Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Masih Inginkah Kita Membuat PLTN (Nuklir) ?
Menurut Kepala Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir BATAN, Setiyanto, Indonesia memang sudah
Editor: Widiyabuana Slay
Richard Susilo*)
TRIBUNNEWS.COM - Menurut Kepala Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir BATAN, Setiyanto, Indonesia memang sudah sepakat bahwa nuklir bukan untuk pembuatan persenjataan dan sejenisnya. Lalu meminta masyarakat agar mengerti pentingnya pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) bagi Indonesia saat ini. Bahkan menekankan di antara Amerika, Rusia, China dan India, hanya Indonesia yang belum pakai PLTN.
Mungkin perlu diteliti apa latar belakang Kepala Batan berkomentar demikian. Lepas dari hal tersebut dan lepas dari pro maupun kontra penggunaan PLTN di Indonesia, ada baiknya kita melihat Jepang, kenyataan yang ada hingga saat ini. Setidaknya sampai dengan Oktober ini apa yang telah terjadi dengan bencana meledaknya PLTN di Fukushima sejak 11 Maret 2013 saat bencana alam di sana itu.
Kita ketahui Jepang adalah negara maju, Gross Domestic Product (GDP) Jepang per 31 Desember 2012 sebesar 5960 miliar dolar AS atau 9,61 persen dari perekonomian dunia. Uang yang ada di bawah bantal, ada di masyarakat Jepang saat ini sedikitnya 14 triliun dollar AS, setiap saat bisa diaktifkan dengan sempurna untuk menggerakkan perekonomian Negeri Sakura tersebut.
Ada 50 reaktor nuklir di Jepang dan semakin sedikit yang aktif. Sementara pasokan listrik dari 30 persen akan dinaikkan menjadi sekitar 40 persen dari PLTN. Meskipun demikian kelompok anti-nuklir masyarakat Jepang semakin kuat dari hari ke hari.
Terakhir unjuk rasa terbesar tanggal 14 September 2013, sehari sebelum reactor No. 4 PLTN Oi yang ada di Fukui perfektur direncanakan ditutup untuk inspeksi. Sebanyak 9.000 pengunjuk rasa berkumpul di Taman Kameido Chuo yang kemudian bergerak ke JR Kinshicho Station serta juga ke menara tertinggi di Jepang terbaru, Tokyo Skytree. Mereka minta nuklir dihapuskan dari bumi Sakura ini.
Kegiatan rutin setiap Jumat sore, setiap minggu dekat Kantor PM Jepang di Kasumigaseki-Nagatacho Tokyo juga selalu muncul pengunjuk rasa agar menghentikan nuklir di Jepang.
Perasaan kuat masyarakat Jepang untuk menghentikan nuklir bukan tanpa alasan. Operator PLTN Fukushima, Tepco, di mana reaktor nya meledak setelah gempa bumi 11 Maret 2011, jelas-jelas banyak berbohong kepada masyarakat mengenai berbagai hal dan akhirnya terungkap pers Jepang besar-besaran.
Sejak saat itulah masyakarat Jepang semakin tidak percaya dengan para Operator PLTN di Jepang. Bahkan sampai saat ini pun.
Bisa dibayangkan, saat itu hanya 50 orang termasuk anggota mafia Jepang – Yakuza – membantu menjinakkan reaktor dan kebocoran nuklir di Fukushima, sehingga mereka kini dijuluki Pahlawan 50 oleh masyarakat Jepang. Pekerja yang lain kabur semua menyelamatkan diri setelah ledakan dan kebocoran nuklir tersebut.
Laporan WHO 2013 memprediksi bahwa ada risiko 70 persen lebih tinggi terkena kanker tiroid untuk anak perempuan terpapar sebagai bayi di daerah yang paling terkontaminasi , risiko 7 persen lebih tinggi dari leukemia pada pria terkena sebagai bayi di daerah yang paling terkontaminasi , risiko 6 persen lebih tinggi dari kanker payudara pada wanita terkena sebagai bayi di daerah yang paling terkontaminasi , tetapi hanya risiko 4 persen lebih tinggi , secara keseluruhan , mengembangkan kanker solid untuk wanita .
Sebuah program skrining menemukan bahwa lebih dari sepertiga ( 36 persen ) dari anak-anak di Prefektur Fukushima memiliki pertumbuhan abnormal dalam kelenjar tiroid mereka tetapi ini tidak dikaitkan dengan efek radiasi. Pada Agustus 2013 , telah ada lebih dari 40 anak yang baru didiagnosa menderita kanker tiroid dan kanker lainnya di prefektur Fukushima secara keseluruhan.
Pada tanggal 5 Juli 2012, Diet Nasional Jepang menunjuk Komisi Independen Investigasi Kecelakaan Nuklir Fukushima (NAIIC) menyampaikan laporan penyelidikan. Hasilnya, bencana nuklir adalah " buatan manusia " , bahwa penyebab langsung kecelakaan semua mendatang sebelum 11 Maret 2011. Hasil lain, PLTN Fukushima tak mampu mampu menahan gempa bumi dan tsunami.
TEPCO , badan pengawas (NISA dan NSC) dan kementerian ekononomi industri dan perdagangan Jepang (METI), semua gagal mengembangkan sistem keselamatan yang paling dasar, seperti kemungkinan kerusakan, jaminan persiapan diri atas bencana, dan pengembangan rencana evakuasi bagi masyarakat.
Tepco pun akhirnya mengakui untuk pertama kalinya pada 12 Oktober 2012 bahwa mereka telah gagal untuk mengambil tindakan kuat untuk mencegah bencana karena takut mengundang tuntutan hukum atau protes terhadap nuklirnya. Meskipun demikian tidak ada yang jelas rencana pembongkaran PLTN mereka tersebut.
Kasus masih berlanjut tanggal 22 Juli 2013, lebih dari dua tahun setelah insiden tersebut, terjadi kebocoran air radioaktif ke Samudra Pasifik sesuatu yang lama dicurigai oleh nelayan lokal dan peneliti independen .
Padahal sebelumnya Tepco telah membantah bahwa hal itu terjadi. Kembali lagi Tepco berbohong sehingga pemerintahan Shinzo Abe menekan keras Tepco agar melakukan penyelidikan dengan lebih seksama mengenai kebocoran tersebut dan akhirnya mengakui kebenaran tersebut.
Bisa dibayangkan, 300 metrik ton air yang sangat terkontaminasi radioaktif telah bocor dari tangki penyimpanan, sehingga membahayakan daerah sekitar termasuk tanah pertanian sekitarnya. Kebocoran itu dinilai pada level 3 Skala Pendeteksian Radioaktif Nuklir Internasional. Akhirnya tanggal 26 Agustus 2013, pemerintah mengambil alih tindakan darurat untuk mencegah kebocoran air radioaktif lebih lanjut. Satu bukti kurang percaya kepada Tepco.
Fakta di lapangan menunjukkan, Jepang yang telah bekerja sangat presisi, sangat tepat, kerja keras, kerja detail dan tepat waktu, harus pula mengalami ketidakmampuan penanganan PLTN nya hingga kini. Padahal kejadian telah dua setengah tahun berlalu.
Banyak dampak kecelakaan nuklir tersebut dan terakhir adalah larangan masuk ikan dan makanan laut dari Jepang ke Korea Selatan, sejak sekitar Juni lalu hingga Oktober 2013 ini. Ketua Federasi Asosiasi Koperasi Perikanan Nasional Jepang, Hiroshi Kishi, 2 Oktober 2013 sempat menghadap kepada Duta Besar Korea di Tokyo memohon agar larangan tersebut dicabut segera karena akan berdampak kurang baik bagi industri perikanan Jepang.
Menjadi pertanyaan kini, dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan cara kerja yang ada di Indonesia saat ini, apakah kita semua siap untuk tetap melanjutkan proyek PLTN di Indonesia dengan segala risiko yang sangat besar bagi anak cucu kita?
Daripada debat kusir berkepanjangan mengenai PLTN mengapa tidak mengembangkan pembangkit listrik sumber energi alternatif yang lain, misalnya matahari, gas bumi, batubara. Bahkan batubara di Kalimantan yang jumlah cadangannya terlalu amat sangat banyak, bisa dikembangkan untuk pembangkit listrik. Kualitas batubara Kalimantan pun telah ditingkatkan dengan level kekeringan jauh lebih baik oleh sebuah perusahaan Jepang di sana, sehingga nantinya tidak akan mengeluarkan asap tebal hitam seperti terjadi selama ini.
Penggunaan sumber energi tersebut masih jauh lebih baik, apalagi kalau melihat risiko terhadap kelanjutan kehidupan manusia di masa mendatang. Katanya Indonesia kaya akan sumber daya alam, mengapa tak dilakukan perencanaan dan pengembangan semua itu dengan lebih baik sejak sekarang. Tidak ada kata terlambat bagi upaya penyelamatan dan pengembangan hidup manusia bagi masa depan yang lebih baik. Sekarang juga dilakukan, kita pasti bisa!
*) Penulis adalah Koordinator Forum Ekonomi Jepang-Indonesia yang berdomisili di Tokyo sejak lebih dari 20 tahun. Konsultan Bisnis Profesional Jepang-Indonesia. Email: info@promosi.jp