Ramon Y Tungka Cerita Pengalaman Daki Gunung Kilimanjaro, Setahun Latihan, Menuju Puncak Sempat Drop
Menurut Ramon, selain fisik dan perbekalan, hal lain yang tak kalah penting untuk disiapkan menjelang pendakian, adalah mental.
Editor: Willem Jonata
Laporan wartawan TribunJakarta.com, Pebby Adhe Liana
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Aktor sekaligus traveller Ramon Y Tungka berbagi pengalaman kala mendaki gunung Kilimanjaro.
Menurut Ramon, selain fisik dan perbekalan, hal lain yang tak kalah penting untuk disiapkan menjelang pendakian, adalah mental.
"Mental tuh sangat penting. Perencanaan dan persiapan di awal. Sifatnya faktor keberhasilan itu 90 persen dari persiapan, lalu 10 persen eksekusi. Itu sisanya serahkan pada tuhan. Jadi mental harus dipupuk," kata Ramon saat bertemu media di Eiger Adventure Flagship Shore Sumatera, Bandung.
Meski punya banyak pengalaman pendakian, Ramon rupanya juga pernah mengalami mental drop saat mendaki gunung Kalimanjaro.
Baca juga: Cara Gunakan Carrier Ala Traveller Ramon Y Tungka
Pendakian tersebut, kata Ramon, dilakukan pada tahun 2018.
Kala itu, berbagai persiapan sudah dilakukan dengan matang sejak setahun sebelumnya.
Mulai dari persiapan fisik, seperti latihan, melakukan perjalanan pendakian setiap bulan dan bahkan sampai setiap minggu selama setahun, juga persiapan perbelakan yang bisa mendukung perjalanannya selama mendaki gunung Kalimanjaro.
"Saya berlatih 1 tahun. Mulai porsi latihannya yang 3 bulan sekali naik gunung, sebulan sekali, dua minggu sekali, sampai seminggu sekali pendakian, latihannya lama, menuju puncaknya saya drop. Itu masalah mental bukan fisik lagi," kata Ramon.
Kala itu, Ramon merasa tak yakin bisa melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Padahal, saat itu hanya tinggal sedikit lagi ia bisa menuju puncak.
Jaraknya menurut Ramon hanya tinggal ratusan meter saja.
Tetapi, rasa jenuh, bosan, dan lelah saat melakukan pendakian selama berhari-hari nyaris membuatnya menyerah dan merasa tak kuat lagi untuk melanjutkan.
"Dinginnya minus 20 derajat, apalagi makin pagi makin dingin, masuk angin, stres juga ada. Kalau sudah di atas gunung, apapun bisa terjadi. Padahal tinggal ibaratnya kalau jalan kaki 30 menit sampe puncak. Saya kayak mau nangis, ya Allah saya gak kuat," ungkapnya.
Meski sudah berlatih selama setahun, namun saat itu berbagai hal turut dirasakan Ramon menjelang sampai puncak.
Mulai dari rasa gemetar, mual-mual, lelah, kedinginan, muntah, sampai timbul perasaan jenuh.
"Itu hampir nangis. Tapi yang membuat saya beneran nangis, adalah saya inget omongan anak saya," tuturnya.
Satu-satunya hal yang memotivasi Ramon untuk kembali bangkit adalah sang anak.
Menurut Ramon, tujuannya selama ini berlatih demi pendakian ke Gunung Kalimanjaro untuk mengibarkan sang merah putih sekaligus membawa cerita kepada sang anak.
"Saya keluarin Hp saya dari jaket, saya copot sarung tangan, cuma mau lihat video anak saya ngomong 'Papa hati-hari ya, nanti pulang main lagi', lihat itu doang saya langsung nangis. Itu spirit saya," cerita Ramon.
"Akhirnya saya bisa bangkit, hajar. Buat apa sampai sini latihan setahun kalau tinggal dikit lagi gue runtuh. Saya lihat foto anak saya, saya nangis, saya berdiri. Tujuan saya setahun latihan inten sampai atas dengan tujuan ngibarin bendera Indonesia dan pulang bawa cerita buat anak. Karena akhirnya ekspedisi atau perjalanan tujuannya hanya satu, pulang ke rumah dengan selamat sehat," pungkasnya.