Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

RUU Ormas dan Proknastinasti

Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 Juni 2013 belum sepakat untuk mengesahkan RUU Ormas menjadi UU

zoom-in RUU Ormas dan Proknastinasti
SERAMBI INDONESIA/M ANSHAR
Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Aceh melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Banda Aceh, Jumat (12/4). Mereka membawa poster berisikan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). SERAMBI/M ANSHAR 

Laporan Tribunners, Toni Ervianto *)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 Juni 2013 belum sepakat untuk mengesahkan RUU Ormas menjadi UU, walaupun semua fraksi menerima untuk segera disahkan kecuali fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) masih menolaknya. Menurut M Najib, anggota Pansus RUU Ormas dari PAN yang juga mantan aktivis Muhammadiyah mengatakan, FPAN lebih condong menyetujui pengesahan RUU Ormas, karena sejumlah ormas yang mengubah posisinya dari menentang menjadi mendukung RUU Ormas.

Pihak DPR-RI sendiri, bila tidak aral melintang, maka pengesahan RUU Ormas menjadi undang-undang akan dilaksanakan pada 2 Juli 2013.

Pembahasan RUU Ormas ini sudah memakan waktu yang sangat lama, karena ide pemerintah untuk membuat RUU Ormas yang kemudian disambut legislatif sudah terjadi sejak tahun 2011 (sehingga dapat dibayangkan berapa besar anggaran negara yang sudah dikeluarkan untuk membahasnya sampai saat ini).

Meskipun demikian, menurut catatan berbagai kalangan setidaknya ada 98 Ormas yang menolak RUU Ormas ini, termasuk salah satunya PP Muhammadiyah melalui Din Syamsuddin, Ketua Umumnya.

Menurut Din Syamsuddin, jangan sampai melalui UU Ormas nanti ada pembalikan arah jarum jam sejarah ke arah otoritarianisme dan represif, dimana hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat karena melemahkan konsolidasi demokrasi Indonesia dan mempersempit ruang partisipasi warga.

Din Syamsuddin menilai, pembahasan RUU Ormas sudah keliru sejak awal, karena justru bertolak belakang dengan Pasal 28 UUD 1945 yang menyebutkan masyarakat diberikan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. (Media Indonesia, 25 Juni 2013).

BERITA REKOMENDASI

Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Syaiful Bahri menilai RUU Ormas lebih represif dibandingkan dengan UU No 8 Tahun 1985, dengan alasan UU No 8 Tahun 1985 lebih sederhana karena jumlah pasalnya hanya 20 pasal, sedangkan RUU Ormas memuat 88 pasal. Menurutnya, PP Muhammadiyah menolak RUU Ormas karena akan mengarah kepada rezim birokrasi perizinan.

Penolakan terhadap RUU Ormas pada dasarnya menyebutkan, RUU Ormas merupakan instrumen negara yang masuk ke wilayah privat dari kebebasan berserikat, berkumpul dan berorganisasi. Negara menjadi penentu dapat tidaknya seseorang berserikat.

Ada juga yang menyatakan, negara akan mengontrol seluruh aktivitas politik warga negara dengan berlindung di balik politik perizinan, pelaporan dan pengawasan. Mereka yang menolak juga mempersoalkan Pasal 16 RUU tersebut, yang berbunyi pendaftaran ormas yang tidak berbadan hukum harus memiliki surat keterangan terdaftar yang diberikan oleh Menteri bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan nasional, gubernur bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan provinsi dan bupati/walikota bagi ormas yang memiliki wilayah kegiatan kabupaten/kota.

Pasal 21 dan 61 juga dinilai menuai kontroversi karena berpotensi melanggar HAM. Dalam Pasal 61 diantaranya disebutkan bahwa ormas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan. Pasal itu layaknya pasal karet yang sangat subyektif (Bedah Editorial Media Indonesia, 27 Juni 2013).

WATON SULOYO DAN PROKNASTINASTI


Berdasarkan teori pendulum, pro kontra terhadap RUU Ormas ataupun perkembangan dinamika politik Indonesia saat ini sebenarnya masih dalam tahap keteraturan dengan dinamika yang berlawanan, dengan tidak jarang menempatkan pihak pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) berada dalam posisi sebagai “common enemy”.

Dari berbagai alasan yang dikemukakan pihak yang kontra terhadap RUU Ormas, penulis menilai bahwa mereka adalah penganut “invisible hand theory” yaitu sebuah teori yang menyakini bahwa biarkan perjalanan hidup di dunia ini dengan segala dinamikanya berjalan dengan sendirinya, karena dapat berjalan sendiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Kelompok ini yang seringkali menilai kondisi saat ini sebagai kondisi negara “autopilot” karena ketidakhadiran negara atau pemerintah, padahal mereka yang memposisikan dan mendesign untuk meminimalisir peran negara/pemerintah, sedangkan apabila terjadi permasalahan maka negara atau pemerintah yang ditunjuk sebagai “biang keladinya” dengan melakukan pembiaran.

Kelompok yang menolak pengesahan RUU Ormas menurut penulis adalah kelompok yang asal waton suloyo (asal beda atau asal bunyi), karena rasionalisasi atas argumentasi penolakannya sangat lemah. Jika RUU Ormas dikatakan menabrak Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berorganisasi, maka sebelum mengarah ke konklusi tersebut maka ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab oleh kelompok penolak RUU Ormas yaitu “pihak mana yang diberikan wewenang dan legitimasi oleh rakyat untuk mengatur agar pelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 berjalan dengan baik, dan tidak merugikan hak dan kewajiban orang lainnya?”.

Jawabannya pasti jelas yaitu negara atau pemerintah yang sah hasil Pemilu.

Di negara manapun, kebebasan tetap harus “diatur” agar tumbuh menjadi kebebasan yang ramah, bertanggungjawab dan dewasa. Indonesia menurut penulis dalam mengatur kebebasan warganya masih cenderung lebih moderat dibandingkan negara-negara lainnya seperti misalnya Malaysia yang mempunyai Internal Security Act (ISA), Amerika Serikat yang membolehkan CIA menyadap kebebasan warganya ataupun New Zealand yang memiliki banyak UU terkait dengan intelijen dan keamanan nasional.

Sementara itu, penolakan RUU Ormas yang mempersoalkan jumlah pasal sebenarnya juga sangat dangkal, karena secara logika rasional jelas perkembangan lingkungan strategis (lingstra) global, regional dan nasional pada situasi dan kondisi UU No 8 Tahun 1985 dibuat dengan situasi dan kondisi saat ini dikaitkan dengan perkembangan lingstra di saat RUU Ormas dibuat jelas sangat berbeda bagaikan “bumi dengan langit”.

Sehingga wajar jika RUU Ormas memuat lebih banyak pasal dibandingkan UU No 8 Tahun 1985, karena sejatinya pasal dalam sebuah UU merupakan merepresentasi atau pengejawantahan dari aspek meminimalisir ancaman terhadap kepentingan nasional atau percepatan gerakan dinamika persoalan itu sendiri.

Pasal 61 RUU Ormas sudah jelas urgensinya, publik sudah pasti tidak menginginkan kehadiran ormas di era reformasi saat ini menjadi “distributor anarkisme”, sedangkan Pasal 16 soal pendaftaran ormas sejatinya dilandasi oleh semangat bukan untuk mengontrol ormas, melainkan dalam rangka pembinaan (jika penolak RUU Ormas menganalisanya secara obyektif bukan berdasarkan kepentingan politik praktis, maka akan mudah memahaminya). Last but not least, kehadiran RUU Ormas sebenarnya merupakan upaya kita bersama untuk menghindari terjadinya proknastinasti (policy of doing nothing) atau kebijakan tanpa berbuat apa-apa atau nihilisasi peran negara yang itu sangat berbahaya bagi konsolidasi demokrasi kita.

*)Penulis adalah alumnus pasca sarjana Kajian Intelijen Strategik, Universitas Indonesia dan Dosen STIN. Tinggal di Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas