Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Tulis Tangan Surat kepada Paus
Putut Prabantoro, ketua rombongan wartawan dan PB HMI ke Vatikan meminta menulis surat dengan tangan dalam bahasa Inggris.
Penulis: Domu D. Ambarita
Editor: Ade Mayasanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com Domu D Ambarita
TRIBUNNEWS.COM, VATIKAN - "AYO, Tom, Dom. Bantu aku bikin surat ke Paus. Bagaimana pun caranya, kita harus sampaikan amanat Fra Elia. Masalah ditanggapi atau tidak, itu bukan urusan kita," ujar Putut Prabantoro, ketua rombongan kami, wartawan dan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam ke Vatikan.
Putut meminta tolong Tomy dan saya, wartawan dari Jakarta mengeluarkan kata-kata untuk surat tulis tangan dalam bahasa Inggris. Kemampuan kami bertiga berbahasa Inggris di bawah rata-rata. "Yang penting artinya dimengerti, soal struktur bahasa, tidak soal," tambahnya.
Selasa itu, malam sudah larut. Kami bertiga menginap sekamar di 623 hotel Star Michelangelo, hanya ratusan meter dari dinding istana Vatikan. Siang sebelumnya, kami perjalanan dua jam naik kereta apai keluar kota Roma, arah utara. Sedianya kami turun dari Narni, tapi warga setempat mengarahkan ke stasiun berikutnya, Terni. Kota kecil daerah pegunungan yang ditanami pertanian jagung, gandum, anggur dan pohon zaitun.
Saat bersamaan, kawan-kawan aktifis HMI menikmati perjalanan ke menara miring Pisa, juga di utara Roma. Kota kecil, bernama Pisa, di Provinsi Tuscany. Perjalanan mereka lebih jauh. Turun dari kereta, tengah hari, kami mencari menu selera Asia untuk makan siang, dan menemukan rumah makan China, berjalan 10 menit dari alun-alun Terni.
BACA JUGA: Menapaki 551 Anak Tangga Kubah St Petrus
Ketika waktu tersisa pukul 15.00, 1 jam 30 menit menuju pukul 16.30 setempat, kami bergegas mencari informasi tumpangan ke arah Kalvi. Semula menduga dekat, dan bisa dilalui dengan menumpang bus atau angkot, maka kami mencegat bus. Ternyata daerah dituju adalah lokasi lumayan terpencil. Beruntung satu taksi, ngetem di dekat stasiun Terni.
"Wow.. itu jauh. Tapi tidak apa, saya akan antar kalian. Saya kasih tarif spesial, 50 eura, ini lebih murah dari tarih normal," kata sang sopir taksi, laki-laki 50-an tahun, bertubuh tambun. Betul saja, perjalanan 36 kilometer melewati perkebunan dan pertanian, lalu kami tiba di Kalvi, Jalan San Francisco 12. Argo pada dashboard taksi tercantum angka 58 euro, setara sekitar Rp 700 ribu.
Kami tiba di kediaman Bruder atau Fra Elia, kaum selibat Katolik, namun bukan imam, mendekati pukul 17.00. Terlambat. Sebelum turun, kami memastikan, si sopir taksi apakah bersedia menunggu. Sebab waktu untuk kembali mepet, pukul 19.00 harus naik kereta balik ke Roma. "Ya, oke. 18 euro per jam untuk menunggu, ya!" katanya.
"Tingtong... tingtong." Bel kediaman Bruder kami bunyikan. Seorang laki-laki paruh baya, mengenakan kemeja biru angin, serasi dengan celana panjang, dan sandal kulit cokelat. Tangan kirinya menggamit HP ukruan mini. "Saya sudah menunggu. Tadi pagi teman anda dari Vatikan mengabari saya, kalian akan datang," katanya.
BACA TOPIK TULISAN SEPEKAN DI VATIKAN
Bruder Elia adalah orang langka. Ia mendapat anugerah stigmata, tanda-tanda luka seperti dialami Nabi Isa atau Yesus Kristus ketika disalib. Kemerah-merahan seperti bekas luka paku di pergelangan tangan, bagian luar dan dalam, juga di pergelakangan kedua kaki. Orang sekitar mempercayai dia mempunyai kelebihan anugerah doa. Buku kisah mengenai fenomena stigmata ini sudah beredar luas, di Indonesia.
Sejauh ini gereja Katolik Roma, termasuk paus sangat hati-hati menanggapi kelebihan Bruder Elia. Dia sendiri sudah pernah bertemu Paus, secara massal dan dia penasaran ingin bertemu empat mata. "Setelah kalian bertanya tentang saya, boleh kah saya bertanya ke kalian? Kalian kan punya kawan di Kepausan, maka tolong sampaikan keinginan saya bertemu empat mata dengan paus. Saya ingin berbicara seperti anak dengan bapaknya, menyampaikan apa yang saya alami," katanya.
Itulah pesan dan amanat yang kami dapat. Maka, ketika mengetahui ada peluang bertemu Paus, Putut pun berusaha menulis surat. "Siapa tahu besok bisa bertemu dan salaman dengan paus," katanya. Walau akhirnya tidak dapat berjabat tangan, terpaut jarak sekitar 7 meter dari paus, surat itu Putut kirimkan melalui pos di Vatikan.
Ikuti Laporan: Tiket Kelas Menteri untuk Bertemu Paus
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.