit pertama kali di tanah Jawa.
Tak ingin melewatkan kesempatan emas ini, Tribunnews bertekad bangun sepagi mungkin demi berburu momen sunrise.
Rabu (11/7/2019) pukul 05.00 WIB, Tribunnews keluar dari penginapan dan menuju Pantai Boom.
Pantai Boom merupakan satu spot terbaik untuk menyaksikan pesona Matahari di Banyuwangi.
Baca: Catatan Perjalanan ke Banyuwangi (2): Nikmatnya Mencicip Cokelat Glenmore & Ditampar Sego Tempong
Akses menuju Pantai Boom sangat mudah karena hanya seperlemparan batu dari pusat kota, bahkan bisa dijangkau dengan jalan kaki.
Harga tiket masuk ke Pantai Boom hanya Rp 5 ribu dan parkir motor Rp 2 ribu.
Begitu sampai, Tribunnews merasa sangat kaget karena wajah Pantai Boom berubah total dibanding saat pertama kali ke sini pada 2015.
Walau di beberapa lokasi masih dalam tahap pengembangan, tapi perubahan Pantai Boom benar-benar membuat pangling.
Hanya dua kata yang terlontar dari mulut Tribunnews saat melihat perubahan ini, "keren banget!"
Pertama, kondisi jalan sudah beraspal mulus dan lebar.
Kedua, semakin banyak kantong parkir yang tersedia di sekitar area Pantai Boom.
Sarana wisata juga lebih banyak dan lengkap.
Baca: Kak Seto: Perlindungan Anak di DKI Kalah dengan Tangsel, Banyuwangi dan Bengkulu
Selain menikmati pantai, wisatawan juga dimanjakan dengan aktivitas para nelayan di Pantai Boom.
Masih setengah terkagum dengan kondisi terkini Pantai Boom, Tribunnews juga mempercepat langkah menuju Pantai Boom.
Pasalnya, bulatan dengan semburat kuning keemasan mulai menyembul dari ufuk timur.
Cepat-cepat Tribunnews membidik detik-detik sang surya yang terbit pertama kali pada hari itu.
Awan hitam yang masih menggantung kian menambah ekostisme sunrise di Banyuwangi.
Hanya dalam hitungan menit, Matahari pertama pada hari itu akhirnya bangun dari peraduan dan menyinari semesta.
'Keajaiban langit' di Sunrise of Java ini benar-benar sayang bila dilewatkan.
Bagi Tribunnews, inilah sunrise terbaik yang pernah dinikmati di pantai.
Setelah sukses mendapatkan foto, Tribunnews memilih untuk menyimpan ponsel di tas lantas menikmati segala pesona di Pantai Boom.
Aroma pantai yang begitu khas ditemani deburan ombak Pantai Boom membuat Tribunnews malas beranjak.
Ingin rasanya tetap berada di sini, tapi di sisi lain, perut kosong minta diisi 'amunisi.'
Perjalanan pun berlanjut dengan mencari sarapan khas Banyuwangi: sego cawuk.
Di pusat kota, ada satu warung sego cawuk yang sangat legendaris, yaitu Sego Cawuk Bu Sri.
Warung Sego Cawuk Bu Sri berada tak jauh dari Taman Sri Tanjung Banyuwangi atau tepatnya Jalan Kiai Saleh nomor 14, Kepatihan, Kecamatan Banyuwangi.
Walau lokasinya masuk gang, tapi setiap pagi, Warung Sego Cawuk Bu Sri selalu ramai pembeli, baik warga sekitar maupun wisatawan.
Saking ramainya, pembeli harus siap mengantre untuk memesan sego cawuk bahkan untuk makan.
Sebab, warung ini hanya memanfaatkan pelataran rumah yang cukup sederhana.
Alhasil hanya tersedia dua meja panjang yang dipakai pembeli untuk makan secara bergantian.
Dalam seporsi sego cawuk terdapat nasi, sayur tahu, olahan ampas kelapa parut, kuah tulang ikan, sayuran yang disiram bumbu kacang.
Ada pula pindang telur dan pelasan ikan laut sebagai lauk.
Masih ada lagi bahan yang bikin santap sego cawuk di Warung Bu Sri kian nikmat, yaitu sambel serai.
Tak lupa kerupuk sebagai teman makan.
Lantaran terdiri dari berbagai elemen makanan, rasa sego cawuk sangatlah beragam.
Rasa gurih dari sayur tahu, olahan ampas kelapa, dan bumbu kacang ditimpa dengan asam kuah tulang ikan.
Masih ditambah dengan rasa pedas dari pelasan ikan laut serta asam-segar dari sambal serainya.
Paduan rasa yang sangat pas dan sempurna membuat tangan tak henti menyuap sendok demi sendok sego cawuk.
Tak terasa sepiring sego cawuk yang dibanderol Rp 10 ribu telah berpindah tempat di perut.
Baca: DPD RI Apresiasi Prestasi Banyuwangi
Dari Warung Sego Cawuk Bu Sri, Tribunnews kembali ke penginapan untuk mengumpulkan energi menuju destinasi selanjutnya.
Pada hari terakhir di Banyuwangi, Tribunnews menjelajah wilayah bagian selatan yang belum pernah disambangi sebelumnya.
Berbekal aplikasi peta di ponsel, Google Maps, Tribunnews mengarahkan kendaraan ke Hutan De Djawatan.
Selama kurang lebih satu satu jam, Tribunnews sampai di Hutan De Djawatan yang berada di Desa Benculuk, Kecamatan Cluring.
Untuk bisa menikmati keindahan Hutan De Djawatan, pengunjung hanya perlu membayar tiket masuk sebesar Rp 5 ribu dan parkir motor Rp 2 ribu.
Suasana teduh dengan panorama serba hijau langsung menyambut Tribunnews.
Deretan pohon trembesi dan jati yang menjulang tinggi, lebat, dan berusia hingga 100 tahun mendominasi pemandangan.
Menimbulkan kesan magis yang instagenik bak di negeri dongeng.
Dan benar apa kata orang-orang, Hutan De Djawatan mirip seperti hutan Fangorn dalam film The Lord of The Rings tapi versi lokal.
Banyak aktivitas yang bisa dilakukan pengunjung saat berwisata di kawasan milik Perhutani ini.
Berfoto dengan latar belakang deretan pohon raksasa lantas mengunggahnya ke media sosial jelas jadi agenda wajib.
Ada banyak spot yang bisa menjadi obyek dan lokasi foto, sebut saja rumah pohon, beberapa truk bekas, hingga jembatan kayu.
Bisa juga melihat suasana Hutan De Djawatan dengan menyusuri jalan setapak, bersantai di bangku yang telah disediakan, atau menikmati makanan.
Jangan khawatir bila tak bawa bekal, di kawasan Hutan De Djawatan juga terdapat kafe dan warung makan.
Bisa juga menjajal wahana flyfox, permainan ATV, atau berkeliling Hutan De Djawatan pakai kereta kuda.
Puas menikmati kesejukan di Hutan De Djawatan, Tribunnews melanjutkan perjalanan selama 1,5 jam menuju Pantai Pulau Merah.
Walau jaraknya cukup jauh dari pusat kota, tapi akses menuju ke sini terbilang cukup mudah karena banyaknya papan penunjuk jalan serta jalannya yang sebagian besar mulus.
Destinasi yang berada di Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran menjadi primadona wisata Banyuwangi.
Jadi, rasanya kurang bila liburan ke Banyuwangi tanpa ke Pantai Pulau Merah.
Baca: ACT Distribusikan Belasan Ribu Air Bersih ke Warga Banyuwangi
Harga tiket masuk Pantai Pulau Merah hanya Rp 10 ribu dan Rp 2 ribu untuk parkir motor.
Pantai Pulau Merah juga menjadi satu tempat terbaik untuk menyaksikan panorama Matahari terbenam.
Sayangnya, saat Tribunnews ke sana, cuaca sedang mendung, alhasil tidak bisa kembali melihat 'keajaiban langit' di sore hari.
Namun kekecewaan itu terobati dengan lanksap Pantai Pulau Merah yang begitu cantik dan ektotis.
Pasir putih nan lembut yang terhampar luas serta sebuah bukit setinggi 200 meter di hadapan pantai, dan ombak yang bergulung-gulung menjadi penghiburan tersendiri.
Ombak di Pantai Pulau Merah juga menjadi daya tarik wisatawan karena bisa dimanfaatkan untuk berselancar.
Baik oleh peselancar profesional maupun pemula.
Tenang saja, bila belum cukup mahir menaklukkan ombak, ada guide yang akan membantu wisatawan untuk belajar berselancar.
Selain 'cuci mata' melihat aksi para peselancar dan pemandangan indah, wisatawan juga bisa mandi atau berenang asal tidak jauh dari kawasan pantai.
Perhatikan juga arahan dan imbauan dari penjaga pantai saat bermain air di Pantai Pulau Merah.
Di sekitar Pantai Pulau Merah juga banyak terdapat warung makan serta penginapan dengan tarif yang cukup terjangkau.
Baca: Keren, Menpar Arief Yahya Jadi Keynote Speaker Seminar General Aviation for Tourism di Banyuwangi
Seandainya masih memiliki banyak waktu, lebih baik menginap sejenak di sekitar Pantai Pulau Merah sembari menyambangi sederet pantai lain di selatan Banyuwangi.
Perjalanan di Pantai Pulau Merah akhirnya disudahi sebelum Matahari kembali lagi ke peraduan dan hari mulai gelap.
Malam hari, setiba di pusat kota, Tribunnews langsung menuju Osing Deles untuk berburu buah tangan.
Osing Deles yang berada di Jalan KH Agus Salim No.12A, Taman Baru merupakan surganya oleh-oleh.
Ada banyak oleh-oleh yang bisa ditenteng mulai dari kaus, batik, camilan, hingga kerajinan khas Banyuwangi.
Pilihan Tribunnews jatuh pada pia kacang, kue bagiak, serta kopi robusta dari lereng Gunung Ijen.
Puas berbelanja, sekalian saja Tribunnews makan malam di kafe Osing Deles yang masih satu lokasi.
Ada banyak pilihan menu yang disajikan, termasuk kuliner Nusantara di kafe yang berkonsep vintage ini.
Setelah mengisi perut dengan seporsi nasi ayam betutu, Tribunnews kembali ke penginapan, berkemas untuk pulang keesokan harinya.
Selesai sudah perjalanan Tribunnews selama tiga hari empat malam di Banyuwangi.
Bagi Tribunnews, perjalanan ke Banyuwani tak hanya soal fisik, tapi juga hati.
Ada banyak jejak kenangan yang tertinggal di Banyuwangi yang tak henti membuat jatuh hati.
Bila ditanya apakah ingin ke Banyuwangi lagi, jawabannya: "Ya, saya ingin kembali ke Banyuwangi." (*)
Catatan perjalanan lainnya dapat disimak di bawah ini:
Baca: Catatan Perjalanan ke Banyuwangi (I): Selalu Bikin Jatuh Hati dan Ingin Kembali
Baca: Catatan Perjalanan ke Banyuwangi (2): Nikmatnya Mencicip Cokelat Glenmore & Ditampar Sego Tempong