Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Berebutlah Berkuasa, Toh Rakyat Tetap Nelangsa
Kita mungkin akan senyum sukacita saat prediksi yang kita gelar ke berbagai khalayak menjadi kenyataan.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh pengamat ekonomi politik DR Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kita mungkin akan senyum sukacita saat prediksi yang kita gelar ke berbagai khalayak menjadi kenyataan.
Tapi yang terjadi pada saya justru sebaliknya. Rasa sedih disertai ucapan astaghfirullah mengemuka saat prediksi yang saya sampaikan sejak saya di DPR dulu menjadi fakta. Pada 1998 di hadapan DR Budiono misalnya, yang saat itu menjadi Meneg PPN/Kepala Bappenas saya meminta agar Indonesia melakukan moratorium utang luar negeri.
Bahkan dengan tegas saya menyampaikan gagasan agar Indonesia berani debt relief dan, atau mengemplang utang karena utang itu telah melahirkan kejahatan kemanusiaan seperti memburuknya kualitas hidup manusia Indonesia dan merajalelanya ketertindasan ekonomi.
Budiono, Bambang Subiyanto, Ginandjar Kartasasmita dan otoritas moneter (Bank Indonesia) menolak gagas saya. Termasuk beberapa ekonom dari FE-UI dan FE-UGM pun bersikap sinis akan kajian dan pemikiran saya. Tak cuma itu, saya juga menolak liberalisasi perdagangan dan keuangan serta perbankan.
Dalam berbagai kesempatan di ragam khalayak publik saya mengatakan, Indonesia akan tergilas oleh pilihan kebijakan ekonominya. Hasilnya saya dituding chauvinis, bahkan nasionalis sempit dan ada juga seorang menteri mengatakan bahwa saya ultra nasionalis.
Toh kebijakan ekonomi tetap berjalan di jalur mekanisme pasar bebas dan berada di lingkup pemikiran pembangunan-isme dan globalisasi ala Barat. Maka pada Maret 2008 saya menghimpunan ragam artikel saya yang sudah dimuat di berbagai media menjadi buku dengan tajuk “Kita Belum Merdeka” dan “Selamat Datang di Negeri Amburadul”.
Judulnya sudah menyampaikan pesan bagaimana kondisi Indonesia. Karenanya pada masa kampanye Pilpres 2009, saya menyampaikan gagas, asal bukan neolib. Seketika SBY merespon bahwa dia memilih jalan tengah. Senin, 16 Desember 2013, berbagai media cetak memuat berita, selama 25 tahun Indonesia tetap berada dalam posisi berpendapatan menengah bawah karena PDB perkapita Indonesia masih 5.170 dolar AS.
Peluang ekonomi stagnan bahkan di depan mata karena dalam tiga tahun ke depan pertumbuhan ekonomi sukar berada di atas 6 persen pertahun. Itulah alasan kenapa saya justru bersedih saat prediksi saya menjadi kenyataan.
Merespon berita dan kondisi itu, seorang wartawan senior yang saya kenal baik berkata, “kini orang mengakui, Anda benar.” Saya hanya tersenyum. Sebenarnya dalam berbagai forum seminar dan diskusi saya lebih banyak mengundang beberapa pejabat, politisi dan akademisi menatap lebih dalam data perekonomian.
Misalnya data Gini rasio yang terus meningkat, struktur pertumbuhan di P Jawa dan luar Jawa yang terus timpang, struktur kepemilikan dana pihak ketiga di perbankan untuk jumlah di atas 2 milyar rupiah yang sangat dominan, besarnya UKM menyerap lapangan kerja yang makin tahun makin meningkat.
Banyaknya perbankan umum dan perbankan rakyat yang terkonsentrasi di kota-kota besar. Sehingga BI dan OJK merasa perlu menerbitkan kebijakan branchless banking, struktur penguasaan sumberdaya strategis dan produksi serta distribusi yang melanggengkan konglomerasi dan konsentrasi bisnis, dan kebijakan ekonomi yang urban oriented.
Yang disertai dengan pendalaman kebijakan liberalisasi perdagangan, jasa dan keuangan. Lalu, apakah data itu memberi pembelajaran khusus dan mencambuk sejumlah pemimpin agar menjawab ketertindasan, kemiskinan (moral, intelektual dan material), kebodohan, ketimpangan, dan ketertinggalan bangsa Indonesia ?
Artikel saya pada medio September 2013 bertajuk “Lima Skenario 09 Juli 2014” yang dimuat di Media Indonesia dan beberapa media lain sudah sampai pada simpulan, Pemilu 2014 tidak menjanjikan perubahan signifikan siapapun pemimpin terpilihnya.
Kenapa demikian ? Saat Orde Baru berkuasa, ekonom Mafia Berkeley patuh atas “anjuran” Barat atas konsep pembangunan-isme. Ketika reformasi berlangsung, mereka setia pada aliran pemikiran yang “diinjeksikan” IMF, Bank Dunia, WTO dan ADB serta OECD.
Saat itu para “penyanjung dan penganjur” globalisasi dengan rayuan rentenirnya menggunakan istilah reformasi struktural. Keluarannya antara lain, terbitkan kebijakan liberalisasi, cabut subsidi enerji dan pangan. Kini agar Indonesia naik kelas menjadi berpendapatan menengah atas (USD 7.250-11.750), mereka menggunakan istilah transformasi struktural ekonomi.
Lagi-lagi isinya konsisten, liberalisasikan berbagai sektor perekonomian lebih luas dengan rujukan globalisasi karena liberalisasi yang sekarang terjadi di Indoensia masih menyisakan kekuatan ekonomi nasional.
Bahasa sederhananya, sistem ekonomi yang sekarang sudah memerangkap Indonesia, harus lebih kukuh lagi memenjara tanpa harus peduli pada bagaimana tegaknya amanat ekonomi konstitusi.
Itulah sistem yang berlaku. Kalau begitu, akankah para Capres 2014 yang sedang sibuk berebut berkuasa menyelesaikan sistem yang membonsai amanat ekonomi konstitusi?
Jika jawabnya, ya, mestinya ada tanda-tanda ke arah itu. Sayangnya petanda itu sirna digulung gelombang nafsu bertahta. Karenanya saya lagi-lagi memprediksi, ke depan rakyat tetap nelangsa.