Matcha Langka di Jepang, Mengapa Konsumsi Berlebihan Bisa Jadi Masalah?
Merek teh Jepang yang menjual bubuk matcha kini kesulitan memenuhi permintaan yang sangat tinggi baik di toko fisik maupun online mereka.
Penulis: Ambar Purwaningrum
TRIBUNTRAVEL.COM - Dengan popularitasnya yang melonjak di seluruh dunia, bubuk matcha kini menjadi incaran utama di banyak daftar belanja.
Selama berbulan-bulan, video "Japan Haul" sering menampilkan puluhan kaleng matcha yang dibeli wisatawan di Kyoto dan Tokyo.
Baca juga: 5 Tempat Wisata di Tokyo, Jepang untuk Penggemar Pokemon
Baca juga: 5 Tempat Terbaik untuk Membeli Produk Kosmetik di Tokyo, Jepang
Bahkan, para "pencipta matcha" rela membawa koper besar yang penuh dengan berbagai rasa dari merek terkenal untuk dicoba dan dijadikan konten.
Namun, konsumerisme matcha yang masif ini nampaknya akan terhenti — permintaan yang ekstrem menyebabkan kelangkaan matcha yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jepang.
Baca juga: Panduan Lengkap Transportasi di Tokyo Jepang: Tips Hemat Berkeliling Kota
Baca juga: 10 Tempat Belanja Terbaik di Tokyo Jepang, Surga Fashion dan Anime
Kenaikan Permintaan Matcha
Dilansir dari tokyoweekender, merek teh Jepang yang menjual bubuk matcha kini kesulitan memenuhi permintaan yang sangat tinggi baik di toko fisik maupun online mereka.
Banyak di antaranya yang telah menghentikan penjualan produk matcha sama sekali.
Ippodo dan Marukyu Koyamaen, dua merek ternama, bahkan untuk pertama kalinya kehabisan hampir seluruh koleksi matcha mereka.
Baca juga: 7 Tempat Wisata di Tokyo Jepang yang Aman Dikunjungi Bareng Anak, Lengkap dengan Alamat
Kapasitas Perkebunan Teh yang Terbatas
Satu alasan utama harga matcha yang premium adalah proses produksinya yang rumit dan memakan waktu.
Daun teh terbaik hanya dipanen sekali dalam setahun, dalam jangka waktu yang sangat terbatas, kurang dari dua bulan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika stok matcha di Jepang mulai habis untuk tahun ini.
Daun teh terbaik ("first flush") dipanen pada bulan April dan Mei, dan petani tidak bisa memprediksi lonjakan popularitas matcha yang begitu besar sejak saat itu.
Meskipun ada "second flush" dan "third flush" yang dipanen dari Juni hingga Oktober, kualitasnya tidak sebaik daun teh pertama, dan kurang diminati oleh merek maupun konsumen.
Dampak Terhadap Merek Matcha Jepang
Sejak bulan Oktober, beberapa perusahaan berusaha untuk menjaga persediaan mereka.
Toko khusus di Tokyo dan Kyoto mulai membatasi pembelian satu item per orang, terutama untuk rasa yang paling dicari.
Pada 5 September, Ippodo mengumumkan kenaikan harga untuk produk matcha mereka.
Marukyu Koyamaen melakukan hal yang sama pada bulan Oktober dan memperingatkan pelanggan untuk tidak melakukan pembelian online untuk tujuan dijual kembali.
Beberapa tempat di luar negeri juga mulai memberlakukan pembatasan serupa.
Kafe dan pengecer di Sydney mulai mengenakan batasan pembelian, dan menurut The Strait Times, bisnis di Singapura telah menaikkan harga produk matcha hingga 15 persen sejak pertengahan Oktober.
Mengapa Matcha Begitu Populer di Luar Negeri?
Meskipun camilan rasa matcha seperti KitKat sudah lama menarik perhatian wisatawan di Jepang, minuman teh tradisional ini baru-baru ini mengalami lonjakan penjualan yang luar biasa.
Ekspor teh Jepang — termasuk matcha — mencapai ¥29,2 miliar pada tahun 2023, yang merupakan dua kali lipat dari jumlah yang tercatat pada tahun 2019.
Daya Tarik Visual di Instagram
Satu alasan utama lonjakan permintaan matcha secara global adalah media sosial.
Pada puncak budaya foodies di Instagram pada pertengahan 2010-an, makanan penutup dan hidangan brunch harus tidak hanya enak, tetapi juga menarik secara visual untuk menonjol di tengah lautan makanan yang sudah ada.
Restoran dan kafe di kota-kota besar tidak bisa lagi hanya mengandalkan rasa atau manfaat kesehatan untuk menarik perhatian pelanggan — makanan perlu "Instagramable" agar mendapat perhatian.
Contohnya adalah Cha Cha Matcha, yang dibuka di New York pada tahun 2016, menjadi satu kedai pertama di dunia Barat yang memanfaatkan daya tarik estetika matcha.
Dengan tampilan toko serba merah muda dan motif pohon palem, kafe ini dengan cepat memperoleh banyak pengikut.
Cha Cha adalah satu contoh dari banyak bisnis Barat yang terus memanfaatkan matcha hingga saat ini.
Tren TikTok
Tren membuat matcha latte di rumah juga relatif baru.
Dengan meningkatnya popularitas TikTok selama lockdown pandemi 2020, membuat minuman menarik seperti kopi dalgona Korea menjadi cara untuk mengatasi stres dan kebosanan.
Di antara banyak resep viral seperti banana bread dan pasta feta panggang, matcha terus berkembang pesat, terutama di dunia digital.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh asosiasi minuman ini dengan berbagai "estetika" TikTok yang mengemas tren mikro dan produk ke dalam konten aspiratif.
Konsumsi yang Sadar dan Sumber Alternatif
Sangat mudah untuk terjebak dalam peluang belanja yang tak ada habisnya di Jepang, baik itu membeli boneka Hello Kitty langka atau sepatu Onitsuka Tiger edisi terbatas.
Namun, penting untuk diingat bahwa membeli terlalu banyak kaleng matcha dan menimbunnya bisa merampas kesempatan orang lain untuk menikmati minuman favorit mereka.
Ini juga menjadi hambatan bagi para praktisi upacara teh.
Sebagai fenomena global, matcha kini tersedia di luar toko Jepang dan toko online.
Merek yang berbasis di AS, seperti Rocky’s Matcha, Chamberlain Coffee, Blue Bottle, dan Nami Matcha, semakin populer sebagai alternatif yang solid untuk pilihan dari Jepang.
Alih-alih membeli sebanyak mungkin kaleng matcha selama kunjungan singkat ke Jepang, wisatawan mungkin lebih baik membeli matcha di negara asal mereka dengan harga sedikit lebih tinggi.
Lagipula, minuman upacara ini sebaiknya dinikmati dalam jumlah kecil, dan memiliki masa simpan yang singkat — membekukannya bisa merusak rasa dan teksturnya.
Apakah permintaan matcha akan tetap tinggi setelah panen tahun depan masih harus dilihat, tetapi kelangkaan tahun ini seharusnya mendorong para penggemar untuk lebih bijak dan berkelanjutan dalam menikmati matcha.
Ambar/TribunTravel